"Assalaamualaikum, Ressa. Kamu datang?" Mas Sandy menyambutku dengan wajah penuh senyum. Senyum yang dulunya mungkin bisa melelehkan hatiku. Tapi kini, hanya menyulut rasa jijik. Aku menahan diri, menelan bulat-bulat semua perasaan yang mendidih di dalam dada. "Waalaikumsalaam," jawabku dingin. "Kamu yang ngajak ketemu duluan. Berharap aku nggak datang?" Mas Sandy terkesiap, wajahnya yang semula cerah berubah sedikit canggung. "Nggak... nggak begitu maksudku. Aku cuma nggak nyangka kamu beneran datang. Aku kirain kamu... ya, kamu nggak balas pesanku, jadi aku pikir mungkin kamu nggak mau," suaranya terdengar ragu saat mengatakan hal terakhir. Namun, aku tetap melayangkan tatapan tak bersahabat. Mas Sandy menghindari tatapanku. Dia menunduk, menarik daftar menu dari meja di depannya, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dia katakan untuk mengisi kekosongan yang tiba-tiba terjadi. Tapi aku tetap diam, memandangi dia dari sudut buku menu yang belum sempat kusentuh. Tidak lama ber
Aku duduk kaku di kursiku, sementara tubuhku masih bergetar mendengar ucapan Mas Sandy. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, menimbulkan campuran antara amarah dan kebingungan. "Memperbaiki hubungan seperti dulu?" Ucapan itu terasa asing dan menyesakkan. Tanpa peringatan, aku merasakan sentuhan di tanganku. Jemari Mas Sandy melingkar di sekelilingnya, mencoba meraih koneksi yang sudah lama terputus. Sentuhan yang dulu terasa hangat, kini terasa asing. "Ressa, kok diem?" tanyanya, seolah tidak sadar betapa banyak luka yang telah ia ciptakan. Wajahnya tersenyum, tapi di balik senyum itu, aku tidak menemukan penyesalan yang tulus. Hanya keinginan untuk menormalkan sesuatu yang sudah terlanjur rusak. "Daripada kita membesarkan anak secara terpisah, jalan sendiri-sendiri begini, lebih baik barengan. Naomi pasti juga seneng kalau lihat orang tuanya tinggal satu atap lagi," lanjutnya, seolah-olah semuanya begitu sederhana. Seolah-olah hanya dengan keputusan rujuk, semua masalah akan
Aku duduk diam seperti patung, seolah tubuhku beku dalam ruangan kafe itu. Tapi di dalam kepalaku, segalanya tidaklah tenang. Berisik, seperti ada gema pertengkaran yang terus-menerus berulang tanpa bisa kuputus. Mas Sandy, pria yang dulu pernah membuatku tersenyum dan mencintainya, kini hanya menyisakan luka yang semakin dalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya barusan terasa seperti pisau yang menusuk kembali di tempat yang sama, berkali-kali. Sakitnya meresap hingga ke relung dada, membuat napasku terasa sesak.Aku mencoba menguasai diriku, tapi mataku terasa panas. Aku meraih tisu dan cepat-cepat menghapus sudut-sudut mataku sebelum air mata jatuh. Jangan menangis, kataku dalam hati. Pria seperti Mas Sandy tidak layak mendapatkan air mataku. Air mata ini lebih berharga daripada perasaan yang hancur karena kelakuannya.Aku menatap kosong ke arah meja. Kursi di depanku sudah kosong, tetapi sisa kehadirannya masih terasa. Makanan dan minuman yang tadi dipesan Mas Sandy tergeleta
"Hah! Jadi itu alasannya kamu ngomong kayak gitu tadi?""Maksud kamu apa?""Kamu sendiri kan yang pernah bilang kalau nikah sama aku cuma buat numpang tenar aja? Setelah dapatin semua, kamu buang aku seperti sampah!"Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak pernah bilang begitu!" "Sekarang, setelah karier kamu mulai redup, kamu mau balik ke aku biar bisa mendompleng popularitas lagi? Itu maksud kamu, kan?"Sudah lebih dari enam jam sejak aku mengunggah rekaman pertengkaranku dengan Mas Sandy di La La Feast. Seperti yang sudah kuduga, video tersebut langsung membikin gempar masyarakat. Grafik view melonjak cepat, dan dalam waktu tiga puluh menit pertama, komentar sudah membanjiri unggahan itu. Ratusan, bahkan ribuan pesan masuk. Namun, aku memutuskan untuk tidak terlibat lebih lama. Ponselku kubiarkan mati, hingga pagi tiba.Pagi-pagi sekali, suasana rumah terasa damai. Aku duduk di meja makan bersama Naomi. Meskipun putri kecilku terlihat ceria, aku tidak bisa lepas dari perasaan cemas. Po
Aku masih terpekur menatap layar ponsel di atas meja. Rasa sesak seolah memenuhi dada, melebur dengan api tak kasatmata yang tersulut di sana. Kutarik napas dalam-dalam demi menjaga kewarasanku.Hah! Apa-apaan? Padahal aku adalah korban di sini! Alasanku mengunggah pertengkaran kami bukan untuk mengadukan, melainkan supaya Mas Sandy tidak macam-macam lagi denganku. Aku ingin orang-orang tahu bagaimana kelakuan aslinya di balik topeng itu, sehingga tidak ada yang termakan tipuannya. Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya?"Nah, sekarang Kak Ressa tahu, kan?" ucap Rina, suara sinisnya membuatku semakin frustrasi.Aku menarik napas panjang sambil membanting punggung ke sandaran kursi. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, berusaha menetralkan rasa frustrasi yang menggebu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Take down! Take down! Cepet hapus video itu dari channel kita!" perintahku sambil segera duduk tegak kembali, panik melanda hatiku."Percuma, Kak. Videonya udah kesebar di
Ada pepatah yang mengatakan roda kehidupan itu berputar. Hidup tidak selalu di atas, ada waktunya di bawah, begitu pula sebaliknya. Tapi aku rasa, sekarang roda kehidupanku tidak hanya berputar, melainkan tergelincir dan terjebak di selokan. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dengan rasa frustrasi.Dulu, simpati dan dukungan mengalir deras kepadaku. Publik mengenalku sebagai korban dari perselingkuhan Mas Sandy, mantan suamiku, yang membuatku mendapat perhatian dan sorotan yang tak terduga. Kata-kata penghiburan dan dukungan datang dari mana-mana, seolah dunia berempati terhadap derita yang kutanggung. Tapi, seiring waktu, simpati itu berubah. Orang-orang mulai lelah dengan drama yang tiada akhir, dan tak sedikit yang menyalahkanku.Aku tertawa getir, pahit. Hidupku kini seperti sinetron murahan dengan drama yang tak berkesudahan. Mas Sandy, entah bagaimana, justru pelan-pelan membangun citra baru di mata publik. Seakan-akan dia menebus semua kesalahannya, sementara aku... ya
Getaran dari ponsel di atas meja seolah menjawab pertanyaanku. Matahari yang mulai merangkak naik menembuskan cahayanya ke kaca jendela yang transparan—sorotnya jatuh tepat pada layar ponsel, menciptakan kilauan yang memaksaku menyipitkan mata.Aku segera meraih benda pipih itu, berharap ada pesan dari brand endorsement atau klien baru, tetapi yang muncul malah nama yang akhir-akhir ini selalu menguras emosiku: Mas Sandy.Rasanya seperti de javu, lagi-lagi dia. Lagi-lagi pesan darinya yang membuatku ingin melempar ponsel ini ke dinding. Jari-jariku gemetar saat membuka WhatsApp.[Kamu masih mau sembunyi? Ini semua hasil dari perbuatan kamu sendiri. Jadi stop nyalah-nyalahin aku lagi!]Aku mendengus kasar. Napasku langsung terasa berat, seperti ada beban tak kasatmata yang tiba-tiba mendarat di pundakku. Aku tahu ucapannya benar—dan aku sebenarnya benci mengakui itu. Namun, apalagi yang dia inginkan dengan menghubungiku terlebih dahulu? Tidak cukupkah segala drama yang sudah terjadi an
"Wow, wow! Tenang, Re! Tenang! Ini Deny Biawak. Lo tahu gue, kan?"Seketika, aku mengernyit. Namanya sudah tidak asing lagi—seorang podcaster kontroversial yang selalu mengangkat isu-isu sensitif. Beberapa kali aku mendengar tentangnya di media sosial, dan sering kali komentarnya memicu perdebatan panas.Namun, aku tidak merasa mengangkat telepon darinya—tentu karena panggilan yang masuk ke nomorku adalah atas nama Mas Sandy! Lantas, mengapa dan bagaimana bisa suara Deny yang muncul dari ujung telepon seberang? Ditambah lagi ... untuk apa podcaster problematik itu mencariku?"Ya? Ada apa, ya?" tanyaku, berusaha tetap tenang meski jantungku berdegup lebih cepat. Namun, bisa kurasakan sendiri bahwa suaraku terdengar ketus, jauh dari kesan ramah."Eits, kita lagi syuting, loh!" ucap Deny dengan nada ceria, seolah mengabarkan berita baik.Kata-katanya membuatku terlonjak. Mataku membuka lebar dengan mulut terperangah. Apakah mereka merekam semua dari awal? Jika iya, berarti..."Re? Lo mas
"Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca