"Tapi apa?" sahutku tidak sabaran. Menghadapi dua pria itu membuat kesabaranku yang setipis tisu dibagi dua seolah tercabik-cabik dalam sekejap."Tapi rekanku, Deny Biawak, nggak bisa hapus podcast yang udah capek-capek direkam gitu aja, katanya. Yah, seenggaknya ada upah buat ganti keringat, lah." Tanpa tahu malu Mas Sandy berkata demikian.Aku menggeram marah. Jadi, ini tujuan sebenarnya mereka menghubungiku? Untuk memeras? Ingin sekali rasanya aku merekam percakapan ini dan memviralkannya di media sosial nanti. Namun, aku tidak mau ambil risiko kena hujatan lagi. Ditambah, aku juga sedang tidak menampilkan image terbaik dari omonganku sebelum percakapan ini. Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku tidak mau ambil risiko akibat bertindak gegabah dan kembali mempertaruhkan nama baikku."Minta berapa?" tanyaku sambil mengangkat dagu, meski dua pria bajingan itu tidak bisa melihatku. Namun, aku pastikan suaraku masih terdengar angkuh di seberang sana."Nggak banyak, kok. Yah ... kurang
Aku membungkuk sedikit, memastikan jaket Naomi terpasang dengan rapi. Kancing terakhir berhasil kututup, dan aku memandang putri kecilku dengan senyum tipis. Dia tampak begitu bersemangat, bahkan mungkin lebih dari biasanya. Pertanyaannya yang tadi ia ajukan kembali berputar di benakku."Jam belapa Ayah datangnya, Nda?" Bola matanya yang besar dan bulat memancarkan keceriaan yang begitu tulus. Wajah kecilnya bersinar cerah, tanpa beban.Aku menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu tersenyum tipis. "Sebentar lagi, Sayang," jawabku dengan suara yang sengaja kubuat setenang mungkin. Rasanya ada sesuatu yang menusuk di hatiku ketika harus memaksakan senyum, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Naomi tidak boleh tahu betapa besar amarah dan kekecewaanku terhadap ayahnya. Bagaimanapun, aku tidak bisa merusak hubungan mereka.Naomi mengangguk, seolah puas dengan jawabanku, meskipun ini mungkin sudah keempat atau kelima kalinya ia menanyakan hal yang sama. Setelah aku selesai merapikan j
"Kak, yakin nih kayak gini nggak papa?" Aldo kembali mengintip dari balik kameranya yang sudah tegak di atas tripod. Suara ketukan jari Aldo di meja membuatku merasakan ketegangan yang semakin menggelayut di ruangan ini. Cahaya dari lampu sorot menerangi wajahnya, membuat keringat kecil muncul di dahi pemuda itu."Yakiin! Rina aja udah setuju. Iya, kan?!" sahutku mantap, lantas melempar tatapan ke manajerku yang berdiri beberapa meter di sebelah kiri. Namun, Rina tampak ragu-ragu, mulutnya terkatup rapat seolah tengah mempertimbangkan sesuatu yang berat."Iya, sih, Kak. Tapi ..." Rina menggigit bibir bawahnya, seolah tak ingin menyakiti perasaanku, tetapi jelas ketidakpastiannya membuatku frustasi.Aku langsung memotong dengan tak sabar, "Aduuh ... udah, deh! Kalau kalian nggak mau, biar aku rekam sendiri!" Suara ini meluncur begitu saja dari bibirku, tajam dan penuh emosi. Mengingatkan diriku bahwa ini bukan hanya sekadar rekaman biasa, melainkan sebuah momen yang berpotensi mengubah
"Kak, ada undangan wawancara lagi!"Sudut bibirku terangkat mendengar pemberitahuan Rina. Ini sudah yang kelima pagi ini. Kemarin, permintaan serupa tembus sampai tujuh. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, seberapa banyak yang bisa kudapat hari ini?"Dari acara mana?" tanyaku, menyembunyikan rasa penasaran dengan nada datar.Rina menggeser ponselnya dan menatap layar sambil berkata, "Bukan acara di televisi sih, Kak, tapi dari podcast." Ia lalu menyebutkan nama seorang artis yang cukup terkenal di dunia hiburan.Aku mengangguk pelan, mencoba menilai tawaran itu, meski akhirnya aku hanya mengeluarkan suara 'oh' panjang. Dalam hati, aku tahu apa yang harus kulakukan."Ya udah. Respons kayak biasanya, gih!" perintahku ringan, menyiratkan keputusan yang sudah pasti.Rina paham benar maksudku. Ia segera mengetik pesan balasan di ponselnya, memberi penolakan halus atas undangan tersebut. Aku memutuskan untuk tetap 'menghilang' dari dunia media sosial dan publik, sesuai rencana pura-pura va
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
"Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca