Home / Pernikahan / Please, Ceraikan Aku! / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Please, Ceraikan Aku!: Chapter 1 - Chapter 10

15 Chapters

Bab 1. Mengetahui Kenyataan 

“Apa ini, Mas? Jujur pada aku, selama ini kamu berbohong ‘kan!” Aku berkata dengan suara yang histeris. Melempar semua foto yang diberikan oleh Lufi sahabatku. Awalnya aku tak percaya. Sudah berulang kali Lufi mengatakan jika Mas Anjas berselingkuh, tetapi aku masih saja tak percaya. Bukan hanya Lufi yang pernah berkata begitu padaku, sudah ada beberapa orang. Tetapi aku sungguh tak pernah percaya. Bagaimana mungkin bisa percaya, Mas Anjas sangat baik padaku. Dia memperlakukan aku bagai ratu. Dia tak pernah marah. Semua keinginanku selalu dipenuhi. Dia tak pernah berkata kasar. Semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi. Lantas atar dasar alasan apa aku bisa percaya pada orang-orang yang mengatakan jika Mas Anjas selingkuh? “Sayang, dengar dulu penjelasan ku. Semua tidak seperti yang kamu katakan. Tolong dengarkan aku dulu,” ujar Mas Anjas memohon. “Penjelasan apa, Mas? Bukti foto itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini kamu meminta izin keluar kota untuk bekerja, nyatanya kamu be
last updateLast Updated : 2024-08-26
Read more

Bab 2. Aku Dianggap Berbeda 

“Sayang, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan hidup bersamamu seumur hidup. Aku pastikan, akan hidup menua bersama kamu. Tolong, jangan berkata seperti itu, Sayang. Kita tidak akan pernah berpisah.” Mas Anjas berkata dengan derai air yang keluar dari kelopak. “Berhenti panggil aku sayang! Tolong berhenti! Aku tidak suka mendengarnya. Mas itu pembohong! Mas itu pengkhianat! Berpura-pura baik di depanku agar aku tidak tahu tentang keburukan mas dibelakang. Aku bodoh, Mas! Aku sangat bodoh!” ujarku histeris. Tangan terus saja memukul-mukul dada Mas Anjas. Mas Anjas berusaha mendekapku, tetapi aku terus saja berupaya agar tak masuk dalam pelukannya. Aku tak bisa berdiri dan menjauh, Mas Anjas terlalu kuat menahan agar aku tak lari darinya. Aku membenci posisi kami saat ini. Akhirnya aku lelah. Tangan telah berhenti untuk memukul. Hanya derai tangisan yang memenuhi ruang kamar ini. “Aku benci kamu, Mas! Kenapa harus Ana? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus
last updateLast Updated : 2024-08-26
Read more

Bab 3. Lebih Memilih Mati

Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku. “Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.” Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas. “Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri. Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di Rumah Mas Anjas. Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang harus mengantarmu.” ketika itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa memban
last updateLast Updated : 2024-08-26
Read more

Bab 4. Berjanji Cukup Aku

“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.” Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku. “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. “Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apa
last updateLast Updated : 2024-08-26
Read more

Bab 5. Rindu Penuh Luka

*** Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Selain mengurus beberapa usaha miliknya, Mas Anjas juga menggunakan waktunya untuk mengajar dikampus yang berbeda denganku. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruh untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana mungkin aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku
last updateLast Updated : 2024-08-26
Read more

Bab 6. Aku Pergi

Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk. “Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah. Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas. “Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka. Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku. Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka
last updateLast Updated : 2024-08-31
Read more

Bab 7. Mencari Ketenangan

“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik
last updateLast Updated : 2024-08-31
Read more

Bab 8. Memutuskan Untuk Pergi Jauh

“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
last updateLast Updated : 2024-09-16
Read more

Bab 9. Sulit Untuk Lupa

*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
last updateLast Updated : 2024-09-16
Read more

Bab 10. Pemilik Hati

Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
last updateLast Updated : 2024-09-22
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status