Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah.
“Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk. “Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah. Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas. “Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka. Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku. Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka lupa jika aku adalah istri anaknya. “Kamu teman Ana atau Anjas?” tanya Ayah Mas Anjas sambil membalas senyumku. Namun masih terlihat jelas oleh mata ku jika senyum itu palsu. Sungguh pertanyaan yang sangat tidak berbobot. Apakah mereka pura pura lupa jika aku juga menantu? Baiklah, aku akan mengikuti keinginan kalian. Mungkin mereka malu dan tak ingin aku lebih membuat malu. “Saya teman mereka berdua. Namun, lebih berteman dekat dengan Mas Anjas,” ujarku dengan lembut sambil tersenyum menatap Mas Anjas. Bibirku lanjut berkata, “iya ‘kan, Mas?” Lelaki yang aku tatap langsung memejamkan mata lalu menunduk beberapa detik. Mata itu kemudian terbuka dan kembali menatapku. Kedua tangannya bertolak pinggang. Entah apa yang ada dipikiran Mas Anjas, aku tak bisa menebak. Aku benci melihat tatapan sayu itu. Bukankah seharusnya hari ini dia berbahagia. Bahkan kedatanganku pun seharusnya tak membuat kebahagiaannya sirna. “Oh iya, Tante Om. Saya buru buru. Nggak bisa lama di sini. Selamat ya, Alhamdulillah Ana dan Mas Anjas sudah memiliki anak yang sangat ganteng. Aku pamit ya.” Tanganku kembali menyalimi tangan kedua orang tua Mas Anjas. Sepanjang keluar rumah, wajahku tetap tersenyum pada semua orang. Setibanya di gerbang pagar rumah, aku menoleh sejenak. Bahkan Mas Anjas tak mengejar ku. Baiklah, ini akan menjadi pertemuan terakhir ku dengan lelaki itu. Untuk apa menjadi istri yang dipenuhi semua kebutuhannya, namun tak ada rasa cinta. Aku perempuan yang tahu mencari uang. Jika hanya untuk kebutuhan sendiri, aku bisa penuhi. Tak perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhanku. Taksi yang aku pesan akhirnya tiba juga. Sebelumnya aku sengaja naik ojek agar cepat pergi dari rumah Itu. Rasanya tak sudi untuk berlama lama. Aku menghentikan ojek di jarak dua kilometer dari rumah Mas Anjas. Lalu memesan taksi online. Taksi yang aku pesan mengantar sampai rumah. Tak merisaukan biaya taksi yang mahal karena jarak rumah yang jauh, aku cukup mampu untuk membayarnya. Setibanya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar. Memasukan semua barang barang ke dalam koper. Aku harus secepatnya pergi dari rumah ini. Tak peduli jika rumah ini adalah pemberian Mas Anjas untukku. Suatu saat pasti aku bisa membeli rumah dengan uang sendiri. “Kenapa harus aku, Mas? Kenapa aku yang kamu sakiti sedalam ini? Sungguh ini terlalu Sakit,” lirihku sambil memasukan baju ke dalam koper. Air bening terus saja berjatuhan dari kelopak. Aku terduduk sambil menundukan kepala, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Tangan pun mengusap perut yang masih rata. “Maafin bunda, Nak. Kamu jangan ikutan sedih ya karena bunda nangis. Bunda berjanji, setelah ini tidak akan menangis lagi. Maafin bunda,” tuturku sambil mengusap perut yang masih rata. “Sekarang kita harus pergi meninggalkan rumah ini. Kita tidak bisa berlama-lama. Nanti ayahmu datang.” Setelah cukup tenang, aku kembali memasukan barang barang yang penting untuk dibawa. Berburu waktu, takut Mas Anjas pulang. Meskipun itu tidak mungkin. Mas Anjas pasti tidak akan ke sini karena dia adalah tuan yang punya acara. Anaknya sedang akikahan, mana mungkin dia datang ke sini. Setelah selesai, aku langsung keluar dari kamar dengan mendorong koper. Di dalam koper ini hanya ada barang-barang penting. Sebelum pergi meninggalkan rumah ini, aku ingin menuliskan surat untuk Mas Anjas. Aku mengambil pulpen yang ada di meja kerja dekat pintu kamar, lalu menarik kertas. Tangan mulai menari di atas kertas putih. [Hai Mas, Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja kok. Aku tahu, kamu sebenarnya mencintai Ana. Hanya saja tidak ingin menyakitiku. Makanya selama ini harus berpura-pura menjadi suami yang baik didepanku. Kamu tidak salah, Mas! Aku yang salah karena berada di antara kalian. Kamu dan Ana sudah lama saling mengenal, bahkan sebelum aku dan Ana bersahabat. Orang tua kalian juga setara. Kamu dan Ana dari keluarga terpandang, sedangkan aku berbeda. Seharusnya sejak awal pernikahan kita tidak pernah terjadi. Sekarang kamu bebas, Mas. Tidak perlu lagi membagi waktu antara menemuiku dan Ana. Aku mundur! Hiduplah berbagai bersama Ana dan anak kalian. Terimakasih atas ribuan kebahagiaan yang tidak bisa disebut satu persatu. Terima kasih juga atas luka terdalam yang sudah kamu torehkan. Terimakasih karena kamu telah memberikan pengalaman yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidup. Semoga kita tidak pernah lagi bertemu. Aku berjanji akan pergi sangat jauh dari hidupmu. Anggaplah kita sudah bercerai karena bertemu denganmu lagi untuk mengurus surat perceraian, rasanya aku tak bisa. Jadi anggap pernikahan kita sudah berakhir. Aku pergi, Mas! Selamat berbahagia!] Selama menulis, aku tak dapat menahan air bening dari kelopak. Tak menyangka jika pernikahan ku dengan Mas Anjas akan seperti ini. Sangat tidak menyangka! Lelaki yang aku banggakan, bisa melukis luka semenyakitkan ini. “Nak, maafkan bunda karena memisahkan kamu dan ayahmu. Bunda pastikan jika kamu akan hidup bahagia. Kita tak butuh sosok ayahmu. Kita bisa hidup bahagia tanpanya. Semua kebutuhanmu akan menjadi tanggung jawab bunda. Sehat-sehat ya di perut bunda. Kamu adalah penguat bunda. Jika bukan karena ada kamu, mungkin bunda sudah memutuskan untuk bunuh diri. Bunda tidak kuat dengan kehidupan yang bunda jalani sekarang,” ucapku lirih sambil mengusap perut. Setelah melipat kertas dan menaruhnya di atas meja, aku langsung melangkah. Sepanjang berjalan keluar rumah, aku terus saja memperhatikan sekitar. Terlalu banyak kenangan dalam rumah ini. Tak menyangka jika aku harus pergi dari sini. Setibanya di depan pintu, aku menoleh sejenak. Sungguh kaki ini enggan untuk melangkah. Tetapi aku harus memaksa diri untuk pergi. Tidak mungkin masih tinggal di rumah ini, sedangkan aku membenci pemberinya. Tidak peduli jika rumah ini sudah dikasih ke aku. Semua pemberian Mas Anjas tidak satupun aku bawa. Aku langsung menutup pintu tanpa mengunci. Kunci rumah ini aku simpan di meja kerja. Tidak perlu untuk dibawa pergi. “Selamat tinggal, Mas! Aku pergi!” ujarku lirih.“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin aku tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan selama i
***“Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur.Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?”“Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut.“Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Siapa lelaki yang sedang mereka bahas? “Yislam itu siapa, Nak. Orang mana? Kok kalian bisa kenal dia? Kenalnya dari mana?” tuturku dengan kedua
“Apa ini, Mas? Jujur pada aku, selama ini kamu berbohong ‘kan!” Aku berkata histeris. Melempar semua foto yang diberikan oleh Lufi sahabatku. Awalnya aku tak percaya. Sudah berulang kali Lufi mengatakan jika Mas Anjas berselingkuh, tetapi aku tak percaya. Bukan hanya Lufi yang pernah berkata begitu padaku, tetapi aku sungguh tak pernah percaya. Bagaimana mungkin bisa percaya, Mas Anjas sangat baik padaku. Dia memperlakukan aku bagai ratu. Dia tak pernah marah. Semua keinginanku selalu dipenuhi. Dia tak pernah berkata kasar. Semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi. Lantas dengan dasar alasan apa aku bisa percaya pada orang-orang yang mengatakan jika Mas Anjas selingkuh?“Sayang, dengar dulu penjelasan ku. Semua tidak seperti yang kamu katakan. Tolong dengarkan aku dulu,” ujar Mas Anjas memohon.“Penjelasan apa, Mas? Bukti foto itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini kamu meminta izin keluar kota untuk bekerja, nyatanya kamu berbohong. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!” Aku sangat histe
“Sayang, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan hidup bersamamu seumur hidup. Aku pastikan, akan hidup menua bersama kamu. Tolong, jangan berkata seperti itu, Sayang. Kita tidak akan pernah berpisah.” Mas Anjas berkata dengan derai air yang keluar dari kelopak. “Berhenti panggil aku sayang! Tolong berhenti! Aku tidak suka mendengarnya. Mas itu pembohong! Mas itu pengkhianat! Berpura-pura baik di depanku agar aku tidak tahu tentang keburukan mas dibelakang. Aku bodoh, Mas! Aku sangat bodoh!” ujarku histeris. Tangan terus saja memukul-mukul dada Mas Anjas.Mas Anjas berusaha mendekapku, tetapi aku terus saja berupaya agar tak masuk dalam pelukannya. Aku tak bisa berdiri dan menjauh, Mas Anjas terlalu kuat menahan agar aku tak lari darinya. Aku membenci posisi kami saat ini.Akhirnya aku lelah. Tangan telah berhenti untuk memukul. Hanya derai tangisan yang memenuhi ruang kamar ini.“Aku benci kamu, Mas! Kenapa harus Ana? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus An
Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku. “Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.”Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas.“Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri. Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di rumah itu. Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang akan mengantarmu.” Saat itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa membantah. Cukup lama
“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.”Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku.“Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. “Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apapu
***Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruhku untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku selalu berharap pagar itu terbuka dan menampakan sosok Mas Anjas. “Mas, aku hamil. Apa kamu tidak ingin mendengar kabar baik ini? Ap