Share

Bab 6. Aku Pergi

Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah.

“Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk.

“Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah.

Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas.

“Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka.

Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku.

Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka lupa jika aku adalah istri anaknya.

“Kamu teman Ana atau Anjas?” tanya Ayah Mas Anjas sambil membalas senyumku. Namun masih terlihat jelas oleh mata ku jika senyum itu palsu.

Sungguh pertanyaan yang sangat tidak berbobot. Apakah mereka pura pura lupa jika aku juga menantu? Baiklah, aku akan mengikuti keinginan kalian. Mungkin mereka malu dan tak ingin aku lebih membuat malu.

“Saya teman mereka berdua. Namun, lebih berteman dekat dengan Mas Anjas,” ujarku dengan lembut sambil tersenyum menatap Mas Anjas. Bibirku lanjut berkata, “iya ‘kan, Mas?”

Lelaki yang aku tatap langsung memejamkan mata lalu menunduk beberapa detik. Mata itu kemudian terbuka dan kembali menatapku. Kedua tangannya bertolak pinggang. Entah apa yang ada dipikiran Mas Anjas, aku tak bisa menebak.

Aku benci melihat tatapan sayu itu. Bukankah seharusnya hari ini dia berbahagia. Bahkan kedatanganku pun seharusnya tak membuat kebahagiaannya sirna.

“Oh iya, Tante Om. Saya buru buru. Nggak bisa lama di sini. Selamat ya, Alhamdulillah Ana dan Mas Anjas sudah memiliki anak yang sangat ganteng. Aku pamit ya.”

Tanganku kembali menyalimi tangan kedua orang tua Mas Anjas. Sepanjang keluar rumah, wajahku tetap tersenyum pada semua orang. Setibanya di gerbang pagar rumah, aku menoleh sejenak. Bahkan Mas Anjas tak mengejar ku.

Baiklah, ini akan menjadi pertemuan terakhir ku dengan lelaki itu. Untuk apa menjadi istri yang dipenuhi semua kebutuhannya, namun tak ada rasa cinta. Aku perempuan yang tahu mencari uang. Jika hanya untuk kebutuhan sendiri, aku bisa penuhi. Tak perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhanku.

Taksi yang aku pesan akhirnya tiba juga. Sebelumnya aku sengaja naik ojek agar cepat pergi dari rumah Itu. Rasanya tak sudi untuk berlama lama. Aku menghentikan ojek di jarak dua kilometer dari rumah Mas Anjas. Lalu memesan taksi online. Taksi yang aku pesan mengantar sampai rumah. Tak merisaukan biaya taksi yang mahal karena jarak rumah yang jauh, aku cukup mampu untuk membayarnya.

Setibanya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar. Memasukan semua barang barang ke dalam koper. Aku harus secepatnya pergi dari rumah ini. Tak peduli jika rumah ini adalah pemberian Mas Anjas untukku. Suatu saat pasti aku bisa membeli rumah dengan uang sendiri.

“Kenapa harus aku, Mas? Kenapa aku yang kamu sakiti sedalam ini? Sungguh ini terlalu Sakit,” lirihku sambil memasukan baju ke dalam koper.

Air bening terus saja berjatuhan dari kelopak. Aku terduduk sambil menundukan kepala, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Tangan pun mengusap perut yang masih rata.

“Maafin bunda, Nak. Kamu jangan ikutan sedih ya karena bunda nangis. Bunda berjanji, setelah ini tidak akan menangis lagi. Maafin bunda,” tuturku sambil mengusap perut yang masih rata.

“Sekarang kita harus pergi meninggalkan rumah ini. Kita tidak bisa berlama-lama. Nanti ayahmu datang.”

Setelah cukup tenang, aku kembali memasukan barang barang yang penting untuk dibawa. Berburu waktu, takut Mas Anjas pulang. Meskipun itu tidak mungkin. Mas Anjas pasti tidak akan ke sini karena dia adalah tuan yang punya acara. Anaknya sedang akikahan, mana mungkin dia datang ke sini.

Setelah selesai, aku langsung keluar dari kamar dengan mendorong koper. Di dalam koper ini hanya ada barang-barang penting. Sebelum pergi meninggalkan rumah ini, aku ingin menuliskan surat untuk Mas Anjas. Aku mengambil pulpen yang ada di meja kerja dekat pintu kamar, lalu menarik kertas. Tangan mulai menari di atas kertas putih.

[Hai Mas,

Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja kok. Aku tahu, kamu sebenarnya mencintai Ana. Hanya saja tidak ingin menyakitiku. Makanya selama ini harus berpura-pura menjadi suami yang baik didepanku.

Kamu tidak salah, Mas! Aku yang salah karena berada di antara kalian. Kamu dan Ana sudah lama saling mengenal, bahkan sebelum aku dan Ana bersahabat. Orang tua kalian juga setara. Kamu dan Ana dari keluarga terpandang, sedangkan aku berbeda. Seharusnya sejak awal pernikahan kita tidak pernah terjadi.

Sekarang kamu bebas, Mas. Tidak perlu lagi membagi waktu antara menemuiku dan Ana. Aku mundur! Hiduplah berbagai bersama Ana dan anak kalian.

Terimakasih atas ribuan kebahagiaan yang tidak bisa disebut satu persatu. Terima kasih juga atas luka terdalam yang sudah kamu torehkan. Terimakasih karena kamu telah memberikan pengalaman yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidup.

Semoga kita tidak pernah lagi bertemu. Aku berjanji akan pergi sangat jauh dari hidupmu. Anggaplah kita sudah bercerai karena bertemu denganmu lagi untuk mengurus surat perceraian, rasanya aku tak bisa. Jadi anggap pernikahan kita sudah berakhir.

Aku pergi, Mas! Selamat berbahagia!]

Selama menulis, aku tak dapat menahan air bening dari kelopak. Tak menyangka jika pernikahan ku dengan Mas Anjas akan seperti ini. Sangat tidak menyangka! Lelaki yang aku banggakan, bisa melukis luka semenyakitkan ini.

“Nak, maafkan bunda karena memisahkan kamu dan ayahmu. Bunda pastikan jika kamu akan hidup bahagia. Kita tak butuh sosok ayahmu. Kita bisa hidup bahagia tanpanya. Semua kebutuhanmu akan menjadi tanggung jawab bunda. Sehat-sehat ya di perut bunda. Kamu adalah penguat bunda. Jika bukan karena ada kamu, mungkin bunda sudah memutuskan untuk bunuh diri. Bunda tidak kuat dengan kehidupan yang bunda jalani sekarang,” ucapku lirih sambil mengusap perut.

Setelah melipat kertas dan menaruhnya di atas meja, aku langsung melangkah. Sepanjang berjalan keluar rumah, aku terus saja memperhatikan sekitar. Terlalu banyak kenangan dalam rumah ini. Tak menyangka jika aku harus pergi dari sini.

Setibanya di depan pintu, aku menoleh sejenak. Sungguh kaki ini enggan untuk melangkah. Tetapi aku harus memaksa diri untuk pergi. Tidak mungkin masih tinggal di rumah ini, sedangkan aku membenci pemberinya. Tidak peduli jika rumah ini sudah dikasih ke aku. Semua pemberian Mas Anjas tidak satupun aku bawa.

Aku langsung menutup pintu tanpa mengunci. Kunci rumah ini aku simpan di meja kerja. Tidak perlu untuk dibawa pergi.

“Selamat tinggal, Mas! Aku pergi!” ujarku lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status