Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah.
“Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk. “Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah. Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas. “Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka. Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku. Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka lupa jika aku adalah istri anaknya. “Kamu teman Ana atau Anjas?” tanya Ayah Mas Anjas sambil membalas senyumku. Namun masih terlihat jelas oleh mata ku jika senyum itu palsu. Sungguh pertanyaan yang sangat tidak berbobot. Apakah mereka pura pura lupa jika aku juga menantu? Baiklah, aku akan mengikuti keinginan kalian. Mungkin mereka malu melihat ku atau mungkin tak ingin aku lebih membuat malu. “Saya teman mereka berdua. Namun, lebih berteman dekat dengan Mas Anjas,” ujarku dengan lembut sambil tersenyum menatap Mas Anjas. Bibirku lanjut berkata, “iya ‘kan, Mas?” Lelaki yang aku tatap langsung memejamkan mata lalu menunduk beberapa detik. Mata itu kemudian terbuka dan kembali menatapku. Kedua tangannya bertolak pinggang. Entah apa yang ada dipikiran Mas Anjas, aku tak bisa menebak. Aku benci melihat tatapan sayu itu. Bukankah seharusnya hari ini dia berbahagia. Bahkan kedatanganku pun seharusnya tak membuat kebahagiaannya sirna. “Oh iya, Tante Om. Saya buru buru. Nggak bisa lama di sini. Selamat ya, Alhamdulillah Ana dan Mas Anjas sudah memiliki anak yang sangat ganteng. Aku pamit ya.” Tanganku kembali menyalimi tangan kedua orang tua Mas Anjas. Sepanjang keluar rumah, wajahku tetap tersenyum pada semua orang. Setibanya di gerbang pagar rumah, aku menoleh sejenak. Bahkan Mas Anjas tak mengejar ku. Baiklah, ini akan menjadi pertemuan terakhir ku dengan lelaki itu. Untuk apa menjadi istri yang dipenuhi semua kebutuhannya, namun tak ada rasa cinta. Aku perempuan yang tahu mencari uang. Jika hanya untuk kebutuhan sendiri, aku bisa penuhi. Tak perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhanku. Taksi yang aku pesan akhirnya tiba juga. Sebelumnya aku sengaja naik ojek agar cepat pergi dari rumah Itu. Rasanya tak sudi untuk berlama lama. Aku menghentikan ojek di jarak dua kilometer dari rumah Mas Anjas. Lalu memesan taksi online. Taksi yang aku pesan mengantar sampai rumah. Tak merisaukan biaya taksi yang mahal karena jarak rumah yang jauh, aku cukup mampu untuk membayarnya. Setibanya di Rumah, aku langsung bergegas ke kamar. Memasukan semua barang barang ke dalam koper. Aku harus secepatnya pergi dari rumah ini. Tak peduli jika rumah ini adalah pemberian Mas Anjas untukku. Suatu saat pasti aku bisa membeli rumah dengan uang sendiri. “Kenapa harus aku, Mas? Kenapa aku yang kamu sakiti sedalam ini? Sungguh ini terlalu Sakit,” lirihku sambil memasukan baju ke dalam koper. Air bening terus saja berjatuhan dari kelopak. Aku terduduk sambil menundukan kepala, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Tangan pun mengusap perut yang masih rata. “Maafin bunda, Nak. Kamu jangan ikutan sedih ya karena bunda nangis. Bunda berjanji, setelah ini tidak akan menangis lagi. Maafin bunda,” tuturku sambil mengusap perut yang masih rata. “Sekarang kita harus pergi meninggalkan rumah ini. Kita tidak bisa berlama-lama. Nanti ayahmu datang.” Setelah cukup tenang, aku kembali memasukan barang barang yang penting untuk dibawa. Berburu waktu, takut Mas Anjas pulang. Meskipun itu tidak mungkin. Mas Anjas pasti tidak akan ke sini karena dia adalah tuan yang punya acara. Anaknya sedang akikahan, mana mungkin dia datang ke sini. Setelah selesai, aku langsung keluar dari kamar dengan mendorong koper. Di dalam koper ini hanya ada barang-barang penting. Sebelum pergi meninggalkan rumah ini, aku ingin menuliskan surat untuk Mas Anjas. Aku mengambil pulpen yang ada di meja kerja dekat pintu kamar, lalu menarik kertas. Tangan mulai menari di atas kertas putih. [Hai Mas, Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja kok. Aku tahu, kamu sebenarnya mencintai Ana. Hanya saja tidak ingin menyakitiku. Makanya selama ini harus berpura-pura menjadi suami yang baik didepanku. Kamu tidak salah, Mas! Aku yang salah karena berada di antara kalian. Kamu dan Ana sudah lama saling mengenal, bahkan sebelum aku dan Ana bersahabat. Orang tua kalian juga setara. Kamu dan Ana dari keluarga terpandang, sedangkan aku berbeda. Seharusnya sejak awal pernikahan kita tidak pernah terjadi. Sekarang kamu bebas, Mas. Tidak perlu lagi membagi waktu antara menemuiku dan Ana. Aku mundur! Hiduplah bahagia bersama Ana dan anak kalian. Terimakasih atas ribuan kebahagiaan yang tidak bisa disebut satu persatu. Terima kasih juga atas luka terdalam yang sudah kamu torehkan. Terimakasih karena kamu telah memberikan pengalaman yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidup. Semoga kita tidak pernah lagi bertemu. Aku berjanji akan pergi sangat jauh dari hidupmu. Anggaplah kita sudah bercerai karena bertemu denganmu lagi untuk mengurus surat perceraian, rasanya aku tak bisa. Jadi anggap pernikahan kita sudah berakhir. Aku pergi, Mas! Selamat berbahagia!] Selama menulis, aku tak dapat menahan air bening dari kelopak. Tak menyangka jika pernikahan ku dengan Mas Anjas akan seperti ini. Sangat tidak menyangka! Lelaki yang aku banggakan, bisa melukis luka semenyakitkan ini. “Nak, maafkan bunda karena memisahkan kamu dan ayahmu. Bunda pastikan jika kamu akan hidup bahagia. Kita tak butuh sosok ayahmu. Kita bisa hidup bahagia tanpanya. Semua kebutuhanmu akan menjadi tanggung jawab bunda. Sehat-sehat ya di perut bunda. Kamu adalah penguat bunda. Jika bukan karena ada kamu, mungkin bunda sudah memutuskan untuk bunuh diri. Bunda tidak kuat dengan kehidupan yang bunda jalani sekarang,” ucapku lirih sambil mengusap perut. Setelah melipat kertas dan menaruhnya di atas meja, aku langsung melangkah. Sepanjang berjalan keluar rumah, aku terus saja memperhatikan sekitar. Terlalu banyak kenangan dalam rumah ini. Tak menyangka jika aku harus pergi dari sini. Setibanya di depan pintu, aku menoleh sejenak. Sungguh kaki ini enggan untuk melangkah. Tetapi aku harus memaksa diri untuk pergi. Tidak mungkin masih tinggal di rumah ini, sedangkan aku membenci pemberinya. Tidak peduli jika rumah ini sudah dikasih ke aku. Semua pemberian Mas Anjas tidak satupun aku bawa. Aku langsung menutup pintu tanpa mengunci. Kunci rumah ini aku simpan di meja kerja. Tidak perlu untuk dibawa pergi. “Selamat tinggal, Mas! Aku pergi!” ujarku lirih.“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L
Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin
Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”
***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L
Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik