Share

Bab 7. Mencari Ketenangan

“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.”

Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan.

“Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku.

Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun.

Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin aku tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik orang lain.

Tetapi benar juga kata bapak ini, Allah mengujiku karena Allah tahu aku mampu melewati semuanya. Jika mengeluh, berarti aku tidak percaya dengan diri sendiri. Allah saja percaya padaku, kenapa aku tak percaya.

“Pak, ini bonus untuk bapak,” ujarku sambil menyodorkan uang tiga ratus ribu. Bapak ini pantas mendapatkan uang lebih. Setidaknya, setelah mendapatkan motivasi dari si bapak, pikiranku bisa sedikit lebih jernih.

“Nggak usah. Mbak ‘kan sudah bayar,” ujar supir sambil tersenyum, dia menoleh padaku yang masih duduk di kursi belakang.

“Hehe, ini uang untuk rasa terimakasih karena bapak sudah menasehati saya. Setidaknya perasaan saya sudah lebih baik setelah mendengarkan nasehat dari bapak.”

“Kalau begitu uangnya saya ambil ya, Mbak. Semoga Allah melimpahkan rezeki untuk mbak, Allah sehatkan dan lancarkan kehidupan mbak. Terimakasih.”

“Terimakasih kembali, Pak.” Setelah berkata, aku langsung keluar dari taksi.

Aku langsung memasuki penginapan. Sebelumnya aku pernah ke sini. Penginapan ini cukup bersih. Meskipun tidak semewah beberapa penginapan yang pernah aku kunjungi. Setidaknya tinggal di sini untuk seminggu bisa lebih murah. Sekarang aku harus banyak menghemat.

Aku langsung mengirim pesan pada Lufi setelah masuk ke dalam kamar. Dia harus tahu keadaanku sekarang. Hanya dia yang aku kenal untuk bisa membantu.

Lama menunggu balasan yang tak kunjung ada, aku akhirnya memilih untuk menelpon. Dering pertama tidak diangkat. Dering kedua pun masih sama. Dering kegiatan, suara Lufi terdengar.

“Assalamualaikum, Fi, sibuk nggak?”

[“Nggak kok, gimana? Sorry, aku baru lihat hp. Kamu ada pesan dari kamu.”]

[Fi, aku sudah memutuskan untuk pergi dari hidup Mas Anjas]

[“What? Sekarang kamu di mana?”]

[Aku di Penginapan Zaitun. Baru aja sampai]

[“Tunggu, aku ke situ sekarang. Aku nggak bisa dengar penjelasan kamu lewat handphone.”]

Panggilan langsung dimatikan secara sepihak oleh Lufi. Aku yakin dia sangat kaget mendengar ucapanku. Semua terdengar jelas dari suaranya.

Aku menulis pesan pada Lufi untuk singgah membelikan makan. Sebenarnya tidak merasa lapar, tetapi janin di dalam perut membutuhkan asupan. Sekarang sudah sore, dan aku belum makan siang.

Tak membutuhkan waktu lama, aku mendengar suara ketukan dari balik pintu kamar. Siapa lagi orangnya kalau bukan Lufi? Aku langsung bergegas untuk membuka.

Lufi langsung memelukku. Bibirnya pun mengucap kata, “ada apa dengan kamu? Bukannya kemarin kamu katakan sudah memaafkan Mas Anjas. Kamu ikhlas asalkan Mas Anjas tetap mencintai kamu.”

“Masuk dulu, masa iya aku cerita di pintu. Setelah makan, baru aku ceritain. Mana makananku, aku lapar.”

Aku langsung mengambil plastik berisi makanan yang ada di tangan Lufi. Dia seperti terheran melihatku. Aku pun berjalan masuk, Lufi mengikut di belakang.

“Vara, kamu sebenarnya lagi ada masalah atau tidak sih? Kok kamu nggak nangis?” ujar Lufi yang menampilkan wajah heran.

Aku menaikkan sebelah alis. Bibir pun berkata, “udah capek nangis. Kasian janin dalam perutku, dia lapar. Bentar aja lagi baru lanjut nangis.”

Lufi tertawa terbahak. Aku mengerutkan alis. Memangnya apa yang lucu dari ucapanku? Sepertinya tidak ada. Lalu apa yang membuatnya tertawa.

“Kamu lucu, Vara. Mungkin karena bawaan ibu hamil ya. Haha,” ujar Lufi masih dengan wajahnya yang seolah mengejek.

Lufi tahu jika aku sedang hamil. Dia bahkan menjadi orang pertama yang mendengar berita tentang kehamilan ku. Padahal aku ingin Mas Anjas menjadi orang pertama.

“Vara, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Lufi sambil menatapku.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Kini aku memasukan makanan terakhir dalam mulut. Entah apa yang terjadi padaku karena tidak merasakan kenyang sama sekali. Padahal makanan yang bawa oleh Lufi cukup banyak. Rasanya biasa saja seperti tadi. Mungkin ini bawaan hamil. Tadi juga aku tidak merasakan lapar, sekarang seperti tak juga kenyang.

“Sekarang kamu cerita ke aku! Nggak usah buat banyak alasan!” Lufi langsung duduk di depanku.

“Hari ini aku capek bangat, Fi. Aku dari rumah orang tua Anjas. Pergi dan pulang juga hari ini,” ujarku setelah minum. Perempuan ini sama sekali tidak mengizinkan aku untuk beristirahat.

“Vara, aku udah ngerti apa yang akan kamu bahas.” Lufi langsung memelukku. Tetapi aku tidak membalas pelukannya.

“Jangan peluk aku, Fi. Aku tidak ingin menangis lagi. Aku capek menangis terus. Sudahlah, aku ingin melupakan semuanya. Tetapi, kalau dipeluk kayak gini, aku nanginya bisa nangis,” ujarku sambil menahan sesak di dada.

Sungguh, aku tak bisa jika mendapat pelukan seperti. Aku merasa sudah cukup kuat setelah tidak menangis sejam lebih. Tetapi mendapat pelukan hangat dari Lufi membuat jiwa rapuh.

“Lepaskan aku, Fi.” Tangisanku akhirnya pecah juga.

“Menangis lah. Jangan di tahan. Aku tidak suka melihatmu berpura-pura tegar. Jangan sok kuat. Aku tahu sekarang kamu butuh dipeluk,” ujar Lufi yang perlahan melepaskan pelukannya.

“Mas Anjas bohong, Fi. Dia bilang hanya aku perempuan yang dia suka. Padahal tadi aku melihatnya begitu bahagia dengan Ana. Aku tidak percaya kalau hanya aku perempuan yang dia suka. Mustahil, apalagi dia tinggal sekamar dengan Ana. Aku sakit, Fi. Sumpah, rasanya sakit sekali.”

Sesekali aku menghapus air mata yang kini membanjiri pipi. Tadi aku sudah berjanji untuk tidak menangis. Namun, saat disuruh bercerita, air mata ini pasti menghujan dengan derasnya.

“Aku kecewa, Fi. Kenapa Mas Anjas dan Ana sangat jahat padaku. Padahal aku merasa tidak punya salah pada mereka. Aku sangat kecewa pada Ana. Bahkan aku pernah cerita ke dia jika mendapat kabar jika Mas Anjas selingkuh, tetapi respon Ana malah seolah kalau Mas Anjas tuh lelaki setia. Aku sangat bodoh, Fi. Ternyata Ana yang menjadi selingkuhan Mas Anjas. Mereka berdua terlalu hebat dalam membohongi aku. Mereka jahat, Fi,” tuturku sambil sesegukan.

“Aku yang salah, Var. Maafin aku. Seharusnya sejak dulu aku memberitahu kamu kalau yang jadi selingkuhan suami kamu tuh Ana. Perempuan yang selalu kamu banggain ke aku karena kalian sudah lama dekat, bahkan sejak kita berdua belum bersahabat. Aku jadi merasa bersalah sama kamu, Var. Mereka sudah lama menikah.” Vara berkata sambil mengusap lenganku.

Aku menggeleng, “bukan salah kamu, Fi. Aku ngerti kenapa kamu nggak ngomong, siapa selingkuhan Mas Anjas. Pasti kamu nggak enak untuk ngomong itu. Aku ngerti kok.”

“Maafin aku, Var. Aku memang cerita ke kamu kalau Mas Anjas selingkuh, tetapi aku tidak ceritakan secara lengkap soal perselingkuhan mereka. Sebenarnya mereka sudah lama menikah. Bukan baru setahun dua tahun ini. Usia pernikahan mereka sebanarnya hanya beda dua bulan dengan pernikahanmu. Jadi setelah Mas Anjas menikahi kamu, dua bulan berikutnya dia menikah dengan Ana.”

Aku membelalakkan mata mendengar penjelasan Lufi. Kepala menggeleng. Bibir pun berkata, “maksud kamu apa, Fi. Katanya kalau yang baru saja kamu ucapkan adalah bohong.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status