***
Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Selain mengurus beberapa usaha miliknya, Mas Anjas juga menggunakan waktunya untuk mengajar dikampus yang berbeda denganku. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruh untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana mungkin aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku selalu berharap pagar itu terbuka dan menampakan sosok Mas Anjas. “Mas, aku hamil. Apa kamu tidak ingin mendengar kabar baik ini? Apa kamu tidak ingin tahu kabarku? Kenapa kamu tak ada kabar hingga kini?” Tak terasa air bening keluar dari kelopak. Aku meminta tolong pada Lufi untuk mencari nomor keluarga Mas Anjas, tetapi hingga sekarang Lutfi belum juga mendapatkan. Apa aku ke rumah orang tua Mas Anjas? Tetapi aku takut Mas Anjas marah karena aku ke sana tanpa izin. Namun jika tidak ke sana, aku tetap tidak akan tenang. Lama termenung dan berpikir, aku pun memutuskan untuk pergi ke Rumah orang tua Mas Anjas. Sekarang masih pagi. Kalau dapat Bus jam sepuluh, aku mungkin bisa tiba di Rumah orang tua Mas Anjas di siang hari. Setelah selesai bersiap siap, aku langsung memesan taksi online untuk menuju ke terminal Bus. Satu jam lebih perjalanan, akhirnya tiba di Kota Bakau. Dari bus, aku juga harus memesan taksi menuju Rumah Mas Anjas. Aku cukup gelisah, banyak hal yang ditakutkan. Untung saja sejak tahu jika hamil sampai sekarang, aku tidak menunjukkan gejala hamil. Tidak merasakan mual dan muntah seperti perempuan lain. Mungkin janin di kandunganku paham dengan kondisi ibunya, sehingga tidak ingin menyusahkan. Aku menghentikan taksi sekitar lima puluh meter dari Rumah orang tua Mas Anjas. Langkahku pelan dan ragu. Saat tiba di depan Rumah orang tua Mas Anjas, aku dikagetkan dengan kondisi rumah yang ramai. Sepertinya sedang ada acara. Aku menghentikan langkah, ada rasa takut untuk masuk. Mata melihat ke kanan dan kiri, apakah aku salah rumah? Sepertinya tidak. Bentuk Rumah orang tua Mas Anjas masih sama seperti saat aku pertama kali datang. “Permisi, Bu, mau tanya, ini rumah Mas Anjas,” ujarku dengan pada seorang ibu yang lagi membujuk anaknya agar tidak menangis. Si ibu kebetulan sedang berada di dekat pagar rumah. “Iya, benar! Teman Mas Anjas ya?” tutur si ibu sambil tersenyum. Aku sedikit gelagapan, lalu tersenyum sebagai jawaban. Aku bingung untuk menanggapi. Bahkan ada rasa canggung untuk mengaku jika aku istri Mas Anjas. Entahlah, aku bahkan tidak bisa menjelaskan kondisi perasaan saat ini. “Masuk saja, Mba. Mas Anjas dan istrinya ada di dalam,” ujar si ibu masih dengan senyum diwajahnya. Oh Tuhan, perasaan apa ini? Kenapa rasanya sangat sakit mendengar kata “istrinya Mas Anjas”. Apakah di sini tidak ada yang tahu jika aku juga istri Mas Anjas. Aku merasa sebagai orang asing di rumah suami sendiri. Apakah aku pulang saja? Rasanya kaki ini enggan untuk melangkah. Aku takut, sungguh rasanya sangat takut untuk melangkah. Aku tersadar ketika si ibu menyentuh lenganku. Dia lalu berkata, “loh, kok malah melamun. Masuk saja, Mba. Pasti Mas Anjas sudah menunggu di dalam. Dia pasti senang kalau tamunya datang.” “Oh iya, Bu,” ujarku lembut sambil tersenyum canggung. Aku pun melangkah dengan pelan. Sangat pelan hingga pintu rumah Orang Tua Mas Anjas terasa jauh. Rasanya kaki ini berat untuk melangkah, namun aku harus paksakan. Seenggaknya aku harus tahu jika Mas Anjas ternyata baik-baik saja. Aku tidak bisa hidup tanpa kabar darinya. Aku tidak mengenal siapa ibu itu. Mungkin dia keluarga Mas Anjas. Si ibu itu juga tidak mengenalku, jika mengenalku, pasti tidak akan mungkin berkata seperti tadi. Aku memang tidak mengenal siapa saja yang menjadi bagian dari keluarga Mas Anjas. Saat tiba di pintu rumah yang terbuka, mataku langsung menatap sosok yang sudah sangat di rindu. Sosok lelaki yang dua bulan lebih hilang kabar. Tak satupun pesanku masuk. Tak satupun panggilanku tersambung. Mas Anjas, dia sedang duduk bersampingan dengan seorang perempuan yang sangat aku kenal. Mas Anjas kini mengusap puncak kepala Perempuan itu — Perempuan yang sudah sah menjadi maduku. Mereka terlihat akrab dan sedang bersenda gurau. Lelaki yang berstatus sebagai suamiku itu tersenyum menatap Ana, sambil sesekali melihat sosok bayi di gendongan Ana. Ya, di gendongan Ana ada seorang bayi yang sepertinya baru lahir. Mereka tampak bahagia sebagai pasangan suami istri. “Assalamualaikum,” ujarku lembut sambil tersenyum, menyembunyikan goresan hati yang kini sangat sakit. Berusaha menahan bening di kelopak yang ingin tumpah. Mas Anjas nampak kaget melihatku, begitupun dengan Ana. Wajah yang tadinya terlihat bahagia, kini berubah menjadi raut yang entah apa, aku tak bisa menebak. Mataku belum ingin berpaling, masih saja berfokus melihat sosok lelaki itu. Rasanya belum ikhlas untuk menghentikan tatapan. Dia tidak menjawab salamku. Padahal hampir semua orang yang berada di ruang tamu membalas salamku. “Masuk, Mba! Masuk!” Aku mendengar suara dari seorang bapak yang berdiri di samping. Aku mengangguk ramah dan melangkah masuk. Melihat sekeliling, mencari sosok mertua. Kenapa mereka tidak ada? Oh mungkin sedang berada di titik lain dalam rumah ini. Aku melangkah mendekati Mas Anjas dan Ana dengan wajah yang tersenyum. Aku pasti kan jika wajah ini tak akan terlihat sedih. Tak boleh terlihat lemah untuk saat ini. Di tangan ada beberapa buah-buahan yang tadi sempat aku beli saat ke sini. Aku langsung memberikan pada Ana. Sambil tersenyum, bibir pun berkata, “maaf ya, aku hanya membawa ini. Aku tidak tahu kalau disini sedang ada acara. Oh iya, selamat ya atas kelahiran anak kalian,” ujarku dengan wajah ceria. Melirik Mas Anjas, lalu melihat Ana dan bayi dalam gendongan. Kantung berisi buah aku taruh di samping tempat duduk Ana. “Vara, aku akan jelaskan semua sama kamu. Tolong jangan ambil kesimpulan sendiri.” Ana nampak panik. Setelah berkata, Ana melirik Mas Anjas yang masih saja menatapku. Mata lelaki ini belum juga berpaling sejak tadi. “Hahaha, santai, Na. Aku sudah tahu kok. Bayinya laki-laki atau perempuan?” tuturku tanpa menghilangkan senyum di wajah. Aku menatap bayi mungil yang masih ada di gendongan Ana. “Laki-laki, Var,” Jawab Ana singkat. Dia seolah canggung untuk berkata. “Hai Ganteng, nama kamu siapa?” tuturku sambil menyentuh tangan bayi mungil di gendongan Ana. Aku menatapnya. “Vara, nanti kita bicara berdua ya. Banyak yang ingin aku ceritakan ke kamu. Tolong jangan pulang dulu. Bila perlu kamu nginap di sini aja, ada kok kamar kosong,” ujar Ana, masih dengan wajah yang nampak gelisah. “Hehe, maaf ya, aku nggak bisa lama. Kebetulan ada janji setelah dari sini. Hehe, ini juga aku mau izin pamit,” tuturku yang lebih memilih menatap bayi mungil dari pada melihat Ana dan Mas Anjas. “Makan dulu. Aku yang akan mengantar kamu pulang.” Setelah sekian lama terdiam, Mas Anjas bersuara juga. “Makasih atas tawarannya. Aku sudah makan tadi. Sekali lagi selamat ya untuk kelahiran anak kalian, aku izin pamit.” Aku memberanikan diri untuk menatap Mas Anjas dan Ana bergantian sambil tersenyum. Aku pastikan jika senyum ini tak akan pudar selama melihat mereka. Aku pun berbalik ketika melihat Ana tak berkutik untuk merespon ucapanku. Baru saja melangkah, suara Mas Anjas pun terdengar, “Vara, biar aku yang mengantarmu pulang.” Suara ini terdengar sangat lembut. Aku berbalik, tak lupa untuk memasang senyum di wajah. Bibir pun berkata, “sekali lagi makasih untuk niat baiknya. Ini acara kalian, masa iya yang punya acara tidak berada di tempat. Hehe, aku tahu jalan pulang kok. Aku pamit ya. Sukses untuk acaranya. Sekali lagi selamat untuk kelahiran anak kalian.”Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk. “Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah. Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas. “Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka. Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku. Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L
Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin
Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”
***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L
Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik