***
Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruhku untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku selalu berharap pagar itu terbuka dan menampakan sosok Mas Anjas. “Mas, aku hamil. Apa kamu tidak ingin mendengar kabar baik ini? Apa kamu tidak ingin tahu kabarku? Kenapa kamu tak ada kabar?” Tak terasa air bening keluar dari kelopak. Aku meminta tolong pada Lufi untuk mencari nomor keluarga Mas Anjas, tetapi hingga sekarang Lutfi belum juga mendapatkan. Apa aku ke rumah orang tua Mas Anjas? Tetapi aku takut Mas Anjas marah karena aku kesana tanpa izin. Namun jika tidak ke sana, aku tetap tidak akan tenang. Lama termenung dan berpikir, aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Mas Anjas. Sekarang masih pagi. Kalau dapat bus jam sepuluh, aku bisa tiba di rumah orang tua Mas Anjas di siang hari. Setelah selesai bersiap siap, aku langsung memesan taksi online untuk menuju ke terminal bus. Satu jam lebih perjalanan, akhirnya tiba di Kota Bakau. Dari bus, aku juga harus memesan taksi menuju rumah Mas Anjas. Aku cukup gelisah, banyak hal yang di takutkan. Untung saja sejak tahu jika hamil sampai sekarang, aku tidak menunjukkan gejala hamil. Tidak merasakan mual dan muntah seperti perempuan lain. Mungkin janin di kandunganku paham dengan kondisi ibunya, sehingga tidak ingin menyusahkan. Aku menghentikan taksi sekitar lima puluh meter dari rumah orang tua Mas Anjas. Langkahku pelan dan ragu. Saat tiba di depan rumah orang tua Mas Anjas, aku dikagetkan dengan kondisi rumah yang ramai. Sepertinya sedang ada acara. Aku menghentikan langkah, ada rasa takut untuk masuk. Mata melihat ke kanan dan kiri, apakah aku salah rumah? Sepertinya tidak. Bentuk rumah orang tua Mas Anjas masih sama seperti saat aku pertama kali datang. “Permisi, Bu, mau tanya, ini rumah Mas Anjas,” ujarku dengan pada seorang ibu yang lagi membujuk anaknya agar tidak menangis. Si ibu kebetulan sedang berada di dekat pagar rumah. “Iya, benar! Teman Mas Anjas ya?” tutur si ibu sambil tersenyum. Aku sedikit gelagapan, lalu tersenyum sebagai jawaban. Aku bingung untuk menanggapi. Bahkan ada rasa canggung untuk mengaku jika aku istri Mas Anjas. Entahlah, aku bahkan tidak bisa menjelaskan kondisi perasaan saat ini. “Masuk saja, Mba. Mas Anjas dan istrinya ada di dalam,” ujar si ibu masih dengan senyum diwajahnya. Oh Tuhan, perasaan apa ini? Kenapa rasanya sakit sekali mendengar kata “istrinya Mas Anjas”. Apakah di sini tidak ada yang tahu jika aku juga istri Mas Anjas. Aku merasa sebagai orang asing di rumah suami sendiri. Apakah aku pulang saja? Rasanya kaki ini enggan untuk melangkah. Aku takut, sungguh rasanya sangat takut untuk melangkah. Aku tersadar ketika si ibu menyentuh lenganku. Dia lalu berkata, “loh, kok malah melamun. Masuk saja, Mba. Pasti Mas Anjas sudah menunggu di dalam. Dia pasti senang kalau tamunya datang.” “Oh iya, Bu,” ujarku lembut sambil tersenyum canggung. Aku pun melangkah dengan pelan. Sangat pelan hingga pintu rumah Orang Tua Mas Anjas terasa jauh. Rasanya kaki ini berat untuk melangkah, namun aku harus paksakan. Seenggaknya aku harus tahu jika Mas Anjas ternyata baik-baik saja. Aku tidak bisa hidup tanpa kabar darinya. Aku tidak mengenal siapa ibu itu. Mungkin dia keluarga Mas Anjas. Si ibu itu juga tidak mengenalku, jika mengenalku, pasti tidak akan mungkin berkata seperti tadi. Aku memang tidak mengenal siapa saja yang menjadi bagian dari keluarga Mas Anjas. Saat tiba di pintu rumah yang terbuka, mataku langsung menatap sosok yang sudah sangat di rindu. Sosok lelaki yang dua bulan lebih hilang kabar. Tak satupun pesanku masuk. Tak satupun panggilanku tersambung. Mas Anjas, dia sedang duduk bersampingan dengan seorang perempuan yang sangat aku kenal. Mas Anjas kini mengusap puncak kepala Perempuan itu — Perempuan yang sudah sah menjadi maduku. Mereka terlihat akrab dan sedang bersenda gurau. Lelaki yang berstatus sebagai suamiku itu tersenyum menatap Ana, sambil sesekali melihat sosok bayi di gendongan Ana. Ya di gendongan Ana ada seorang bayi yang sepertinya baru lahir. Mereka tampak bahagia sebagai pasangan suami istri. “Assalamualaikum,” ujarku lembut sambil tersenyum, menyembunyikan goresan hati yang kini sangat sakit. Berusaha menahan bening di kelopak yang ingin tumpah. Mas Anjas nampak kaget melihatku, begitupun dengan Ana. Wajah yang tadinya terlihat bahagia, kini berubah menjadi raut yang entah apa, aku tak bisa menebak. Mataku belum ingin berpaling, masih saja berfokus melihat sosok lelaki itu. Rasanya belum ikhlas untuk menghentikan tatapan. Dia tidak menjawab salamku. Padahal hampir semua orang yang berada di ruang tamu membalas salamku. “Masuk, Mba! Masuk!” Aku mendengar suara dari seorang bapak yang berdiri di samping. Aku mengangguk ramah dan melangkah masuk. Melihat sekeliling, mencari sosok mertua. Kenapa mereka tidak ada? Oh mungkin sedang berada di titik lain dalam rumah ini. Aku melangkah mendekati Mas Anjas dan Ana dengan wajah yang tersenyum. Aku pasti kan jika wajah ini tak akan terlihat sedih. Tak boleh terlihat lemah untuk saat ini. Di tangan ada beberapa buah-buahan yang tadi sempat aku beli saat ke sini. Aku langsung memberikan pada Ana. Sambil tersenyum, bibir pun berkata, “maaf ya, aku hanya membawa ini. Aku tidak tahu kalau disini sedang ada acara. Oh iya, selamat ya atas kelahiran anak kalian,” ujarku dengan wajah ceria. Melirik Mas Anjas, lalu melihat Ana dan bayi dalam gendongan. Kantung berisi buah aku taruh di samping tempat duduk Ana. “Vara, aku akan jelaskan semua sama kamu. Tolong jangan ambil kesimpulan sendiri.” Ana nampak panik. Setelah berkata, Ana melirik Mas Anjas yang masih saja menatapku. Mata lelaki ini belum juga berpaling sejak tadi. “Hahaha, santai, Na. Aku sudah tahu kok. Bayinya laki-laki atau perempuan?” tuturku tanpa menghilangkan senyum di wajah. Aku menatap bayi mungil yang masih ada di gendongan Ana. “Laki-laki, Var,” Jawab Ana singkat. Dia seolah canggung untuk berkata. “Hai Ganteng, nama kamu siapa?” tuturku sambil menyentuh tangan bayi mungil di gendongan Ana. Aku menatapnya. “Vara, nanti kita bicara berdua ya. Banyak yang ingin aku ceritakan ke kamu. Tolong jangan pulang dulu. Bila perlu kamu nginap di sini aja, ada kok kamar kosong,” ujar Ana, masih dengan wajah yang nampak gelisah. “Hehe, maaf ya, aku nggak bisa lama. Kebetulan ada janji setelah dari sini. Hehe, ini juga aku mau izin pamit,” tuturku yang lebih memilih menatap bayi mungil dari pada melihat Ana dan Mas Anjas. “Makan dulu. Aku yang akan mengantar kamu pulang.” Setelah sekian detik terdiam, Mas Anjas bersuara juga. “Makasih atas tawarannya. Aku sudah makan tadi. Sekali lagi selamat ya untuk kelahiran anak kalian, aku izin pamit.” Aku memberanikan diri untuk menatap Mas Anjas dan Ana bergantian sambil tersenyum. Aku pastikan jika senyum ini tak akan pudar selama melihat mereka. Aku pun berbalik ketika melihat Ana tak berkutik untuk merespon ucapanku. Baru saja melangkah, suara Mas Anjas pun terdengar, “Vara, biar aku yang mengantarmu pulang.” Suara ini sangat lembut. Aku berbalik, tak lupa untuk memasang senyum di wajah. Bibir pun berkata, “sekali lagi makasih untuk niat baiknya. Ini acara kalian, masa iya yang punya acara tidak berada di tempat. Hehe, aku tahu jalan pulang kok. Aku pamit ya. Sukses untuk acaranya. Sekali lagi selamat untuk kelahiran anak kalian.”Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk.“Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah.Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas.“Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka.Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku.Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka lupa j
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin aku tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan selama i
***“Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur.Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?”“Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut.“Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Siapa lelaki yang sedang mereka bahas? “Yislam itu siapa, Nak. Orang mana? Kok kalian bisa kenal dia? Kenalnya dari mana?” tuturku dengan kedua
“Apa ini, Mas? Jujur pada aku, selama ini kamu berbohong ‘kan!” Aku berkata histeris. Melempar semua foto yang diberikan oleh Lufi sahabatku. Awalnya aku tak percaya. Sudah berulang kali Lufi mengatakan jika Mas Anjas berselingkuh, tetapi aku tak percaya. Bukan hanya Lufi yang pernah berkata begitu padaku, tetapi aku sungguh tak pernah percaya. Bagaimana mungkin bisa percaya, Mas Anjas sangat baik padaku. Dia memperlakukan aku bagai ratu. Dia tak pernah marah. Semua keinginanku selalu dipenuhi. Dia tak pernah berkata kasar. Semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi. Lantas dengan dasar alasan apa aku bisa percaya pada orang-orang yang mengatakan jika Mas Anjas selingkuh?“Sayang, dengar dulu penjelasan ku. Semua tidak seperti yang kamu katakan. Tolong dengarkan aku dulu,” ujar Mas Anjas memohon.“Penjelasan apa, Mas? Bukti foto itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini kamu meminta izin keluar kota untuk bekerja, nyatanya kamu berbohong. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!” Aku sangat histe
“Sayang, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan hidup bersamamu seumur hidup. Aku pastikan, akan hidup menua bersama kamu. Tolong, jangan berkata seperti itu, Sayang. Kita tidak akan pernah berpisah.” Mas Anjas berkata dengan derai air yang keluar dari kelopak. “Berhenti panggil aku sayang! Tolong berhenti! Aku tidak suka mendengarnya. Mas itu pembohong! Mas itu pengkhianat! Berpura-pura baik di depanku agar aku tidak tahu tentang keburukan mas dibelakang. Aku bodoh, Mas! Aku sangat bodoh!” ujarku histeris. Tangan terus saja memukul-mukul dada Mas Anjas.Mas Anjas berusaha mendekapku, tetapi aku terus saja berupaya agar tak masuk dalam pelukannya. Aku tak bisa berdiri dan menjauh, Mas Anjas terlalu kuat menahan agar aku tak lari darinya. Aku membenci posisi kami saat ini.Akhirnya aku lelah. Tangan telah berhenti untuk memukul. Hanya derai tangisan yang memenuhi ruang kamar ini.“Aku benci kamu, Mas! Kenapa harus Ana? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus An
Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku. “Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.”Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas.“Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri. Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di rumah itu. Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang akan mengantarmu.” Saat itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa membantah. Cukup lama
“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.”Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku.“Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. “Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apapu