Share

Bab 5. Rindu Penuh Luka

***

Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. 

Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. 

Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruhku untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana aku bisa tenang. 

“Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. 

Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku selalu berharap pagar itu terbuka dan menampakan sosok Mas Anjas. 

“Mas, aku hamil. Apa kamu tidak ingin mendengar kabar baik ini? Apa kamu tidak ingin tahu kabarku? Kenapa kamu tak ada kabar?” Tak terasa air bening keluar dari kelopak. 

Aku meminta tolong pada Lufi untuk mencari nomor keluarga Mas Anjas, tetapi hingga sekarang Lutfi belum juga mendapatkan. Apa aku ke rumah orang tua Mas Anjas? Tetapi aku takut Mas Anjas marah karena aku kesana tanpa izin. Namun jika tidak ke sana, aku tetap tidak akan tenang. 

Lama termenung dan berpikir, aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Mas Anjas. Sekarang masih pagi. Kalau dapat bus jam sepuluh, aku bisa tiba di rumah orang tua Mas Anjas di siang hari.

Setelah selesai bersiap siap, aku langsung memesan taksi online untuk menuju ke terminal bus. Satu jam lebih perjalanan, akhirnya tiba di Kota Bakau. Dari bus, aku juga harus memesan taksi menuju rumah Mas Anjas. Aku cukup gelisah, banyak hal yang di takutkan. 

Untung saja sejak tahu jika hamil sampai sekarang, aku tidak menunjukkan gejala hamil. Tidak merasakan mual dan muntah seperti perempuan lain. Mungkin janin di kandunganku paham dengan kondisi ibunya, sehingga tidak ingin menyusahkan.

Aku menghentikan taksi sekitar lima puluh meter dari rumah orang tua Mas Anjas. Langkahku pelan dan ragu. Saat tiba di depan rumah orang tua Mas Anjas, aku dikagetkan dengan kondisi rumah yang ramai. Sepertinya sedang ada acara. Aku menghentikan langkah, ada rasa takut untuk masuk. Mata melihat ke kanan dan kiri, apakah aku salah rumah? Sepertinya tidak. Bentuk rumah orang tua Mas Anjas masih sama seperti saat aku pertama kali datang.

“Permisi, Bu, mau tanya, ini rumah Mas Anjas,” ujarku dengan pada seorang ibu yang lagi membujuk anaknya agar tidak  menangis. Si ibu kebetulan sedang berada di dekat pagar rumah. 

“Iya, benar! Teman Mas Anjas ya?” tutur si ibu sambil tersenyum.

Aku sedikit gelagapan, lalu tersenyum sebagai jawaban. Aku bingung untuk menanggapi. Bahkan ada rasa canggung untuk mengaku jika aku istri Mas Anjas. Entahlah, aku bahkan tidak bisa menjelaskan kondisi perasaan saat ini.

“Masuk saja, Mba. Mas Anjas dan istrinya ada di dalam,” ujar si ibu masih dengan senyum diwajahnya.

Oh Tuhan, perasaan apa ini? Kenapa rasanya sakit sekali mendengar kata “istrinya Mas Anjas”. Apakah di sini tidak ada yang tahu jika aku juga istri Mas Anjas. Aku merasa sebagai orang asing di rumah suami sendiri.

Apakah aku pulang saja? Rasanya kaki ini enggan untuk melangkah. Aku takut, sungguh rasanya sangat takut untuk melangkah.

Aku tersadar ketika si ibu menyentuh lenganku. Dia lalu berkata, “loh, kok malah melamun. Masuk saja, Mba. Pasti Mas Anjas sudah menunggu di dalam. Dia pasti senang kalau tamunya datang.” 

“Oh iya, Bu,” ujarku lembut sambil tersenyum canggung.

Aku pun melangkah dengan pelan. Sangat pelan hingga pintu rumah Orang Tua Mas Anjas terasa jauh. Rasanya kaki ini berat untuk melangkah, namun aku harus paksakan. Seenggaknya aku harus tahu jika Mas Anjas ternyata baik-baik saja. Aku tidak bisa hidup tanpa kabar darinya.

Aku tidak mengenal siapa ibu itu. Mungkin dia keluarga Mas Anjas. Si ibu itu juga tidak mengenalku, jika mengenalku, pasti tidak akan mungkin berkata seperti tadi. Aku memang tidak mengenal siapa saja yang menjadi bagian dari keluarga Mas Anjas. 

Saat tiba di pintu rumah yang terbuka, mataku langsung menatap sosok yang sudah sangat di rindu. Sosok lelaki yang dua bulan lebih hilang kabar. Tak satupun pesanku masuk. Tak satupun panggilanku tersambung. 

Mas Anjas, dia sedang duduk bersampingan dengan seorang perempuan yang sangat aku kenal. Mas Anjas kini mengusap puncak kepala Perempuan itu — Perempuan yang sudah sah menjadi maduku. Mereka terlihat akrab dan sedang bersenda gurau. 

Lelaki yang berstatus sebagai suamiku itu tersenyum menatap Ana, sambil sesekali melihat sosok bayi di gendongan Ana. Ya di gendongan Ana ada seorang bayi yang sepertinya baru lahir. Mereka tampak bahagia sebagai pasangan suami istri. 

“Assalamualaikum,” ujarku lembut sambil tersenyum, menyembunyikan goresan hati yang kini sangat sakit. Berusaha menahan bening di kelopak yang ingin tumpah.

Mas Anjas nampak kaget melihatku, begitupun dengan Ana. Wajah yang tadinya terlihat bahagia, kini berubah menjadi raut yang entah apa, aku tak bisa menebak. 

Mataku belum ingin berpaling, masih saja berfokus melihat sosok lelaki itu. Rasanya belum ikhlas untuk menghentikan tatapan. Dia tidak menjawab salamku. Padahal hampir semua orang yang berada di ruang tamu membalas salamku. 

“Masuk, Mba! Masuk!” 

Aku mendengar suara dari seorang bapak yang berdiri di samping. Aku mengangguk ramah dan melangkah masuk. Melihat sekeliling, mencari sosok mertua. Kenapa mereka tidak ada? Oh mungkin sedang berada di titik lain dalam rumah ini.

Aku melangkah mendekati Mas Anjas dan Ana dengan wajah yang tersenyum. Aku pasti kan jika wajah ini tak akan terlihat sedih. Tak boleh terlihat lemah untuk saat ini. 

Di tangan ada beberapa buah-buahan yang tadi sempat aku beli saat ke sini. Aku langsung memberikan pada Ana. Sambil tersenyum, bibir pun berkata, “maaf ya, aku hanya membawa ini. Aku tidak tahu kalau disini sedang ada acara. Oh iya, selamat ya atas kelahiran anak kalian,” ujarku dengan wajah ceria. Melirik Mas Anjas, lalu melihat Ana dan bayi dalam gendongan. Kantung berisi buah aku taruh di samping tempat duduk Ana.

“Vara, aku akan jelaskan semua sama kamu. Tolong jangan ambil kesimpulan sendiri.” Ana nampak panik. Setelah berkata, Ana melirik Mas Anjas yang masih saja menatapku. Mata lelaki ini belum juga berpaling sejak tadi.

“Hahaha, santai, Na. Aku sudah tahu kok. Bayinya laki-laki atau perempuan?” tuturku tanpa menghilangkan senyum di wajah. Aku menatap bayi mungil yang masih ada di gendongan Ana. 

“Laki-laki, Var,” Jawab Ana singkat. Dia seolah canggung untuk berkata.

“Hai Ganteng, nama kamu siapa?” tuturku sambil menyentuh tangan bayi mungil di gendongan Ana. Aku menatapnya.

“Vara, nanti kita bicara berdua ya. Banyak yang ingin aku ceritakan ke kamu. Tolong jangan pulang dulu. Bila perlu kamu nginap di sini aja, ada kok kamar kosong,” ujar Ana, masih dengan wajah yang nampak gelisah.

“Hehe, maaf ya, aku nggak bisa lama. Kebetulan ada janji setelah dari sini. Hehe, ini juga aku mau izin pamit,” tuturku yang lebih memilih menatap bayi mungil dari pada melihat Ana dan Mas Anjas.

“Makan dulu. Aku yang akan mengantar kamu pulang.” Setelah sekian detik terdiam, Mas Anjas bersuara juga. 

“Makasih atas tawarannya. Aku sudah makan tadi. Sekali lagi selamat ya untuk kelahiran anak kalian, aku izin pamit.” 

Aku memberanikan diri untuk menatap Mas Anjas dan Ana bergantian sambil tersenyum. Aku pastikan jika senyum ini tak akan pudar selama melihat mereka. Aku pun berbalik ketika melihat Ana tak berkutik untuk merespon ucapanku.

Baru saja melangkah, suara Mas Anjas pun terdengar, “Vara, biar aku yang mengantarmu pulang.” Suara ini sangat lembut.

Aku berbalik, tak lupa untuk memasang senyum di wajah. Bibir pun berkata, “sekali lagi makasih untuk niat baiknya. Ini acara kalian, masa iya yang punya acara tidak berada di tempat. Hehe, aku tahu jalan pulang kok. Aku pamit ya. Sukses untuk acaranya. Sekali lagi selamat untuk kelahiran anak kalian.” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status