Home / Pernikahan / Please, Ceraikan Aku! / Bab 4. Berjanji Cukup Aku

Share

Bab 4. Berjanji Cukup Aku

Author: YOZA GUSRI
last update Last Updated: 2024-08-26 22:25:05

“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.”

Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku.

“Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi.

“Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apapun agar kita bisa menikah, agar kamu menjadi istriku.”

Aku cukup lama terdiam, memikirkan ucapan Mas Anjas. Begitu pun dengan Mas Anjas yang juga tak bersuara.

“Lantas kenapa harus Ana, Mas? Dia sahabatku. Mas tahu itu. Kenapa harus dia?” tanyaku pelan dengan air mata yang sudah kembali membasahi pipi. Aku bahkan belum beranjak dari tempat tadi.

“Karena Ana perempuan yang diinginkan oleh ibu. Aku tidak mencintai Ana, Vara. Aku hanya mencintaimu. Tetapi aku terpaksa harus menikahinya karena keinginan ibu.” Suara Mas Anjas bergetar.

“Kenapa, Mas. Kenapa seperti ini? Aku menyesal. Seharusnya dulu tetap pada pendirian untuk tidak menikah denganmu. Seharusnya aku sadar jika sampai kapanpun ibumu tak akan pernah menyukaiku. Seharusnya kita tidak pernah menikah, Mas. Nikahi saja Ana. Jangan memaksakan diri untuk menikahi ku jika pada akhirnya aku lah yang paling tersakiti.”

Mas Anjas langsung memelukku. Tangannya mengusap dan bibirnya mengecup keningku. “Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku. Selama ini aku sudah cukup tersiksa karena berusaha menjadi suami yang patuh kepada orang tua seperti keinginan kamu, Sayang. Jika bisa membangkang, aku sudah membawamu pergi dari sini dan kita bisa hidup berdua. Tetapi aku juga tidak mampu melakukan itu, karena aku anak tunggal. Kalau bukan aku yang menjaga kedua orang tuaku, siapa lagi? ”

Kami menangis bersama. Cukup lama hingga akhirnya lelah.

Lama terdiam dan berpikir, aku pun akhirnya berkata, “jika Mas bisa adil, aku ikhlas menerima pernikahan mas dengan Ana.” Mata terpejam, rasanya tak kuat. Tetapi mungkin aku bisa belajar.

Berulang kali diyakinkan jika mencintaiku, mungkin aku bisa berpikir lagi untuk tak akan berpisah. Aku tahu seperti apa karakter ibu mas Anjas, meskipun pertemuan kami terhitung jari. Mungkin selama ini mas Anjas juga tertekan dengan pernikahannya bersama Ana. Aku tahu, dia terlalu mencintaiku. Bisa jadi dia tidak bahagia dengan hidupnya karena selama ini membohongiku.

Ya, aku harus belajar memaafkan dan menerima. Kalau mungkin selama ini Mas Anjas tidak bahagia atau berpura-pura bahagia, aku bisa menjadi pengobatnya. Seperti yang selalu aku lakukan padanya, bukan marah dan menyalahkannya, melimpahkan semua masalah padanya. Lagi pula, aku sangat mencintai Mas Anjas. Selama dia tidak mencintai Ana dan hatinya tetap untukku, seharusnya pernikahan mereka tidak menjadi masalah untukku.

Mata terbuka setelah beberapa saat terpejam. Aku menatap mas Anjas yang juga ikut menatapku. Dia tersenyum, bulir air mata terjatuh dari kelopak. Aku langsung mengusap, tidak ingin membiarkannya menangis. Kedua tanganku langsung memeluknya.

“Maafkan aku, Sayang. Maaf karena mengambil keputusan yang menyakitimu. Percaya padaku, dihatiku hanya ada kamu. Percayalah, kamu satu satunya perempuan yang aku cintai,” ujar Mas Anjas pelan, seolah berbisik di telinga.

Aku langsung mengeratkan pelukan. Bibir pun berkata, “iya, Mas. Aku percaya jika mas mencintaiku. Maafkan aku yang terlalu emosi. Aku yakin kita bisa melewati semuanya.”

Perlahan aku melepas pelukan. Sungguh , aku selalu terpesona dengan ketampanan Mas Anjas. Dari dulu hingga sekarang tak berubah.

“Mas, aku boleh tidak meminta sesuatu.”

Mas Anjas hanya mengangguk sebagai jawaban. Senyum pun terbit di bibirnya. Aku membalas senyum Mas Anjas

“Apa, Sayang. Kamu ingin apa?” ujar Mas Anjas dengan lembut sambil tersenyum.

“Aku tidak ingin ada perempuan lain di sini.” Aku menyentuh bagian hati Mas Anjas. Bibirku lanjut berkata, “di sini nggak boleh ada yang lain. Hanya aku pemiliknya. Aku akan berusaha berdamai dengan keadaan sekarang. Menerima jika mas ternyata memiliki istri lain. Tetapi sampai kapanpun aku tidak akan bisa menerima jika mas mencintai perempuan lain. Aku ingin, mas hanya mencintaiku.”

“Iya, Sayang. Tanpa kamu meminta pun, aku akan melakukan itu. Kemarin, hari ini dan esok, kamu tetap satu satunya perempuan yang ada di hatiku.”

Egoiskah aku dengan segala permintaan? Sungguh, tidak rela rasanya jika lelaki yang aku cintai berbagi hati. Apalagi itu dengan sahabatku sendiri.

Mengingat Ana, aku tidak akan pernah bisa memaafkan perempuan itu. Bagaimana mungkin dia bersikap polos, namun dibelakang telah mengkhianati ku sebagai sahabatnya. Ternyata selama ini dia tidak hanya berstatus sebagai sahabatku, namun juga sebagai maduku. Sangat munafik bukan?

Aku masih mengingat jelas percakapan kami beberapa hari yang lalu. Aku menelpon Ana, ingin curhat padanya tentang Mas Anjas.

“Ana, aku diberitahu oleh seseorang jika Mas Anjas berselingkuh. Dia berkata tanpa bukti sih makanya aku tidak percaya. Pasti dia sedang berbohong.”

[“Masa sih? Nggak mungkin lah Mas Anjas selingkuh. Apa lagi selama ini hubungan kalian baik-baik saja. Kok bisa tiba tiba ada kabar begini?”]

“Nggak tahu, Ana, Kenapa temanku bisa bicara begitu. Cuman sekarang aku malah jadi takut kalau berita itu benar.”

[“Jangan berpikir yang nggak nggak, Vara. Kecuali ada bukti, baru dipercaya. Takutnya temanmu itu malah punya niat untuk merusak hubungan kamu dan Mas Anjas“]

“Nggak mungkin sih, Na. Dia teman baikku saat kuliah S2. Meskipun kerja di tempat berbeda, aku dengan dia masih akrab. Mana mungkin dia punya niat begitu. Aku jadi khawatir karena tidak mungkin temanku itu berkata begitu jika bukan karena mengetahui sesuatu yang buruk tentang Mas Anjas.”

Ana tak menanggapi perkataanku. Tiba-tiba saja dia minta izin untuk mematikan panggilan. Setelah mengetahui banyak fakta, aku pun menduga jika saat itu Mas Anjas sedang bersamanya. Entah apa yang terjadi hingga Ana memilih untuk mematikan panggilan.

Bagaimana tidak menduga demikian, saat itu Mas Anjas memang sedang keluar kota untuk mengurus cabang usahanya. Bisa jadi dia bersama Ana. Aku ingin bertanya pada Mas Anjas tentang semuanya, tetapi takut jika fakta akan semakin menyakitiku.

Biarlah, aku akan berusaha untuk tidak penasaran dengan apapun. Asalkan Mas Anjas tetap mencintaiku. Tetapi aku tidak bisa untuk baik baik saja pada Ana. Sudah beberapa hari aku tidak berkomunikasi dengannya. Dia juga mungkin belum tahu jika aku telah mengetahui kebusukannya. Entah sudah atau belum, bukan urusanku. Yang penting sekarang aku tidak lagi menganggapnya sebagai sahabat. Tidak ada sahabat yang menikah dengan suami sahabatnya. Itu terlalu jahat, bukan!

“Sayang kok diam, lagi mikirin apa. Yuk kita makan. Aku sudah lapar,” tutur Mas Anjas sambil memperbaiki rambutku yang sepertinya sangat berantakan.

“Aku takut mas tidak bisa menepati perkataan,” ujarku sambil menatap manik mata Mas Anjas

“Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Aku bisa memastikan jika hanya ada satu perempuan di hatiku. Selamanya hanya ada kamu.” Mas Anjas tersenyum lembut padaku.

Related chapters

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 5. Rindu Penuh Luka

    *** Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Selain mengurus beberapa usaha miliknya, Mas Anjas juga menggunakan waktunya untuk mengajar dikampus yang berbeda denganku. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruh untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana mungkin aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku

    Last Updated : 2024-08-26
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 6. Aku Pergi

    Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk. “Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah. Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas. “Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka. Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku. Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka

    Last Updated : 2024-08-31
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 7. Mencari Ketenangan

    “Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik

    Last Updated : 2024-08-31
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 8. Memutuskan Untuk Pergi Jauh

    “Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela

    Last Updated : 2024-09-16
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 9. Sulit Untuk Lupa

    *** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia

    Last Updated : 2024-09-16
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 10. Pemilik Hati

    Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,

    Last Updated : 2024-09-22
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 11. Tangisan Gadisku

    ***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L

    Last Updated : 2024-09-26
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 12. Pertemuan Tak Terduga

    Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”

    Last Updated : 2024-09-27

Latest chapter

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 13. Sebuah Kejujuran

    Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 13. Sebuah Kejujuran

    Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 13. Sebuah Kejujuran

    Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 12. Pertemuan Tak Terduga

    Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 11. Tangisan Gadisku

    ***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 10. Pemilik Hati

    Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 9. Sulit Untuk Lupa

    *** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 8. Memutuskan Untuk Pergi Jauh

    “Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 7. Mencari Ketenangan

    “Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik

DMCA.com Protection Status