Share

Bab 4. Berjanji Cukup Aku

“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.”

Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku.

“Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. 

“Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apapun agar kita bisa menikah, agar kamu menjadi istriku.”

Aku cukup lama terdiam, memikirkan ucapan Mas Anjas. Begitu pun dengan Mas Anjas yang juga tak bersuara.

“Lantas kenapa harus Ana, Mas? Dia sahabatku. Mas tahu itu. Kenapa harus dia?” tanyaku pelan dengan air mata yang sudah kembali membasahi pipi. Aku bahkan belum beranjak dari tempat tadi.

“Karena Ana perempuan yang diinginkan oleh ibu. Aku tidak mencintai Ana, Vara. Aku hanya mencintaimu. Tetapi aku terpaksa harus menikahinya karena keinginan ibu.” Suara Mas Anjas bergetar.

“Kenapa, Mas. Kenapa seperti ini? Aku menyesal. Seharusnya dulu tetap pada pendirian untuk tidak menikah denganmu. Seharusnya aku sadar jika sampai kapanpun ibumu tak akan pernah menyukaiku. Seharusnya kita tidak pernah menikah, Mas. Nikahi saja Ana. Jangan memaksakan diri untuk menikahi ku jika pada akhirnya aku lah yang paling tersakiti.” 

Mas Anjas langsung memelukku. Tangannya mengusap dan bibirnya mengecup keningku. “Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku. Selama ini aku sudah cukup tersiksa karena berusaha menjadi suami yang patuh kepada orang tua seperti keinginan kamu, Sayang. Jika bisa membangkang, aku sudah membawamu pergi dari sini dan kita bisa hidup berdua. Tetapi aku juga tidak mampu melakukan itu, karena aku anak tunggal. Kalau bukan aku yang menjaga kedua orang tuaku, siapa lagi? ”

Kami menangis bersama. Cukup lama hingga akhirnya lelah. 

Lama terdiam dan berpikir, aku pun akhirnya berkata, “jika Mas bisa adil, aku ikhlas menerima pernikahan mas dengan Ana.” Mata terpejam, rasanya tak kuat. Tetapi mungkin aku bisa belajar.

Berulang kali diyakinkan jika mencintaiku, mungkin aku bisa berpikir lagi untuk tak akan berpisah. Aku tahu seperti apa karakter ibu mas Anjas, meskipun pertemuan kami terhitung jari. Mungkin selama ini mas Anjas juga tertekan dengan pernikahannya bersama Ana. Aku tahu, dia terlalu mencintaiku. Bisa jadi dia tidak bahagia dengan hidupnya karena selama ini membohongiku. 

Ya, aku harus belajar memaafkan dan menerima. Kalau mungkin selama ini Mas Anjas tidak bahagia atau berpura-pura bahagia, aku bisa menjadi pengobatnya. Seperti yang selalu aku lakukan padanya, bukan marah dan menyalahkannya, melimpahkan semua masalah padanya. Lagi pula, aku sangat mencintai Mas Anjas. Selama dia tidak mencintai Ana dan hatinya tetap untukku, seharusnya pernikahan mereka tidak menjadi masalah untukku.

Mata terbuka setelah beberapa saat terpejam. Aku menatap mas Anjas yang juga ikut menatapku. Dia tersenyum, bulir air mata terjatuh dari kelopak. Aku langsung mengusap, tidak ingin membiarkannya menangis. Kedua tanganku langsung memeluknya.

“Maafkan aku, Sayang. Maaf karena mengambil keputusan yang menyakitimu. Percaya padaku, dihatiku hanya ada kamu. Percayalah, kamu satu satunya perempuan yang aku cintai,” ujar Mas Anjas pelan, seolah berbisik di telinga.

Aku langsung mengeratkan pelukan. Bibir pun berkata, “iya, Mas. Aku percaya jika mas mencintaiku. Maafkan aku yang terlalu emosi. Aku yakin kita bisa melewati semuanya.”

Perlahan aku melepas pelukan. Sungguh , aku selalu terpesona dengan ketampanan Mas Anjas. Dari dulu hingga sekarang tak berubah. 

“Mas, aku boleh tidak meminta sesuatu.” 

Mas Anjas hanya mengangguk sebagai jawaban. Senyum pun terbit di bibirnya. Aku membalas senyum Mas Anjas 

“Apa, Sayang. Kamu ingin apa?” ujar Mas Anjas dengan lembut sambil tersenyum.

“Aku tidak ingin ada perempuan lain di sini.” Aku menyentuh bagian hati Mas Anjas. Bibirku lanjut berkata, “di sini nggak boleh ada yang lain. Hanya aku pemiliknya. Aku akan berusaha berdamai dengan keadaan sekarang. Menerima jika mas ternyata memiliki istri lain. Tetapi sampai kapanpun aku tidak akan bisa menerima jika mas mencintai perempuan lain. Aku ingin, mas hanya mencintaiku.”

“Iya, Sayang. Tanpa kamu meminta pun, aku akan melakukan itu. Kemarin, hari ini dan esok, kamu tetap satu satunya perempuan yang ada di hatiku.”

Egoiskah aku dengan segala permintaan? Sungguh, tidak rela rasanya jika lelaki yang aku cintai berbagi hati. Apalagi itu dengan sahabatku sendiri. 

Mengingat Ana, aku tidak akan pernah bisa memaafkan perempuan itu. Bagaimana mungkin dia bersikap polos, namun dibelakang telah mengkhianati ku sebagai sahabatnya. Ternyata selama ini dia tidak hanya berstatus sebagai sahabatku, namun juga sebagai maduku. Sangat munafik bukan? 

Aku masih mengingat jelas percakapan kami beberapa hari yang lalu. Aku menelpon Ana, ingin curhat padanya tentang Mas Anjas.

“Ana, aku diberitahu oleh seseorang jika Mas Anjas berselingkuh. Dia berkata tanpa bukti sih makanya aku tidak percaya. Pasti dia sedang berbohong.”

[“Masa sih? Nggak mungkin lah Mas Anjas selingkuh. Apa lagi selama ini hubungan kalian baik-baik saja. Kok bisa tiba tiba ada kabar begini?”]

“Nggak tahu, Ana. Kenapa temanku bisa bicara begitu. Cuman sekarang aku malah jadi takut kalau berita itu benar.”

[“Jangan berpikir yang nggak nggak, Vara. Kecuali ada bukti, baru dipercaya. Takutnya temanmu itu malah punya niat untuk merusak hubungan kamu dan Mas Anjas“]

“Nggak mungkin sih, Na. Dia teman baikku saat kuliah S2. Meskipun kerja di tempat berbeda, aku dengan dia masih akrab. Mana mungkin dia punya niat begitu. Aku  jadi khawatir karena tidak mungkin temanku itu berkata begitu jika bukan karena mengetahui sesuatu yang buruk tentang Mas Anjas.”

Ana tak menanggapi perkataanku. Tiba tiba saja dia minta izin untuk mematikan panggilan. Setelah mengetahui banyak fakta, aku pun menduga jika saat itu Mas Anjas sedang bersamanya. Entah apa yang terjadi hingga Ana memilih untuk mematikan panggilan.

Bagaimana tidak menduga demikian, saat itu Mas Anjas memang sedang keluar kota untuk mengurus cabang usahanya. Bisa jadi dia bersama Ana. Aku ingin bertanya pada Mas Anjas tentang semuanya, tetapi takut akan semakin menyakitiku.

Biarlah, aku akan berusaha untuk tidak penasaran dengan apapun. Asalkan Mas Anjas tetap mencintaiku. Tetapi aku tidak bisa untuk baik baik saja pada Ana. Sudah beberapa hari aku tidak berkomunikasi dengannya. Dia juga mungkin belum tahu jika aku telah mengetahui kebusukannya. Entah sudah atau belum, bukan urusanku. Yang penting sekarang aku tidak lagi menganggapnya sebagai sahabat. Tidak ada sahabat yang menikah dengan suami sahabatnya. Itu terlalu jahat, bukan!

“Sayang kok diam, lagi mikirin apa. Yuk kita makan. Aku sudah lapar,” tutur Mas Anjas sambil memperbaiki rambutku yang sepertinya sangat berantakan.

“Aku takut mas tidak bisa menepati perkataan,” ujarku sambil menatap manik mata Mas Anjas 

“Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Aku bisa memastikan jika hanya ada satu perempuan di hatiku. Selamanya hanya ada kamu.” Mas Anjas tersenyum lembut padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status