“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.”
Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku. “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. “Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apapun agar kita bisa menikah, agar kamu menjadi istriku.” Aku cukup lama terdiam, memikirkan ucapan Mas Anjas. Begitu pun dengan Mas Anjas yang juga tak bersuara. “Lantas kenapa harus Ana, Mas? Dia sahabatku. Mas tahu itu. Kenapa harus dia?” tanyaku pelan dengan air mata yang sudah kembali membasahi pipi. Aku bahkan belum beranjak dari tempat tadi. “Karena Ana perempuan yang diinginkan oleh ibu. Aku tidak mencintai Ana, Vara. Aku hanya mencintaimu. Tetapi aku terpaksa harus menikahinya karena keinginan ibu.” Suara Mas Anjas bergetar. “Kenapa, Mas. Kenapa seperti ini? Aku menyesal. Seharusnya dulu tetap pada pendirian untuk tidak menikah denganmu. Seharusnya aku sadar jika sampai kapanpun ibumu tak akan pernah menyukaiku. Seharusnya kita tidak pernah menikah, Mas. Nikahi saja Ana. Jangan memaksakan diri untuk menikahi ku jika pada akhirnya aku lah yang paling tersakiti.” Mas Anjas langsung memelukku. Tangannya mengusap dan bibirnya mengecup keningku. “Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku. Selama ini aku sudah cukup tersiksa karena berusaha menjadi suami yang patuh kepada orang tua seperti keinginan kamu, Sayang. Jika bisa membangkang, aku sudah membawamu pergi dari sini dan kita bisa hidup berdua. Tetapi aku juga tidak mampu melakukan itu, karena aku anak tunggal. Kalau bukan aku yang menjaga kedua orang tuaku, siapa lagi? ” Kami menangis bersama. Cukup lama hingga akhirnya lelah. Lama terdiam dan berpikir, aku pun akhirnya berkata, “jika Mas bisa adil, aku ikhlas menerima pernikahan mas dengan Ana.” Mata terpejam, rasanya tak kuat. Tetapi mungkin aku bisa belajar. Berulang kali diyakinkan jika mencintaiku, mungkin aku bisa berpikir lagi untuk tak akan berpisah. Aku tahu seperti apa karakter ibu mas Anjas, meskipun pertemuan kami terhitung jari. Mungkin selama ini mas Anjas juga tertekan dengan pernikahannya bersama Ana. Aku tahu, dia terlalu mencintaiku. Bisa jadi dia tidak bahagia dengan hidupnya karena selama ini membohongiku. Ya, aku harus belajar memaafkan dan menerima. Kalau mungkin selama ini Mas Anjas tidak bahagia atau berpura-pura bahagia, aku bisa menjadi pengobatnya. Seperti yang selalu aku lakukan padanya, bukan marah dan menyalahkannya, melimpahkan semua masalah padanya. Lagi pula, aku sangat mencintai Mas Anjas. Selama dia tidak mencintai Ana dan hatinya tetap untukku, seharusnya pernikahan mereka tidak menjadi masalah untukku. Mata terbuka setelah beberapa saat terpejam. Aku menatap mas Anjas yang juga ikut menatapku. Dia tersenyum, bulir air mata terjatuh dari kelopak. Aku langsung mengusap, tidak ingin membiarkannya menangis. Kedua tanganku langsung memeluknya. “Maafkan aku, Sayang. Maaf karena mengambil keputusan yang menyakitimu. Percaya padaku, dihatiku hanya ada kamu. Percayalah, kamu satu satunya perempuan yang aku cintai,” ujar Mas Anjas pelan, seolah berbisik di telinga. Aku langsung mengeratkan pelukan. Bibir pun berkata, “iya, Mas. Aku percaya jika mas mencintaiku. Maafkan aku yang terlalu emosi. Aku yakin kita bisa melewati semuanya.” Perlahan aku melepas pelukan. Sungguh , aku selalu terpesona dengan ketampanan Mas Anjas. Dari dulu hingga sekarang tak berubah. “Mas, aku boleh tidak meminta sesuatu.” Mas Anjas hanya mengangguk sebagai jawaban. Senyum pun terbit di bibirnya. Aku membalas senyum Mas Anjas “Apa, Sayang. Kamu ingin apa?” ujar Mas Anjas dengan lembut sambil tersenyum. “Aku tidak ingin ada perempuan lain di sini.” Aku menyentuh bagian hati Mas Anjas. Bibirku lanjut berkata, “di sini nggak boleh ada yang lain. Hanya aku pemiliknya. Aku akan berusaha berdamai dengan keadaan sekarang. Menerima jika mas ternyata memiliki istri lain. Tetapi sampai kapanpun aku tidak akan bisa menerima jika mas mencintai perempuan lain. Aku ingin, mas hanya mencintaiku.” “Iya, Sayang. Tanpa kamu meminta pun, aku akan melakukan itu. Kemarin, hari ini dan esok, kamu tetap satu satunya perempuan yang ada di hatiku.” Egoiskah aku dengan segala permintaan? Sungguh, tidak rela rasanya jika lelaki yang aku cintai berbagi hati. Apalagi itu dengan sahabatku sendiri. Mengingat Ana, aku tidak akan pernah bisa memaafkan perempuan itu. Bagaimana mungkin dia bersikap polos, namun dibelakang telah mengkhianati ku sebagai sahabatnya. Ternyata selama ini dia tidak hanya berstatus sebagai sahabatku, namun juga sebagai maduku. Sangat munafik bukan? Aku masih mengingat jelas percakapan kami beberapa hari yang lalu. Aku menelpon Ana, ingin curhat padanya tentang Mas Anjas. “Ana, aku diberitahu oleh seseorang jika Mas Anjas berselingkuh. Dia berkata tanpa bukti sih makanya aku tidak percaya. Pasti dia sedang berbohong.” [“Masa sih? Nggak mungkin lah Mas Anjas selingkuh. Apa lagi selama ini hubungan kalian baik-baik saja. Kok bisa tiba tiba ada kabar begini?”] “Nggak tahu, Ana. Kenapa temanku bisa bicara begitu. Cuman sekarang aku malah jadi takut kalau berita itu benar.” [“Jangan berpikir yang nggak nggak, Vara. Kecuali ada bukti, baru dipercaya. Takutnya temanmu itu malah punya niat untuk merusak hubungan kamu dan Mas Anjas“] “Nggak mungkin sih, Na. Dia teman baikku saat kuliah S2. Meskipun kerja di tempat berbeda, aku dengan dia masih akrab. Mana mungkin dia punya niat begitu. Aku jadi khawatir karena tidak mungkin temanku itu berkata begitu jika bukan karena mengetahui sesuatu yang buruk tentang Mas Anjas.” Ana tak menanggapi perkataanku. Tiba tiba saja dia minta izin untuk mematikan panggilan. Setelah mengetahui banyak fakta, aku pun menduga jika saat itu Mas Anjas sedang bersamanya. Entah apa yang terjadi hingga Ana memilih untuk mematikan panggilan. Bagaimana tidak menduga demikian, saat itu Mas Anjas memang sedang keluar kota untuk mengurus cabang usahanya. Bisa jadi dia bersama Ana. Aku ingin bertanya pada Mas Anjas tentang semuanya, tetapi takut akan semakin menyakitiku. Biarlah, aku akan berusaha untuk tidak penasaran dengan apapun. Asalkan Mas Anjas tetap mencintaiku. Tetapi aku tidak bisa untuk baik baik saja pada Ana. Sudah beberapa hari aku tidak berkomunikasi dengannya. Dia juga mungkin belum tahu jika aku telah mengetahui kebusukannya. Entah sudah atau belum, bukan urusanku. Yang penting sekarang aku tidak lagi menganggapnya sebagai sahabat. Tidak ada sahabat yang menikah dengan suami sahabatnya. Itu terlalu jahat, bukan! “Sayang kok diam, lagi mikirin apa. Yuk kita makan. Aku sudah lapar,” tutur Mas Anjas sambil memperbaiki rambutku yang sepertinya sangat berantakan. “Aku takut mas tidak bisa menepati perkataan,” ujarku sambil menatap manik mata Mas Anjas “Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Aku bisa memastikan jika hanya ada satu perempuan di hatiku. Selamanya hanya ada kamu.” Mas Anjas tersenyum lembut padaku.***Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruhku untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku selalu berharap pagar itu terbuka dan menampakan sosok Mas Anjas. “Mas, aku hamil. Apa kamu tidak ingin mendengar kabar baik ini? Ap
Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk.“Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah.Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas.“Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka.Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku.Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka lupa j
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin aku tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan selama i
***“Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur.Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?”“Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut.“Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Siapa lelaki yang sedang mereka bahas? “Yislam itu siapa, Nak. Orang mana? Kok kalian bisa kenal dia? Kenalnya dari mana?” tuturku dengan kedua
“Apa ini, Mas? Jujur pada aku, selama ini kamu berbohong ‘kan!” Aku berkata histeris. Melempar semua foto yang diberikan oleh Lufi sahabatku. Awalnya aku tak percaya. Sudah berulang kali Lufi mengatakan jika Mas Anjas berselingkuh, tetapi aku tak percaya. Bukan hanya Lufi yang pernah berkata begitu padaku, tetapi aku sungguh tak pernah percaya. Bagaimana mungkin bisa percaya, Mas Anjas sangat baik padaku. Dia memperlakukan aku bagai ratu. Dia tak pernah marah. Semua keinginanku selalu dipenuhi. Dia tak pernah berkata kasar. Semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi. Lantas dengan dasar alasan apa aku bisa percaya pada orang-orang yang mengatakan jika Mas Anjas selingkuh?“Sayang, dengar dulu penjelasan ku. Semua tidak seperti yang kamu katakan. Tolong dengarkan aku dulu,” ujar Mas Anjas memohon.“Penjelasan apa, Mas? Bukti foto itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini kamu meminta izin keluar kota untuk bekerja, nyatanya kamu berbohong. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!” Aku sangat histe
“Sayang, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan hidup bersamamu seumur hidup. Aku pastikan, akan hidup menua bersama kamu. Tolong, jangan berkata seperti itu, Sayang. Kita tidak akan pernah berpisah.” Mas Anjas berkata dengan derai air yang keluar dari kelopak. “Berhenti panggil aku sayang! Tolong berhenti! Aku tidak suka mendengarnya. Mas itu pembohong! Mas itu pengkhianat! Berpura-pura baik di depanku agar aku tidak tahu tentang keburukan mas dibelakang. Aku bodoh, Mas! Aku sangat bodoh!” ujarku histeris. Tangan terus saja memukul-mukul dada Mas Anjas.Mas Anjas berusaha mendekapku, tetapi aku terus saja berupaya agar tak masuk dalam pelukannya. Aku tak bisa berdiri dan menjauh, Mas Anjas terlalu kuat menahan agar aku tak lari darinya. Aku membenci posisi kami saat ini.Akhirnya aku lelah. Tangan telah berhenti untuk memukul. Hanya derai tangisan yang memenuhi ruang kamar ini.“Aku benci kamu, Mas! Kenapa harus Ana? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus An
Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku. “Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.”Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas.“Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri. Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di rumah itu. Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang akan mengantarmu.” Saat itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa membantah. Cukup lama