Home / Pernikahan / Please, Ceraikan Aku! / Bab 3. Lebih Memilih Mati

Share

Bab 3. Lebih Memilih Mati

Author: YOZA GUSRI
last update Last Updated: 2024-08-26 22:01:22

Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa.

Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku.

“Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.”

Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas.

“Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri.

Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di Rumah Mas Anjas.

Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang harus mengantarmu.”

ketika itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa membantah. Aku sudah tak punya tenaga untuk berdebat. Cukup lama aku terdiam di dalam mobil. Hingga saat mobil sudah mendekati gubuk kecilku, bibir pun tergerak untuk bersuara.

“Kita putus saja ya, Mas. Ikuti perintah ibumu. Lagi pula, kita tak akan mungkin bisa menikah tanpa restunya. Pernikahan tanpa restu orang tua itu berat, Mas. Aku tidak mau.”

Air mata yang tertahan, akhirnya luruh juga. Sungguh, saat itu aku tak mampu untuk menahan air mata. Bagaimana mungkin mengucapkan kata putus pada lelaki yang paling aku cinta.

Mas Anjas langsung menepikan mobil. Dia terdiam beberapa detik. Entah apa yang ada dalam pikirannya, aku tak bisa menebak.

“Tidak, Sayang. Aku tidak akan mau memutuskan hubungan kita. Please, beri waktu untuk aku membujuk ibuku. Aku pasti bisa membuat ibu merestui hubungan kita,” ujar Mas Anjas. Wajahnya nampak sendu.

“Nggak usah, Mas. Kalaupun ibu mu merestui, mungkin karena terpaksa. Aku bisa mendengar dan melihat jelas tadi, bagaimana respon ibumu saat tahu tentangku. Aku justru berpikir kalau selama ini mas sudah berbohong ke aku. Bercerita jika ibu mas sangat menyukaiku, padahal sebenarnya tidak. Atau mungkin mas terlalu berlebihan menceritakan aku, sehingga saat ibu mas tahu kebenaran tentangku, dia jadi kecewa.”

Mas Anjas hanya terdiam. Dia tidak bisa menjawab. Mungkin benar dugaanku. Mas Anjas sudah cerita berlebihan pada ibunya.

“Mas, aku serius ingin mengakhiri hubungan kita. Aku nggak bisa menikah dengan mas.”

Setelah pernyataanku itu, Mas Anjas langsung melajukan mobil. Tidak ada lagi percakapan diantara kami. Ketika tiba di depan rumahku, baru saja akan membuka pintu mobil, Mas Anjas memegang tanganku, dia pun berkata, “aku sudah terlalu mencintai kamu, Vara. Kita pacaran sudah terlalu lama. Tujuh tahun, Var. Dari kita kuliah S1 sampai selesai S2. Kamu pikir gampang melupakan perempuan yang dicinta. Kamu pikir aku bisa melihat kamu menikah dengan lelaki lain? Nggak bisa, Var! Aku nggak mungkin bisa? Jika tidak menikah dengan kamu, maka selamanya aku tidak akan menikah?”

“Jangan seperti ini, Mas. Mau sampai kapan kita pacaran? Aku yakin ibumu tetap tidak akan mau merestui hubungan kita. Ya, karena kita berbeda. Aku cukup sadar diri.”

Aku langsung turun dari mobil. Mas Anjas hanya diam terpaku. Saat itu aku tahu dia rapuh. Aku pun sama rapuhnya. Hanya saja, tak ada yang bisa aku perbuat.

Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk tidak akan pernah menginjakan kaki di Rumah Mas Anjas. Takut dihina dan direndahkan lagi. Semua tak sesuai ekspektasi. Aku mengkhayalkan akan diperlakukan dengan baik, ternyata salah.

Tiga minggu aku menghindari Mas Anjas. Aku menganggap hubunganku dengan Mas Anjas telah berakhir, meskipun tanpa kata putus diantara kami. Tidak mengangkat telepon dan tidak pula membalas pesannya adalah usahaku agar bisa lupa. Namun, Mas Anjas tidak menyerah. Dia datang di kampus tempat aku mengajar untuk bertemu. Berulang kali tak ingin menemuinya, aku akhirnya menyerah.

Entah apa yang sudah Mas Anjas katakan pada ibunya hingga akhirnya hubungan kami direstui. Kami menikah tanpa kemewahan. Hanya acara akad nikah dan syukuran yang tidak mengundang banyak orang. Hanya keluarga inti Mas Anjas saja yang ada sedangkan dari pihak aku, hanya nenek dan paman dari ayah yang hadir. Paman Hamzah namanya, beliau sekaligus menjadi wali yang menikahkan aku.

Aku teringat ucapan ibu Mas Anjas setelah dua hari tinggal di rumahnya.

“Saya sudah merestui pernikahan kalian, tetapi jangan berharap saya mau menganggapmu sebagai menantu. Saya tidak ingin memiliki menantu dari keluarga miskin seperti kamu.”

Cukup sakit mendengar perkataan itu. Aku tidak membantah dan tidak pula membela diri. Sejak tinggal di Rumah ini, aku belum pernah lagi bertemu ibu Mas Anjas. Setiap lebaran atau ada acara apapun, Mas Anjas tidak pernah mengajak aku ke Rumahnya. Entah apa alasannya, aku pun tak mengerti. Setiap kali bertanya, Mas Anjas selalu mengalihkan pembicaraan. Dia bahkan seperti menjauhkan aku dari semua keluarganya.

Seminggu setelah menikah, Mas Anjas mengajak aku untuk tinggal di Rumah yang sudah dipersiapkan. Rumah inilah yang menjadi tempat bernaung kami setelah aku sah menjadi istri Mas Anjas. Bahkan aku tak menyangka jika Mas Anjas membuat sertifikat rumah ini atas namaku.

Lama termenung di kamar, ternyata malam pun telah tiba. Aku tak menyadari jika hari telah gelap. Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok Mas Anjas yang sedang tersenyum.

“Sayang, yuk makan. Aku sudah beli makanan kesukaan kamu,” ujar Mas Anjas sambil tersenyum. Dia lalu mengusap puncak kepalaku.

Sungguh, aku selalu saja lemah dengan semua perlakuan Mas Anjas. Seharusnya aku marah dan berkata kasar padanya. Tetapi hati ini terlalu plin-plan. Aku tidak pernah bisa marah dalam waktu yang lama padanya.

“Sayang, aku tahu kamu masih marah. Tetapi sekarang waktunya makan. Aku tidak ingin kamu sakit.” Mas Anjas kembali berujar dengan lembut. Dia kini duduk di depanku. Kedua tangannya memegang pipiku, lalu bibirnya mengecup keningku.

Sungguh perlakuan yang sangat manis. Apa semua ini dia lakukan karena untuk menutupi perselingkuhannya? Tetapi, aku sudah merasakan perlakuan manisnya sejak kami masih pacaran. Bahkan aku juga selalu melihat tatapan penuh cinta dimata Mas Anjas.

Aku sungguh bimbang Ya Allah. Lelaki di depanku ini sangat berarti. Aku tidak ingin bercerai dengannya. Tetapi aku juga tidak mau dimadu. Rasanya sangat sakit. Aku tidak mungkin bisa.

Aku harus kuat. Aku harus bisa mengakhiri hubungan kami. Mungkin sekarang rasanya masih sakit. Aku yakin beberapa tahun ke depan luka ini akan sembuh dengan sendirinya.

“Aku akan makan jika mas berjanji akan menceraikan aku. Besok juga urus surat perceraian kita!” ujarku sambil menatap mata Mas Anjas.

“Tidak, Sayang. Aku Sudah katakan, tidak akan pernah menceraikan kamu. Please, jangan pernah mengatakan hal itu, Vara.” Mas Anjas mulai geram. Mungkin emosinya sudah tersulut.

“Kalau begitu, biarkan aku mati kelaparan di kamar ini. Aku lebih memilih mati daripada di madu!”

Related chapters

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 4. Berjanji Cukup Aku

    “Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.” Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku. “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. “Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apa

    Last Updated : 2024-08-26
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 5. Rindu Penuh Luka

    *** Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Selain mengurus beberapa usaha miliknya, Mas Anjas juga menggunakan waktunya untuk mengajar dikampus yang berbeda denganku. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruh untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana mungkin aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku

    Last Updated : 2024-08-26
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 6. Aku Pergi

    Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk. “Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah. Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas. “Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka. Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku. Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka

    Last Updated : 2024-08-31
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 7. Mencari Ketenangan

    “Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik

    Last Updated : 2024-08-31
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 8. Memutuskan Untuk Pergi Jauh

    “Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela

    Last Updated : 2024-09-16
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 9. Sulit Untuk Lupa

    *** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia

    Last Updated : 2024-09-16
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 10. Pemilik Hati

    Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,

    Last Updated : 2024-09-22
  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 11. Tangisan Gadisku

    ***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L

    Last Updated : 2024-09-26

Latest chapter

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 13. Sebuah Kejujuran

    Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 13. Sebuah Kejujuran

    Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 13. Sebuah Kejujuran

    Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 12. Pertemuan Tak Terduga

    Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 11. Tangisan Gadisku

    ***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 10. Pemilik Hati

    Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 9. Sulit Untuk Lupa

    *** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 8. Memutuskan Untuk Pergi Jauh

    “Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela

  • Please, Ceraikan Aku!   Bab 7. Mencari Ketenangan

    “Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik

DMCA.com Protection Status