Share

Bab 3. Lebih Memilih Mati

Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa. 

Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku. 

“Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.”

Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas.

“Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri. 

Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di rumah itu. 

Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang akan mengantarmu.” 

Saat itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa membantah. Cukup lama aku terdiam di dalam mobil. Hingga saat mobil sudah mendekati gubuk kecilku, bibir pun tergerak untuk bersuara.

“Kita putus saja ya, Mas. Ikuti perintah ibumu. Lagi pula, kita tak akan mungkin bisa menikah tanpa restunya. Pernikahan tanpa restu orang tua itu berat, Mas. Aku tidak mau.” 

Air mata yang tertahan, akhirnya luruh juga. Sungguh, saat itu aku tak mampu untuk menahan air mata. Bagaimana mungkin mengucapkan kata putus pada lelaki yang paling aku cinta. 

Mas Anjas langsung menepikan mobil. Saat itu dia terdiam beberapa detik. Entah apa yang ada dalam pikirannya, aku tak bisa menebak.

“Tidak, Sayang. Aku tidak akan mau memutuskan hubungan kita. Please, beri waktu untuk aku bisa membujuk ibuku. Aku pasti bisa membuat ibu merestui hubungan kita,” ujar Mas Anjas. Wajahnya nampak sendu. 

“Nggak usah, Mas. Kalaupun ibu mu merestui, mungkin karena terpaksa. Aku bisa mendengar dan melihat jelas tadi, bagaimana respon ibumu saat tahu tentangku. Aku justru berpikir kalau selama ini mas sudah berbohong ke aku. Bercerita jika ibu mas sangat menyukaiku, padahal sebenarnya tidak. Atau mungkin mas terlalu berlebihan menceritakan aku, sehingga saat ibu mas tahu kebenaran tentangku, dia jadi kecewa.” 

Mas Anjas hanya terdiam. Dia tidak bisa menjawab. Mungkin benar dugaanku. Mas Anjas sudah cerita berlebihan pada ibunya.

“Mas, aku serius ingin mengakhiri hubungan kita. Aku nggak bisa menikah dengan mas.”

Setelah pernyataanku itu, Mas Anjas langsung melajukan mobil. Tidak ada lagi percakapan diantara kami. Ketika tiba di depan rumahku, baru saja akan membuka pintu, Mas Anjas memegang tanganku, dia pun berkata, “aku sudah terlalu mencintai kamu, Vara. Kita pacaran sudah terlalu lama. Tujuh tahun, Var. Dari kita kuliah S1 sampai selesai S2. Kamu pikir gampang melupakan perempuan yang dicinta. Kamu pikir aku bisa melihat kamu menikah dengan lelaki lain? Nggak bisa, Var! Aku nggak mungkin bisa? Jika tidak menikah dengan kamu, maka selamanya aku tidak akan menikah?” 

“Jangan seperti ini, Mas. Mau sampai kapan kita pacaran? Aku yakin ibumu tetap tidak akan mau merestui hubungan kita. Ya, karena kita berbeda. Aku cukup sadar diri.”

Aku langsung turun dari mobil. Mas Anjas hanya diam terpaku. Saat itu aku tahu dia rapuh. Aku pun sama rapuhnya. Hanya saja, tak ada yang bisa aku perbuat.

Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk tidak akan pernah menginjakan kaki  di rumah Mas Anjas. Takut dihina dan direndahkan lagi. Semua tak sesuai ekspektasi. Aku mengkhayalkan akan disambut baik, ternyata salah.

Tiga minggu aku menghindari Mas Anjas. Aku menganggap hubunganku dengan Mas Anjas telah berakhir, meskipun tanpa kata putus diantara kami. Tidak mengangkat telepon dan tidak pula membalas pesannya adalah usahaku agar bisa lupa. Namun, Mas Anjas tidak menyerah. Dia datang di kampus tempat aku mengajar untuk bertemu. Berulang kali tak ingin menemuinya, aku akhirnya menyerah.

Entah apa yang sudah Mas Anjas katakan pada ibunya hingga akhirnya hubungan kami direstui. Kami menikah tanpa kemewahan. Hanya acara akad nikah dan syukuran yang tidak mengundang banyak orang. Hanya keluarga inti Mas Anjas saja yang ada sedangkan dari pihak aku, hanya nenek dan paman dari ayah yang hadir. Paman Hamzah namanya, beliau sekaligus menjadi wali yang menikahkan aku. 

Aku teringat ucapan ibu Mas Anjas setelah dua hari tinggal di rumahnya. 

“Saya sudah merestui pernikahan kalian, tetapi jangan berharap saya mau menganggapmu sebagai menantu. Saya tidak ingin memiliki menanti dari keluarga miskin seperti kamu.” 

Cukup sakit mendengar perkataan itu. Aku tidak membantah dan tidak pula membela diri. Sejak tinggal di rumah ini, aku belum pernah lagi bertemu ibu Mas Anjas. Setiap lebaran atau ada acara apapun, Mas Anjas tidak pernah mengajak aku ke rumahnya. Entah apa alasannya, aku pun tak mengerti. Setiap kali bertanya, Mas Anjas selalu mengalihkan pembicaraan. Dia bahkan seperti menjauhkan aku dari semua keluarganya. 

Seminggu setelah menikah, Mas Anjas mengajak aku untuk tinggal di rumah yang sudah dipersiapkan. Rumah inilah yang menjadi tempat bernaung kami setelah aku sah menjadi istri Mas Anjas. Bahkan aku tak menyangka jika Mas Anjas membuat sertifikat rumah ini atas namaku.

Lama termenung di kamar, ternyata malam pun telah tiba. Aku tak menyadari jika hari telah gelap. Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok Mas Anjas yang sedang tersenyum.

“Sayang, yuk makan. Aku sudah beli makanan kesukaan kamu,” ujar Mas Anjas sambil tersenyum. Dia lalu mengusap puncak kepalaku.

Sungguh, aku selalu saja lemah dengan semua perlakuan Mas Anjas. Seharusnya aku marah dan berkata kasar padanya. Tetapi hati ini terlalu plin-plan. Aku tidak pernah bisa marah dalam waktu yang lama padanya.

“Sayang, aku tahu kamu masih marah. Tetapi sekarang waktunya makan. Aku tidak ingin kamu sakit.” Mas Anjas kembali berujar dengan lembut. Dia kini duduk di depanku. Kini kedua tangannya memegang pipiku, lalu bibirnya mengecup keningku.

Sungguh perlakuan yang sangat manis. Apa semua ini dia lakukan karena untuk menutupi perselingkuhannya? Tetapi, aku sudah merasakan perlakuan manisnya sejak kami masih pacaran. Bahkan aku juga selalu melihat tatapan penuh cinta dimata Mas Anjas. 

Aku sungguh bimbang Ya Allah. Lelaki di depanku ini sangat berarti. Aku tidak ingin bercerai dengannya. Tetapi aku juga tidak mau dimadu. Rasanya sangat sakit. Aku tidak mungkin bisa. 

Aku harus kuat. Aku harus bisa mengakhiri hubungan kami. Mungkin sekarang rasanya masih sakit. Aku yakin beberapa tahun ke depan luka ini akan sembuh dengan sendirinya. 

“Aku akan makan jika mas berjanji akan menceraikan aku. Besok juga urus surat perceraian kita!” ujarku sambil menatap mata Mas Anjas.

“Tidak, Sayang. Sudah aku katakan, aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Please, jangan pernah mengatakan hal itu, Vara.” Mas Anjas mulai geram. Mungkin emosinya sudah tersulut.

“Kalau begitu, biarkan aku mati kelaparan di kamar ini. Aku lebih memilih mati daripada di madu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status