“Sayang, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan hidup bersamamu seumur hidup. Aku pastikan, akan hidup menua bersama kamu. Tolong, jangan berkata seperti itu, Sayang. Kita tidak akan pernah berpisah.” Mas Anjas berkata dengan derai air yang keluar dari kelopak.
“Berhenti panggil aku sayang! Tolong berhenti! Aku tidak suka mendengarnya. Mas itu pembohong! Mas itu pengkhianat! Berpura-pura baik di depanku agar aku tidak tahu tentang keburukan mas dibelakang. Aku bodoh, Mas! Aku sangat bodoh!” ujarku histeris. Tangan terus saja memukul-mukul dada Mas Anjas. Mas Anjas berusaha mendekapku, tetapi aku terus saja berupaya agar tak masuk dalam pelukannya. Aku tak bisa berdiri dan menjauh, Mas Anjas terlalu kuat menahan agar aku tak lari darinya. Aku membenci posisi kami saat ini. Akhirnya aku lelah. Tangan telah berhenti untuk memukul. Hanya derai tangisan yang memenuhi ruang kamar ini. “Aku benci kamu, Mas! Kenapa harus Ana? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus Ana yang kamu pilih untuk menyakitiku.” Mas Anjas tak menjawab ucapanku. Aku benci melihatnya diam. Sedangkan matanya masih saja menatapku sendu. “Aku ikhlas 'kan kamu hidup dengan Ana, Mas. Aku tidak akan menuntut apapun dari kamu. Toh kita juga tidak memiliki anak. Ceraikan aku dan hiduplah bahagia dengan Ana,” ujarku melemah dengan kedua mata menatap mata nanar Mas Anjas. “Tidak, Vara. Sampai dunia kiamat pun, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Vara. Kamu tahu itu! Hanya kamu perempuan yang aku mau. Tolong pahami aku, Sayang. Aku terpaksa menikahi Ana karena permintaan Ibu. Aku tidak bisa menolak karena saat itu Ibu masuk rumah sakit. Tolong percaya, aku akan memperbaiki semuanya.” Aku menggeleng, bibir pun berkata, “berhenti menjelaskan apapun padaku, Mas. Karena apapun penjelasan kamu tidak akan mengubah keputusanku untuk bercerai dengan kamu.” “Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Sayang? Apakah semua yang kita lewati akan berakhir karena masalah ini. Aku sengaja tak memberitahumu tentang pernikahanku dengan Ana karena aku tidak bisa. Aku tidak mampu melihat kamu menangis jika aku bercerita. Saat itu aku tidak mau menerima keinginan ibu, hanya saja, aku juga bimbang melihat ibu yang sedang sakit dan di rawat di rumah sakit. Ibu tidak mau minum obat kecuali aku memenuhi keinginannya untuk menikahi Ana. Ibu juga berjanji akan merestui pernikahan kita asalkan aku mau menikah dengan Ana. Saat itu aku bimbang, sayang. Tolong jangan pergi dari aku. Aku sangat butuh kamu saat ini. Aku tidak mungkin bisa hidup tanpa kamu, Vara.” Aku hanya tersenyum. Kepala menengadah, melihat langit-langit kamar. Terdiam cukup lama saat mendengar perkataan Mas Anjas. “Biarkan aku tenang untuk hari ini, Mas. Keluar lah, aku tidak bisa tidur bersamamu malam ini. Tidurlah di kamar lain,” ujarku lembut, tanpa melihat wajah Mas Anjas. “Baiklah, Sayang. Aku akan tidur di kamar sebelah. Aku berharap, setelah ini kita bisa bicara baik-baik,” ujar mas Anjas lembut. Lama menatap, dia lalu mengusap dan mengecup puncak kepalaku, berdiri dan melangkah meninggalkan kamar. Setelah Mas Anjas hilang dari pandangan, aku semakin terseduh. Apakah benar yang terucap dari bibir Mas Anjas? Kenapa aku sulit untuk percaya? Aku tak bisa lagi menebak kalimat bohong atau jujur yang terucap dari bibirnya. Kalau nanti pisah dari Mas Anjas, aku harus kemana? Aku sudah tidak memiliki ayah dan ibu. Mereka sudah lama meninggal, sejak aku masih kecil. Tiga tahun yang lalu, nenek juga meninggal. Sekarang aku hanya hidup sendiri. Aku pikir Mas Anjas akan menjadi rumah, nyatanya dia hanya menyiapkan tempat singgah. Sangat berat menerima kenyataan jika Mas Anjas telah menikah lagi. Aku sekarang memiliki madu. Apa benar yang tadi diucapkan oleh Mas Anjas? Pernikahan Mas Anjas dan Ana adalah keinginan ibu mertuaku. Aku sangat tidak menyangka akan diperlakukan begini. Memang dari dulu ibu Mas Anjas tidak menyukaiku. Tetapi apa harus menyuruh anaknya menikah lagi padahal dia tahu bahwa anaknya mencintaiku? Atau Mas Anjas berbohong, semua ini hanya keinginannya saja. Aku masih mengingat semua hinaan dari mulut Ibu Mas Anjas. Saat itu, aku diajak makan malam oleh Mas Anjas di Rumahnya. “Orang tuamu kerja apa?” tanya Ibu Mas Anjas setelah menelan makanan dimulutnya. Aku agak ragu untuk menjawab. Ibu Mas Anjas terdiam menunggu jawabanku. Dengan perasaan gugup, aku berkata, “kedua orang tua saya sudah meninggal, Bu.” “Oh begitu. Apa pendidikan terakhir kedua orang tuamu? Kamu berapa bersaudara dan kalau orang tuamu sudah meninggal, jadi sekarang kamu tinggal dengan siapa?” Ibu Mas Anjas kembali mengeluarkan suara. “Ibu saya tidak bersekolah, Bu. Kalau ayah, lulusan SD. Saya anak tunggal, Bu. Sekarang saya tinggal bareng nenek. Dari kecil, nenek yang merawat saya karena ibu meninggal saat melahirkan saya. Lalu ayah meninggal karena dulu ketabrak saat kerja,” ujarku lembut dengan penuh kehati-hatian. Tak lupa, senyum di bibir yang merekah. “Memangnya Ayahmu kerja apa?” Ibu Mas Anjas berkata sambil menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Yang aku bisa tebak, seperti tak suka denganku. Hanya saja saat itu aku berusaha berpikir positif. “Ayah kerjanya mencari barang bekas untuk ditimbang, Bu.” Aku berkata sambil menunduk. “Ayahmu pemulung?” Aku langsung mengangkat wajah mendengar pertanyaan itu. Kepala lalu mengangguk dan tersenyum canggung. Bukan karena malu memiliki ayah pemulung, tetapi melihat tatapan calon Ibu Mertua, nyali menciut. Dari tatapannya sudah jelas dia merendahkan profesi ayah. Meskipun aku sadar jika profesi pemulung dianggap rendah oleh hampir seluruh penduduk dunia. Tetapi anak mana yang suka jika ayahnya direndahkan. Pasti tidak ada ‘kan? Ibu Mas Anjas langsung menaruh sendok di atas piring dan melihat aku dan Mas Anjas bergantian. Beberapa menit terdiam sambil menatapku, dia lalu berkata, “punya nyali apa kamu mendekati anak saya? Kamu anak yatim piatu dan dari keluarga miskin yang nggak jelas kehidupannya. Sedangkan Anjas dari keluarga besar yang terhormat. Saya seorang PNS, ayahnya Anjas seorang polisi. Keluarga besar kami rata-rata punya pekerjaan yang jelas. Dua orang paman Anjas adalah polisi. Satunya lagi sekarang menjadi camat. Kamu seorang anak yatim yang miskin, kenapa berani mendekati anak saya?” Saat itu, aku sangat terkejut mendengar ucapan Ibu Mas Anjas. Sangat tidak menyangka kalimat itu keluar dari bibir seorang ibu lelaki yang aku cinta. Mas Anjas sangat baik, bagaimana mungkin dia memiliki ibu bermulut pedas? “Anjas, ibu tidak suka kamu dekat dekat dengan perempuan ini! Meskipun dia berpendidikan tinggi, lulusan S2, dan sekarang bekerja sebagai Dosen. Tetapi ibu tidak setuju kamu menikah dengannya. Dia hanya anak seorang pemulung yang sekarang jadi yatim piatu. Apa yang akan ibu katakan pada keluarga kita dan sahabat sahabat ibu. Pokoknya ibu tidak merestui hubungan kalian.” Setelah mendengar perkataan itu, makanan yang ada dalam mulutku sangat sulit untuk tertelan. Apa yang sebenarnya Mas Anjas ceritakan pada ibunya tentangku? Apa sebelumnya dia tidak bercerita tentang siapa aku? Sehingga membuat ibunya begitu marah. Padahal di awal menyambut, ibunya terlihat ramah padaku. “Segera putuskan perempuan ini, Anjas! Dia tidak pantas menjadi anggota keluarga kita. Ibu kira dia anak orang terpandang karena bisa melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang S2. Ternyata dia hanya seorang anak pemulung. Ibu senang jika punya menantu lulusan S2, apalagi seorang Dosen, pasti sangat membanggakan. Tetapi kenapa kamu tidak ceritakan semuanya tentang siapa perempuan ini.” Ibu Mas Anjas berkata sambil menatap lelaki yang duduk disampingku dengan penuh amarah. “Bu, kenapa harus mempermasalahkan tentang orang tua Vara? Aku dan Vara saling mencintai. Seharusnya profesi ayah Vara tidak perlu jadi masalah. Karena yang menjadi istriku nanti adalah Vara.” Mas Anjas berkata dengan tenang. Aku tahu karakternya. Dia memang lelaki yang selalu berusaha tenang dalam kondisi apapun. “Oh tidak begitu, Anjas! Tentang babat bibit bobot perempuan yang akan menjadi istrimu harus jelas karena kita keluarga terpandang. Ibu tidak mau tahu, putuskan perempuan ini. Ibu tidak rela punya menantu dari keluarga yang tidak selevel dengan kita,” ujar Ibu Mas Anjas yang langsung berdiri meninggalkan meja makan.Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku. “Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.” Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas. “Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri. Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di Rumah Mas Anjas. Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang harus mengantarmu.” ketika itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa memban
“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.” Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku. “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. “Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apa
*** Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Selain mengurus beberapa usaha miliknya, Mas Anjas juga menggunakan waktunya untuk mengajar dikampus yang berbeda denganku. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruh untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana mungkin aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku
Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk. “Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah. Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas. “Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka. Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku. Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin
Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”
***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L
Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik