Share

Bab 2. Aku Dianggap Berbeda 

“Sayang, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan hidup bersamamu seumur hidup. Aku pastikan, akan hidup menua bersama kamu. Tolong, jangan berkata seperti itu, Sayang. Kita tidak akan pernah berpisah.” Mas Anjas berkata dengan derai air yang keluar dari kelopak. 

“Berhenti panggil aku sayang! Tolong berhenti! Aku tidak suka mendengarnya. Mas itu pembohong! Mas itu pengkhianat! Berpura-pura baik di depanku agar aku tidak tahu tentang keburukan mas dibelakang. Aku bodoh, Mas! Aku sangat bodoh!” ujarku histeris. Tangan terus saja memukul-mukul dada Mas Anjas.

Mas Anjas berusaha mendekapku, tetapi aku terus saja berupaya agar tak masuk dalam pelukannya. Aku tak bisa berdiri dan menjauh, Mas Anjas terlalu kuat menahan agar aku tak lari darinya. Aku membenci posisi kami saat ini.

Akhirnya aku lelah. Tangan telah berhenti untuk memukul. Hanya derai tangisan yang memenuhi ruang kamar ini.

“Aku benci kamu, Mas! Kenapa harus Ana? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus Ana yang kamu pilih untuk menyakitiku.”

Mas Anjas tak menjawab ucapanku. Aku benci melihatnya diam. Sedangkan matanya masih saja menatapku sendu.

“Aku ikhlas kan kamu hidup dengan Ana, Mas. Aku tidak akan menuntut apapun dari kamu. Toh kita juga tidak memiliki anak. Ceraikan aku dan hiduplah bahagia dengan Ana,” ujarku melemah dengan kedua mata menatap mata nanar Mas Anjas.

“Tidak, Vara. Sampai dunia kiamat pun, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Vara. Kamu tahu itu! Hanya kamu perempuan yang aku mau. Tolong pahami aku, Sayang. Aku terpaksa menikahi Ana karena permintaan Ibu. Aku tidak bisa menolak karena saat itu Ibu masuk sakit. Tolong percaya, aku akan memperbaiki semuanya.”

Aku menggeleng, bibir pun berkata, “berhenti menjelaskan apapun padaku, Mas. Karena apapun penjelasan kamu tidak akan mengubah keputusanku untuk bercerai dengan kamu.”

“Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Sayang? Apakah semua yang kita lewati akan berakhir karena masalah ini. Aku sengaja tak memberitahumu tentang pernikahanku dengan Ana karena aku tidak bisa. Aku tidak mampu melihat kamu menangis saat aku bercerita. Saat itu aku tidak mau menerima keinginan ibu, hanya saja, aku juga bimbang melihat ibu yang sedang sakit dan di rawat di rumah sakit. Ibu tidak mau minum obat kecuali aku memenuhi keinginannya untuk menikahi Ana. Ibu juga berjanji akan merestui pernikahan kita asalkan aku mau menikah dengan Ana. Saat itu aku bimbang, sayang. Tolong jangan pergi dari aku. Aku sangat butuh kamu saat ini. Aku tidak mungkin bisa hidup tanpa kamu, Vara.”

Aku hanya tersenyum. Kepala menengadah, melihat langit-langit kamar. Terdiam cukup lama saat mendengar perkataan Mas Anjas.

“Biarkan aku tenang untuk hari ini, Mas. Keluar lah, aku tidak bisa tidur bersamamu malam ini. Tidurlah di kamar lain,” ujarku lembut, tanpa melihat wajah Mas Anjas. 

“Baiklah, Sayang. Aku akan tidur di kamar sebelah. Aku berharap, setelah ini kita bisa bicara baik-baik,” ujar mas Anjas lembut. Lama menatap, dia lalu mengusap dan mengecup puncak kepalaku, berdiri dan melangkah meninggalkan kamar.

Setelah Mas Anjas hilang dari pandangan, aku semakin terseduh.

Apakah benar yang terucap dari bibir Mas Anjas? Kenapa aku sulit untuk percaya? Aku tak bisa lagi menebak kalimat bohong atau jujur yang terucap dari bibirnya.

Kalau nanti pisah dari Mas Anjas, aku harus kemana? Aku sudah tidak memiliki ayah dan ibu. Mereka sudah lama meninggal, sejak aku masih kecil. Tiga tahun yang lalu, nenek juga meninggal. Sekarang aku hanya hidup sendiri. 

Aku pikir Mas Anjas akan menjadi rumah, nyatanya dia hanya menyiapkan tempat singgah. Sangat berat menerima kenyataan jika Mas Anjas telah menikah lagi. Aku sekarang memiliki madu.

Apa benar yang tadi diucapkan oleh Mas Anjas? Pernikahan Mas Anjas dan Ana adalah keinginan ibu mertuaku. Aku sangat tidak menyangka akan diperlakukan begini. Memang dari dulu ibu Mas Anjas tidak menyukaiku. Tetapi apa harus menyuruh anaknya menikah lagi padahal dia tahu bahwa anaknya mencintaiku? Atau Mas Anjas berbohong, semua ini hanya keinginannya saja.

Aku masih mengingat semua hinaan dari mulut Ibu Mas Anjas. Saat itu, aku diajak makan malam oleh Mas Anjas di rumahnya.

“Orang tuamu kerja apa?” tanya Ibu Mas Anjas setelah menelan makanan di mulutnya. 

Aku agak ragu untuk menjawab. Ibu Mas Anjas terdiam menunggu jawabanku. Dengan perasaan gugup, aku berkata, “kedua orang tua saya sudah meninggal, Bu.”

“Oh begitu. Apa pendidikan terakhir kedua orang tuamu? Kamu berapa bersaudara dan kalau orang tuamu sudah meninggal, jadi sekarang kamu tinggal dengan siapa?” Ibu Mas Anjas kembali mengeluarkan suara.

“Ibu saya tidak bersekolah, Bu. Kalau ayah, lulusan SD. Saya anak tunggal, Bu. Sekarang saya tinggal bareng nenek. Dari kecil, nenek yang merawat saya karena ibu meninggal saat melahirkan saya. Lalu ayah meninggal karena dulu ketabrak saat kerja,” ujarku lembut dengan penuh kehati-hatian. Tak lupa, senyum di bibir yang merekah.

“Ayahmu kerja apa?” Ibu Mas Anjas berkata sambil menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Yang aku bisa tebak, seperti tak suka denganku. Hanya saja saat itu aku berusaha berpikir positif.

“Ayah kerjanya mencari barang bekas untuk ditimbang, Bu.” Aku berkata sambil menunduk.

“Ayahmu pemulung?” 

Aku langsung mengangkat wajah mendengar pertanyaan itu. Kepala lalu mengangguk dan tersenyum canggung. Bukan karena malu memiliki ayah pemulung, tetapi melihat tatapan calon Ibu Mertua, nyali menciut. Dari tatapannya sudah jelas dia merendahkan profesi ayah. Meskipun aku sadar jika profesi pemulung dianggap rendah oleh hampir seluruh penduduk dunia. Tetapi anak mana yang suka jika ayahnya di rendahkan. Pasti tidak ada ‘kan?

Ibu Mas Anjas langsung menaruh sendok di atas piring dan melihat aku dan Mas Anjas bergantian. Beberapa menit terdiam sambil menatapku, dia lalu berkata, “punya nyali apa kamu mendekati anak saya? Kamu anak yatim piatu dan dari keluarga miskin yang nggak jelas kehidupannya. Sedangkan Anjas dari keluarga besar yang terhormat. Saya seorang PNS, ayahnya Anjas seorang polisi. Keluarga besar kami rata-rata punya pekerjaan yang jelas. Dua orang paman Anjas adalah polisi. Satunya lagi sekarang menjadi camat. Kamu seorang anak yatim yang miskin, kenapa berani mendekati anak saya?”

Saat itu, aku sangat terkejut mendengar ucapan Ibu Mas Anjas. Sangat tidak menyangka kalimat itu keluar dari bibir seorang ibu lelaki yang aku cinta. Mas Anjas sangat baik, bagaimana mungkin dia memiliki ibu bermulut pedas?

“Anjas, ibu tidak suka kamu dekat dekat dengan perempuan ini! Meskipun dia berpendidikan tinggi, lulusan S2, tetapi ibu tidak setuju kamu menikah dengannya. Dia hanya anak seorang pemulung yang sekarang jadi yatim piatu. Apa yang akan ibu katakan pada keluarga kita dan sahabat sahabat ibu. Pokoknya ibu tidak merestui hubungan kalian.” 

Setelah mendengar perkataan itu, makanan yang ada dalam mulutku sangat sulit untuk tertelan. Apa yang sebenarnya Mas Anjas ceritakan pada ibunya tentangku? Apa sebelumnya dia tidak bercerita tentang siapa aku? Sehingga membuat ibunya begitu marah. Padahal di awal menyambut, ibunya terlihat ramah.

“Segera putuskan perempuan ini Anjas! Dia tidak pantas menjadi anggota keluarga kita. Ibu kira dia anak orang terpandang karena bisa melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang S2. Ternyata dia hanya seorang anak pemulung. Ibu senang jika punya menantu lulusan S2, pasti sangat membanggakan. Tetapi kenapa kamu tidak ceritakan semuanya tentang siapa perempuan ini.” Ibu Mas Anjas berkata sambil menatap lelaki yang duduk disampingku dengan penuh amarah.

“Bu, kenapa harus mempermasalahkan tentang orang tua Vara? Aku dan Vara saling mencintai. Seharusnya profesi ayah Vara tidak perlu jadi masalah. Karena yang menjadi istriku nanti adalah Vara.” Mas Anjas berkata dengan tenang. Aku tahu karakternya. Dia memang lelaki yang selalu berusaha tenang dalam kondisi apapun. 

“Oh tidak begitu, Anjas! Tentang babat bibit bobot perempuan yang akan menjadi istrimu harus jelas karena kita keluarga terpandang. Ibu tidak mau tahu, putuskan perempuan ini. Ibu tidak rela punya menantu dari keluarga yang tidak selevel dengan kita,” ujar Ibu Mas Anjas yang langsung berdiri meninggalkan meja makan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status