Share

Please, Ceraikan Aku!
Please, Ceraikan Aku!
Penulis: YOZA GUSRI

Bab 1. Mengetahui Kenyataan 

“Apa ini, Mas? Jujur pada aku, selama ini kamu berbohong ‘kan!” Aku berkata histeris. Melempar semua foto yang diberikan oleh Lufi sahabatku.

Awalnya aku tak percaya. Sudah berulang kali Lufi mengatakan jika Mas Anjas berselingkuh, tetapi aku tak percaya. Bukan hanya Lufi yang pernah berkata begitu padaku, tetapi aku sungguh tak pernah percaya.

Bagaimana mungkin bisa percaya, Mas Anjas sangat baik padaku. Dia memperlakukan aku bagai ratu. Dia tak pernah marah. Semua keinginanku selalu dipenuhi. Dia tak pernah berkata kasar. Semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi. Lantas dengan dasar alasan apa aku bisa percaya pada orang-orang yang mengatakan jika Mas Anjas selingkuh?

“Sayang, dengar dulu penjelasan ku. Semua tidak seperti yang kamu katakan. Tolong dengarkan aku dulu,” ujar Mas Anjas memohon.

“Penjelasan apa, Mas? Bukti foto itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini kamu meminta izin keluar kota untuk bekerja, nyatanya kamu berbohong. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!”

Aku sangat histeris. Sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Aku tidak percaya jika lelaki yang menurutku sangat baik, tega berkhianat dibelakangku.

Mas Anjas meraih pergelangan tanganku, namun aku langsung menghempaskan. Bibirnya pun berucap, “Sayang, tolong. Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan!” Wajah Mas Anjas memelas.

“Berhenti memanggilku sayang. Aku benci kamu, Mas! Aku benci!” ujarku masih dengan penuh amarah.

Diri ini perlahan melemah. Aku terduduk dilantai. Rasanya kaki tak mampu menopang tubuh. Aku sungguh sangat rapuh.

“Pergi kamu, Mas! Aku tidak ingin lagi melihat wajahmu! Pergi!” tuturku lirih, tetapi pasti Mas Anjas dapat mendengar.

Mas Anjas mendekat, dia ikut terduduk. Kini kami duduk berhadapan. Namun aku tak Sudi melihat wajahnya. Sungguh, aku sangat kecewa.

Perempuan mana yang tak kecewa saat mengetahui kenyataan jika suaminya telah menikah siri dengan sahabatnya. Sakit, oh Tuhan ini terlalu sakit. Aku sangat tidak menyangka Mas Anjas tega melakukan ini padaku.

“Aku minta maaf, Sayang. Aku tak berniat menyakiti kamu. Aku juga sungguh tak mencintai Ana. Aku hanya mencintai kamu. Hanya kamu istriku, Sayang. Aku dan Ana hanya menikah siri,” ujar Mas Anjas pelan. Dia seolah berbisik ditelingaku. Suaranya terdengar sangat lembut. Namun, apapun yang keluar dari bibirnya sangat menyakitkan.

Aku tertawa sendu. Bibir pun berucap, “Katamu tidak mencintainya, Mas. Ana sedang hamil dan kamu mengatakan tidak mencintainya! Aku bukan perempuan bodoh. Oh tidak, aku adalah perempuan bodoh karena selama ini tidak percaya dengan ucapan orang-orang.”

Aku tertawa, menertawai diri sendiri. Sebuah tawa yang sungguh sangat mengiris hati. Rasanya saat ini aku sudah gila. Tertawa dengan air mata yang terus berderai.

“Tidak, Sayang. Aku bahkan tak pernah menyentuh Ana. Please percaya padaku, Sayang. Perempuan yang pernah aku sentuh hanya kamu.”

Tatapan Mas Anjas sangat sendu. Jika di hari yang lalu, aku iba melihat tatapan itu, tetapi tidak dengan hari ini. Aku muak, aku benci ditatap begini.

“Apa kamu ingin membodohiku? Tidak pernah menyentuh Ana tetapi dia bisa hamil. Apakah kamu sedang menyindirku yang belum juga hamil setelah lima tahun pernikahan kita, Mas? Benarkah begitu. Apa saat ini kamu sedang mengejekku?” ujarku lirih dengan wajah yang masih saja tersenyum sendu.

Mas Anjas menggeleng, “kamu salah paham, Sayang. Bukan begitu maksud perkataanku. Kamu tidak boleh berpikir begitu.”

“Lantas apa maksud mas berkata begitu padaku? Tidak perlu menjelaskan pernah melakukan hubungan badan atau tidak, atau kalian pernah melakukan berapa kali. Kehamilan Ana sudah menjadi bukti jika mas mencintainya. Mas tak mungkin berkhianat jika bukan cinta yang menjadi alasan.”

“Sayang, please, percaya padaku! Selama kita menikah, apa pernah aku membahas tentang kehamilan? Apa aku pernah mengeluh karena kita belum memiliki keturunan? Apa aku pernah memaksamu ini dan itu? Tidak pernah ‘kan? Aku tidak peduli, Sayang! Aku tidak peduli dengan takdir kita yang belum memiliki keturunan karena hidup dengan kamu adalah pilihanku. Aku sangat sayang kamu, Vara. Sungguh sangat sayang. Tolong jangan pernah berkata begitu.”

Aku tak bisa berkata apapun. Mungkin jawaban dari perkataan Mas Anjas dapat terjawab lewat air mata yang hingga kini tak henti.

Semua yang keluar dari bibir Mas Anjas benar adanya. Dia tak pernah memaksaku melakukan hal apapun agar bisa hamil. Bahkan dia lah yang selalu berkata bahwa tujuan pernikahan untuk menua bersama, anak adalah bonus. Jika Tuhan sudah percaya, pasti kita akan dikasih. Dia lah satu satunya makhluk yang selalu memberi motivasi padaku disaat rapuh.

Bahkan disaat semua orang memojokkan karena tak kunjung hamil, Mas Anjas selalu membela. Hingga usia pernikahan lima tahun, belum pernah sekalipun Mas Anjas diam saat ada orang yang merendahkan aku. Belum pernah sekalipun dia diam saat ada orang yang menyakitiku. Bagiku, Mas Anjas adalah rumah.

Tetapi ini apa? Yang dia lakukan sangat menyakitkan. Kemana aku harus pergi jika akhirnya memutuskan untuk berpisah? Aku tidak sanggup hidup tanpa Mas Anjas, tetapi aku juga tidak siap untuk di madu. Apalagi perempuan yang menjadi istri kedua Mas Anjas adalah Ana — Sahabatku. Sungguh, aku tidak bisa menerima kenyataan ini.

“Maafkan kesalahanku, Sayang. Selama ini tidak bercerita ke kamu karena aku takut kamu tidak akan terima. Aku tahu aku salah. Tolong maafkan aku. Aku berjanji akan memperbaiki semuanya. Percayalah, aku sangat mencintai kamu.”

Bulir air mata keluar dari kelopak Mas Anjas. Tetapi kenapa hati ini tak tersentuh. Mas Anjas nampak sangat rapuh.

Entah apa yang aku rasakan saat ini. Ucapan cinta dan sayang yang keluar dari bibir Mas Anjas tidak membuatku luluh. Aku sangat benci kata itu.

“Tidak layak bibirmu mengucap kata cinta, sedangkan tanganmu pernah menjamah perempuan lain. Najis, Mas! Aku tak sudi mendengarnya. Yuk, kita akhiri pernikahan ini. Aku rasa, pernikahan kita tidak bisa bertahan,” ujarku pelan dengan tatapan kosong.

Mas Anjas langsung memelukku. Bibirnya pun berkata, “tidak, Sayang. Aku bisa perbaiki semuanya. Kamu jangan pergi. Aku tidak mampu jika harus kehilangan kamu. Tolong, sayang. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki semuanya. Kamu saat ini masih dalam keadaan emosi. Kita bicarakan lagi saat suasana hatimu sudah membaik.”

Badanku sangat rapuh hingga tak punya tenaga untuk memberontak. Membiarkan diri berada dalam pelukan Mas Anjas. Tetapi aku benci pelukan ini. Aku benci jika harus mengetahui kenyataan, badan Mas Anjas pernah dicumbu oleh perempuan lain.

Aku sakit jika menerima kenyataan, bibir yang selalu mengucap sayang dan cinta, ternyata pernah bersentuhan dengan bibir perempuan lain. Aku tidak bisa menerima kenyataan menyakitkan itu. Tak rela jika Mas Anjas pernah begitu mesra dengan perempuan lain.

Dengan sisa tenaga yang aku punya, perlahan melepas pelukan. Aku menatap mata Mas Anjas. Lama terdiam, aku akhirnya berkata, “tidak ada lagi yang perlu diperbaiki, Mas. Sesuatu yang sudah retak, tidak akan bisa lagi untuk diperbaiki. Meskipun bisa, bekasnya tak mungkin hilang. Aku ingin kita bercerai. Mulai hari ini, hidup denganmu bukan lagi kebahagiaanku. Ceraikan aku, Mas!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status