Semua Bab Bukan Rahim Pengganti: Bab 41 - Bab 50

99 Bab

41. Ulah Rania

POV ANASetelah aku dan yang lainnya berfoto dan Dokter Mirza tak kunjung datang, kuputuskan untuk mengambil minuman, karena tenggorokanku sudah terasa haus, sekalian mencari Rania."Mbak, aku ke sana sebentar," pamitku pada Mbak Lia."Mau ke mana? Udah di sini aja!" katanya memegang tanganku dan menariknya mendekat."Sebentar aja, mau ambil minum, haus.""Bukannya tadi Dokter Mirza udah ambilin?""Mana? Nggak balik-balik," jawabku balik bertanya."Ya udah lah, buruan balik!""Hema."Aku bergegas pergi. Kupasang mataku baik-baik, kucari dari sudut ke sudut sosok Rania, hingga aku sampai di tempat hidangan. Di sana tersedia berbagai minuman, dari jus hingga soda. Kuambil jus jeruk yang menjadi favoritku. Saat kuambil jus dan menoleh ke sebelah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Rania berdiri tepat di sebelahku, sedang mengambil minuman juga. Sungguh hatiku berbunga, ternyata Rania jauh lebih cantik aslinya dibanding di foto."Mbak Rania." Kukumpulkan seluruh keberanian dan menyapanya dengan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-14
Baca selengkapnya

42. Permintaan Profesor

"Wuih ... slow. Iya ... iya ... iya!" selaku sebelum dia melanjutkan kata-katanya yang membuat kupingku panas, aku tahu dia pasti akan bilang bahwa dia akan menyuruh Dokter Dion untuk memecatku."Bagus, tadi kamu bilang apa aja sama Rania?""Emmm ... maaf... rahasia," jawabku, aku tak mau menyulut amarahnya lagi gara-gara aku mengatakan pada Rania bahwa aku adalah teman dekatnya."Ana!" Tapi dia malah menyentak."Ya, ya ... sebelumnya mohon maaf. Saya ... bilang temen deket dokter demi mendapat tanda tangannya. Tapi, percuma gagal juga," kataku apa adanya."Pinter ...," ujarnya lalu tersenyum, aku terheran karena seharusnya dia marah."Dokter nggak marah?" tanyaku ragu, dia menggeleng."Kamu lupa kalau kita sedang bersimbiosis?" katanya seolah mengingatkanku."Oh, iya." Pertanyaan mulai berdatangan di dalam benakku. Apa mungkin yang ingin Dokter Mirza patahkan adalah Rania? Mengingat sebelumnya mereka pernah bertemu berdua di cafe dekat rumah sakit hari ini. Apa mungkin Dokter Mirza
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-15
Baca selengkapnya

43. Permintaan Adrian

POV AUTHOR Mirza dengan langkah gagahnya meninggalkan Ana menuju podium untuk memberikan sambutan, bisa dikatakan itu sambutan terakhirnya sebelum dia kembali ke Jerman. Ana ikut memberikan tepuk tangan untuk Mirza dan masih setia berdiri di tempatnya. Semua memandang Mirza penuh kekaguman. Adi Wijaya yang ikut menemani Profesor Wijaya berdiri di atas podium juga terlihat lebih tenang sekarang, tanpa amarah, bahkan ia terlihat memberikan senyumnya saat Mirza naik ke atas podium walau hanya sekilas. Tiga lelaki hebat berdiri di atas dengan gagah, ada rasa haru dan bahagia menyelimuti hati seorang wanita paruh baya hingga meneteskan airmata. Wanita itu adalah Ratri yang kini duduk bersama Rania dan Rehan di bangku paling depan, sesekali ia tersenyum dan menyeka airmata bahagianya, melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tangannya bergerak, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan mengabadikan momen penuh kebahagiaan itu dengan mengambil gambar ketiga pria kebanggaa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-15
Baca selengkapnya

44. Seribu isyarat

"Mas, ngapain kamu di sini? Ini yang kamu bilang ke toilet?" tanya Najwa yang tiba-tiba datang menghampiri mereka."Najwa, aku masih ada urusan dengan Ana, kamu tahu Papa dan Mama, 'kan?" Bujuk Adrian."Bohong kamu, Mas!" jawab Najwa dengan mata berkaca-kaca."Lebih baik urus istri Anda dan Ana biar saya yang urus," sela Mirza seraya membantu Ana untuk berdiri."Ana, aku akan bilang ke Umi atas kelakuan kamu ini, kalau kamu nggak mau pulang ke rumah," ancam Adrian."Tak perlu repot-repot memberi tahu Umi, Ana sendiri yang akan memberitahu Uminya. Iya kan, An?" jawab Mirza melirik pada Ana yang masih meringis kesakitan sambil memegangi tangan Ana untuk menjaga keseimbangan tubuhnya."Iya ...," jawab Ana singkat saja, walau sebenarnya Ana tidak taju apa maksud Mirza, Ana hanya tidak menginginkan pertengkaran terjadi di tempat yang tak semestinya."An, mbak kan udah bilang jangan kemana-mana, ngeyel, sih," oceh Lia memotong pembicaraan mereka."Ayo, Mbak anter kamu pulang. Kita obatin ka
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

45. Nego

POV MIRZA "Dok, itu tempat sewa bajunya. Kita mampir dulu aja, kalau nggak dibalikin saya nggak bisa tidur nanti. Ini kan baju mahal," kata Ana yang membuatku benar-benar ingin tertawa. Ana bisa dalam sekejap bersikap dewasa dan dalam sekejap pula berubah seperti anak kecil yang tak punya pegangan. "Ya, terserah kamu aja, lah. Pak, berhenti di depan," perintahku pada sopir Mama. Kami pun turun dari mobil. Kubantu Ana untuk turun, mengingat kaki Ana masih belum tersentuh obat. Aku pun berniat menggendongnya. "Nggak usah di gendong, Dok, saya mau jalan sendiri." Namun Ana menolak saat aku mengulurkan tangan dan bersiap untuk menggendongnya. "Bisa?" tanyaku memastikan, Ana mengangguk pelan. Kubiarkan Ana berdiri sendiri, aku tak mau memaksanya lagi. Mungkin Ana kurang nyaman denganku. Aku paham itu. "Pak, bapak pulang aja. Saya sudah pesan taksi," bujukku pada sopir Mama. Setelah kupikirkan masak-masak. Aku tak mau kalau sampai Mama tahu aku dan Ana tinggal satu apartemen. "
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-17
Baca selengkapnya

46. Hanya iba

POV AUTHORSetelah pergi meninggalkan Ana dan Mirza di butik, Pak Dedi, sopir Ratri segera menemui Ratri di tempat yang sudah Bu Ratri beritahukan. Tepatnya di sebuah taman dekat acara ulang tahun Profesor Wijaya diadakan.Sebelumnya, Ratri pamit ke toilet pada suaminya agar tidak curiga.Tak berselang lama, Ratri menunggu Pak Dedi pun datang dan turun dari mobil menemui Ratri."Malem, Nya," sapa Pak Dedi."Malem, Pak. Gimana, Pak? Bapak sudah lakukan apa yang saya perintahkan?""Sudah, Bu.""Lalu, informasi apa yang sudah bapak peroleh?" tanya Ratri beranjak dari tempat duduknya. Kekhawatiran Ratri terhadap hubungan Mirza dan Ana yang sudah bersuami, membuatnya terpaksa melakukan hal ini. Ratri tak mau jika Mirza salah langkah."Mas Mirza sama Mbak Ana sepertinya belum ada ikatan apa-apa, Nya," jelas Pak Dedi."Mas ...?" tanya Ratri dengan dahi berkerut. "M_aaf Nya, maksud saya, Tuan Muda. Tadi Tuan Muda maunya dipanggil Mas," jelas Pak Dedi ketakutan."Tetep aja anak itu nggak b
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-18
Baca selengkapnya

47. Sungguhan atau bohongan?

POV ANAAku bergegas ke kamar. Kuhapus air mataku kasar, menangis atas perkataan Dokter Mirza tidaklah pantas untukku yang selama ini memang sudah banyak dibantu olehnya. Sakit? Boleh saja, tapi setiap orang berhak membantu orang lain dengan tujuannya masing-masing dan Dokter Mirza membantuku karena iba itu haknya, itu yang perlu kuingat. Kukemasi semua barang-barang yang tidak terlalu banyak, sudah waktunya aku berhenti merepotkan orang lain."Ana, ada yang mau saya jelaskan." Dokter Mirza mengikutiku dan menghentikan aktivitas berkemasku dengan mencekal pergelangantanganku yang sedang sibuk memasukkan baju-baju ke dalam koper."Silahkan, pendengaran saya masih jernih walau harus mendengarkan sambil berberes," jawabku melepaskan tanganku darinya."Apa kamu sedang marah dengan saya?" tanyanya lembut dengan tatapan penuh selidik kepadaku. Aku tak membalas tatapan itu. Aku memilih sibuk dengan baju-bajuku."Untuk apa saya marah, semua yang dokter katakan adalah hak dokter. Lagi pula sem
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-19
Baca selengkapnya

48. Telepon mengganggu

POV MIRZAKuhempaskan tubuhku ke sofa setelah kupastikan Ana tidak meninggalkan apartemen malam ini. Kuhela napas panjang, ada rasa lega karena telah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya pada Ana. Namun, ada juga rasa takut, takut akan jawaban yang akan diberikan Ana padaku nanti. Aku memang tak pandai dalam hal percintaan. Namun, Ana satu-satunya wanita yang membuat hidupku terasa lebih berguna untuk orang lain, tentunya orang lain dalam bidang non medis.Sejak Dokter Dion mematahkan harapanku dengan mengatakan bahwa Ana sudah memiliki suami, kuputuskan untuk mengubur dalam-dalam harapanku untuk memiliki Ana. Tapi rasa itu akhir-akhir ini muncul kembali tanpa aku sadari dan tanpa kuminta. Terbesit ingatanku tentang perkataan Ana pagi tadi. Apakah ini yang dinamakan cinta tak mengenal logika? Akupun tersenyum sendiri.Kurebahkan tubuhku ke sofa, rasa kantuk kian menyiksa, tapi pikiran terus berkelana. Kudengar Ana membuka pintu. Aku memilih pura-pura tidur dan pura-pura tidak tah
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-20
Baca selengkapnya

49. Panti asuhan

POV ADRIANMelihat Ana dengan dokter itu rasanya ingin sekali menghajarnya, namun sepertinya harus lebih cerdas melawan orang seperti Dokter Mirza. Aku terus berpikir bagaimana bisa melawannya.Setelah perdebatanku dengan Ana dan Mirza itu, aku segera mengajak Najwa untuk pulang. Selain tak enak dengan Pak Adi Wijaya yang merupakan rekan binisku sekaligus tetangga gedung denganku, aku juga tak mau mendengar sindiran-sindiran dan pujian tentang Mirza dari teman-teman kerja Ana yang membuat kupingku panas.Di dalam mobil aku dan Najwa saling diam, aku tahu saat ini Najwa sedang marah padaku. Tapi aku tak mau meladeninya, karena itu hanya akan menambah masalah saja."Mas, kamu masih mengharapkan Ana?" tanya Najwa tiba-tiba, membuatku terpaksa harus menginjak rem mobilku secara mendadak.Ciiiittt ...."Aw." Apa yang aku lakukan akhirnya menimbulkan sedikit benturan pada Najwa."Najwa, kamu baik-baik saja? Maaf," kataku memeriksa kepala Najwa yang meringis kesakitan dan dia pun segara me
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-21
Baca selengkapnya

50. Pesan Mirza

"Siap, Mas," jawab supir taksi yang sudah berumur itu.Ya, hari ini aku akan menemui Umi Ana, namanya Umi Zubaidah kalau kata suster Lia. Semalam, aku menyempatkan diri menanyakan alamat panti dan sedikit bertanya mengenai Umi Ana pada Suster Lia. Dengan sifat Ana yang masih tergolong labil, aku akan lebih tenang jika meninggalkan Ana di bawah pantauan uminya.Aku turun tepat di depan gerbang panti asuhan, panti yang terlihat begitu asri dan tenang. Banyak bunga dan tanaman hias tertata rapi mulai dari pintu gerbang hingga pintu masuk panti. Terlihat beberapa anak sedang main di halaman panti yang cukup luas itu."Pagi, Ganteng," sapaku pada anak laki-laki yang berusia sekitar 7 tahunan yang sedang asik bermain bola di halaman."Pagi, Om," jawabnya dengan nada yang sangat menggemaskan."Lagi main apa, Ganteng?" tanyaku berjongkok menyamai tinggi badan anak itu."Bola, Om. Main, yuk, Om," ajaknya begitu polos."Wah ... Om pengen ikut, tapi Om lagi buru-buru, Om mau ketemu Umi Zubaid
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-21
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status