"Mas, ngapain kamu di sini? Ini yang kamu bilang ke toilet?" tanya Najwa yang tiba-tiba datang menghampiri mereka."Najwa, aku masih ada urusan dengan Ana, kamu tahu Papa dan Mama, 'kan?" Bujuk Adrian."Bohong kamu, Mas!" jawab Najwa dengan mata berkaca-kaca."Lebih baik urus istri Anda dan Ana biar saya yang urus," sela Mirza seraya membantu Ana untuk berdiri."Ana, aku akan bilang ke Umi atas kelakuan kamu ini, kalau kamu nggak mau pulang ke rumah," ancam Adrian."Tak perlu repot-repot memberi tahu Umi, Ana sendiri yang akan memberitahu Uminya. Iya kan, An?" jawab Mirza melirik pada Ana yang masih meringis kesakitan sambil memegangi tangan Ana untuk menjaga keseimbangan tubuhnya."Iya ...," jawab Ana singkat saja, walau sebenarnya Ana tidak taju apa maksud Mirza, Ana hanya tidak menginginkan pertengkaran terjadi di tempat yang tak semestinya."An, mbak kan udah bilang jangan kemana-mana, ngeyel, sih," oceh Lia memotong pembicaraan mereka."Ayo, Mbak anter kamu pulang. Kita obatin ka
POV MIRZA "Dok, itu tempat sewa bajunya. Kita mampir dulu aja, kalau nggak dibalikin saya nggak bisa tidur nanti. Ini kan baju mahal," kata Ana yang membuatku benar-benar ingin tertawa. Ana bisa dalam sekejap bersikap dewasa dan dalam sekejap pula berubah seperti anak kecil yang tak punya pegangan. "Ya, terserah kamu aja, lah. Pak, berhenti di depan," perintahku pada sopir Mama. Kami pun turun dari mobil. Kubantu Ana untuk turun, mengingat kaki Ana masih belum tersentuh obat. Aku pun berniat menggendongnya. "Nggak usah di gendong, Dok, saya mau jalan sendiri." Namun Ana menolak saat aku mengulurkan tangan dan bersiap untuk menggendongnya. "Bisa?" tanyaku memastikan, Ana mengangguk pelan. Kubiarkan Ana berdiri sendiri, aku tak mau memaksanya lagi. Mungkin Ana kurang nyaman denganku. Aku paham itu. "Pak, bapak pulang aja. Saya sudah pesan taksi," bujukku pada sopir Mama. Setelah kupikirkan masak-masak. Aku tak mau kalau sampai Mama tahu aku dan Ana tinggal satu apartemen. "
POV AUTHORSetelah pergi meninggalkan Ana dan Mirza di butik, Pak Dedi, sopir Ratri segera menemui Ratri di tempat yang sudah Bu Ratri beritahukan. Tepatnya di sebuah taman dekat acara ulang tahun Profesor Wijaya diadakan.Sebelumnya, Ratri pamit ke toilet pada suaminya agar tidak curiga.Tak berselang lama, Ratri menunggu Pak Dedi pun datang dan turun dari mobil menemui Ratri."Malem, Nya," sapa Pak Dedi."Malem, Pak. Gimana, Pak? Bapak sudah lakukan apa yang saya perintahkan?""Sudah, Bu.""Lalu, informasi apa yang sudah bapak peroleh?" tanya Ratri beranjak dari tempat duduknya. Kekhawatiran Ratri terhadap hubungan Mirza dan Ana yang sudah bersuami, membuatnya terpaksa melakukan hal ini. Ratri tak mau jika Mirza salah langkah."Mas Mirza sama Mbak Ana sepertinya belum ada ikatan apa-apa, Nya," jelas Pak Dedi."Mas ...?" tanya Ratri dengan dahi berkerut. "M_aaf Nya, maksud saya, Tuan Muda. Tadi Tuan Muda maunya dipanggil Mas," jelas Pak Dedi ketakutan."Tetep aja anak itu nggak b
POV ANAAku bergegas ke kamar. Kuhapus air mataku kasar, menangis atas perkataan Dokter Mirza tidaklah pantas untukku yang selama ini memang sudah banyak dibantu olehnya. Sakit? Boleh saja, tapi setiap orang berhak membantu orang lain dengan tujuannya masing-masing dan Dokter Mirza membantuku karena iba itu haknya, itu yang perlu kuingat. Kukemasi semua barang-barang yang tidak terlalu banyak, sudah waktunya aku berhenti merepotkan orang lain."Ana, ada yang mau saya jelaskan." Dokter Mirza mengikutiku dan menghentikan aktivitas berkemasku dengan mencekal pergelangantanganku yang sedang sibuk memasukkan baju-baju ke dalam koper."Silahkan, pendengaran saya masih jernih walau harus mendengarkan sambil berberes," jawabku melepaskan tanganku darinya."Apa kamu sedang marah dengan saya?" tanyanya lembut dengan tatapan penuh selidik kepadaku. Aku tak membalas tatapan itu. Aku memilih sibuk dengan baju-bajuku."Untuk apa saya marah, semua yang dokter katakan adalah hak dokter. Lagi pula sem
POV MIRZAKuhempaskan tubuhku ke sofa setelah kupastikan Ana tidak meninggalkan apartemen malam ini. Kuhela napas panjang, ada rasa lega karena telah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya pada Ana. Namun, ada juga rasa takut, takut akan jawaban yang akan diberikan Ana padaku nanti. Aku memang tak pandai dalam hal percintaan. Namun, Ana satu-satunya wanita yang membuat hidupku terasa lebih berguna untuk orang lain, tentunya orang lain dalam bidang non medis.Sejak Dokter Dion mematahkan harapanku dengan mengatakan bahwa Ana sudah memiliki suami, kuputuskan untuk mengubur dalam-dalam harapanku untuk memiliki Ana. Tapi rasa itu akhir-akhir ini muncul kembali tanpa aku sadari dan tanpa kuminta. Terbesit ingatanku tentang perkataan Ana pagi tadi. Apakah ini yang dinamakan cinta tak mengenal logika? Akupun tersenyum sendiri.Kurebahkan tubuhku ke sofa, rasa kantuk kian menyiksa, tapi pikiran terus berkelana. Kudengar Ana membuka pintu. Aku memilih pura-pura tidur dan pura-pura tidak tah
POV ADRIANMelihat Ana dengan dokter itu rasanya ingin sekali menghajarnya, namun sepertinya harus lebih cerdas melawan orang seperti Dokter Mirza. Aku terus berpikir bagaimana bisa melawannya.Setelah perdebatanku dengan Ana dan Mirza itu, aku segera mengajak Najwa untuk pulang. Selain tak enak dengan Pak Adi Wijaya yang merupakan rekan binisku sekaligus tetangga gedung denganku, aku juga tak mau mendengar sindiran-sindiran dan pujian tentang Mirza dari teman-teman kerja Ana yang membuat kupingku panas.Di dalam mobil aku dan Najwa saling diam, aku tahu saat ini Najwa sedang marah padaku. Tapi aku tak mau meladeninya, karena itu hanya akan menambah masalah saja."Mas, kamu masih mengharapkan Ana?" tanya Najwa tiba-tiba, membuatku terpaksa harus menginjak rem mobilku secara mendadak.Ciiiittt ...."Aw." Apa yang aku lakukan akhirnya menimbulkan sedikit benturan pada Najwa."Najwa, kamu baik-baik saja? Maaf," kataku memeriksa kepala Najwa yang meringis kesakitan dan dia pun segara me
"Siap, Mas," jawab supir taksi yang sudah berumur itu.Ya, hari ini aku akan menemui Umi Ana, namanya Umi Zubaidah kalau kata suster Lia. Semalam, aku menyempatkan diri menanyakan alamat panti dan sedikit bertanya mengenai Umi Ana pada Suster Lia. Dengan sifat Ana yang masih tergolong labil, aku akan lebih tenang jika meninggalkan Ana di bawah pantauan uminya.Aku turun tepat di depan gerbang panti asuhan, panti yang terlihat begitu asri dan tenang. Banyak bunga dan tanaman hias tertata rapi mulai dari pintu gerbang hingga pintu masuk panti. Terlihat beberapa anak sedang main di halaman panti yang cukup luas itu."Pagi, Ganteng," sapaku pada anak laki-laki yang berusia sekitar 7 tahunan yang sedang asik bermain bola di halaman."Pagi, Om," jawabnya dengan nada yang sangat menggemaskan."Lagi main apa, Ganteng?" tanyaku berjongkok menyamai tinggi badan anak itu."Bola, Om. Main, yuk, Om," ajaknya begitu polos."Wah ... Om pengen ikut, tapi Om lagi buru-buru, Om mau ketemu Umi Zubaid
POV MIRZAAku termangu di depan pintu, melihat dua wanitaku sedang duduk bersama, bersisian, menikmati teh di depanku. Kulempar senyum keterpaksaan untuk mencairkan ketegangan yang saat ini menguasai. Jika bisa digambarkan sekarang, yang aku rasakan adalah sebuah batu besar tiba-tiba menghimpit dada.Terlihat Ana beranjak dari duduknya dan menghampiriku."Dokter, kenapa bengong?" tanyanya, aku tak menjawab, aku masih fokus pada Mama yang duduk di sofa, tapi menyimpan sejuta amarah di matanya. Ya, aku tahu Mama sedang marah karenaaku sudah sangat mengenalnya."Dokter!" sentak Ana lagi yang membuatku segera tersadar dari segala pikiran buruk saat ini."Iya, An." "Dokter kenapa masih di sini? Ada tamu. Tante Ratri. Dokter temui dulu. Saya ganti baju dulu sebelum kita berangkat ke bandara," kata Ana, dari apa yang Ana sampaikan tadi sepertinya semua baik-baik saja. Dan mama tidak membocorkan identitasku pada Ana. Aku bisa sedikit lega."Oh, iya, An," jawabku."Tante, saya ganti baju du
Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.
POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada
POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala
POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya
Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku
"Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit