Share

100. Pergi bersama

Penulis: Novita Sadewa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-22 11:44:12

Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.

Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?

"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion.

"Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.

Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan.

"Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bukan Rahim Pengganti   101. Berpisah

    "Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Bukan Rahim Pengganti   102

    Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25
  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • Bukan Rahim Pengganti   106. Direktur baru

    Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Bukan Rahim Pengganti   107. Akting

    Kuketuk pintu yang sebelumnya di tempati oleh Profesor Wijaya. "Masuk," serunya. Aku pun membuka pintu perlahan. Satu kata, pasrah, yang bisa kukatakan dalam hatiku saat ini."Pagi, Bapak," sapaku di depan pintu. Sepasang mataku mulai menyisir ruangan yang cukup besar itu. Kucari sosok Dokter Dion, namun, sepertinya ruangan ini kosong, hanya ada direktur baru yang tak lain adalah suamiku sendiri dan kini sedang berdiri bersandar pada meja yang terbuat dari bahan marmer."Tutup pintunya!" serunya masih dengan wajah kaku. Kututup pintu, lalu ku lempar senyum sopan, selayaknya bawahan pada atasan. Entah kenapa suasana di dalam sini begitu mencekam, aku tak tahu penyebabnya. Apa karena aku takut dengan perasaanku sendiri atau karena wajahnya saat ini memang sangat menakutkan? Yang pasti aku merasa saat ini adalah dia seolah bukan teman tidurku, melainkan seekor singa yang siap menerkam karena perlakuan khusus kami untuk Mas Adrian semalam. "Gara- gara Aryo ini," batinku menyalahkan, jika

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Bukan Rahim Pengganti   108. Resepsi

    "Maaf, Suster, saya nggak bermaksud ....""Nggak bermaksud apa?! Kalau pengaduan sudah sampai ke Bapak Direktur sendiri, berarti apa yang sudah kamu lakukan itu fatal! Apa yang sudah kamu lakukan, Ana?!" tanyanya dengan nada tinggi, rahangnya pun mengetat, sepertinya dia sudah sangat marah dan jengkel padaku."Saya ....""Sudah, sudah, Suster Leny. Masalah Ana biar menjadi tanggung jawab saya. Lagi pula kan saya yang mendapat pengaduan, sekarang, Suster Leny, bisa kembali," Mas Dirga menengahi perdebatan kami."Tapi apa tidak merepotkan, Bapak? Bapak terlalu berharga kalau hanya untuk mengurusi masalah Ana yang cuma seorang perawat. Kalau bapak mau, biar saya saja yang memberinya pelajaran," sindirnya, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan menghela napas pasrah."Oh, tidak perlu, Suster, biar saya saja. Sekarang Suter bisa kembali bekerja," perintahnya lagi."Baiklah, Pak kalau gitu saya permisi. Bapak, bisa panggil saya kalau sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu, terutama masalah Ana,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03

Bab terbaru

  • Bukan Rahim Pengganti   108. Resepsi

    "Maaf, Suster, saya nggak bermaksud ....""Nggak bermaksud apa?! Kalau pengaduan sudah sampai ke Bapak Direktur sendiri, berarti apa yang sudah kamu lakukan itu fatal! Apa yang sudah kamu lakukan, Ana?!" tanyanya dengan nada tinggi, rahangnya pun mengetat, sepertinya dia sudah sangat marah dan jengkel padaku."Saya ....""Sudah, sudah, Suster Leny. Masalah Ana biar menjadi tanggung jawab saya. Lagi pula kan saya yang mendapat pengaduan, sekarang, Suster Leny, bisa kembali," Mas Dirga menengahi perdebatan kami."Tapi apa tidak merepotkan, Bapak? Bapak terlalu berharga kalau hanya untuk mengurusi masalah Ana yang cuma seorang perawat. Kalau bapak mau, biar saya saja yang memberinya pelajaran," sindirnya, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan menghela napas pasrah."Oh, tidak perlu, Suster, biar saya saja. Sekarang Suter bisa kembali bekerja," perintahnya lagi."Baiklah, Pak kalau gitu saya permisi. Bapak, bisa panggil saya kalau sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu, terutama masalah Ana,

  • Bukan Rahim Pengganti   107. Akting

    Kuketuk pintu yang sebelumnya di tempati oleh Profesor Wijaya. "Masuk," serunya. Aku pun membuka pintu perlahan. Satu kata, pasrah, yang bisa kukatakan dalam hatiku saat ini."Pagi, Bapak," sapaku di depan pintu. Sepasang mataku mulai menyisir ruangan yang cukup besar itu. Kucari sosok Dokter Dion, namun, sepertinya ruangan ini kosong, hanya ada direktur baru yang tak lain adalah suamiku sendiri dan kini sedang berdiri bersandar pada meja yang terbuat dari bahan marmer."Tutup pintunya!" serunya masih dengan wajah kaku. Kututup pintu, lalu ku lempar senyum sopan, selayaknya bawahan pada atasan. Entah kenapa suasana di dalam sini begitu mencekam, aku tak tahu penyebabnya. Apa karena aku takut dengan perasaanku sendiri atau karena wajahnya saat ini memang sangat menakutkan? Yang pasti aku merasa saat ini adalah dia seolah bukan teman tidurku, melainkan seekor singa yang siap menerkam karena perlakuan khusus kami untuk Mas Adrian semalam. "Gara- gara Aryo ini," batinku menyalahkan, jika

  • Bukan Rahim Pengganti   106. Direktur baru

    Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.

  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

  • Bukan Rahim Pengganti   102

    Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku

  • Bukan Rahim Pengganti   101. Berpisah

    "Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa

  • Bukan Rahim Pengganti   100. Pergi bersama

    Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status