POV MIRZAAku termangu di depan pintu, melihat dua wanitaku sedang duduk bersama, bersisian, menikmati teh di depanku. Kulempar senyum keterpaksaan untuk mencairkan ketegangan yang saat ini menguasai. Jika bisa digambarkan sekarang, yang aku rasakan adalah sebuah batu besar tiba-tiba menghimpit dada.Terlihat Ana beranjak dari duduknya dan menghampiriku."Dokter, kenapa bengong?" tanyanya, aku tak menjawab, aku masih fokus pada Mama yang duduk di sofa, tapi menyimpan sejuta amarah di matanya. Ya, aku tahu Mama sedang marah karenaaku sudah sangat mengenalnya."Dokter!" sentak Ana lagi yang membuatku segera tersadar dari segala pikiran buruk saat ini."Iya, An." "Dokter kenapa masih di sini? Ada tamu. Tante Ratri. Dokter temui dulu. Saya ganti baju dulu sebelum kita berangkat ke bandara," kata Ana, dari apa yang Ana sampaikan tadi sepertinya semua baik-baik saja. Dan mama tidak membocorkan identitasku pada Ana. Aku bisa sedikit lega."Oh, iya, An," jawabku."Tante, saya ganti baju du
POV MIRZA "Masa Iddah, Ma? Dari mana mama tahu kalau Ana sudah bercerai?" "Kamu nggak perlu tahu mama tahu dari mana, justru Mama yang harus tahu. Apa kamu ada hubungannya dengan perceraian Ana?! Jawab pertanyaan Mama dengan jujur, Mirza!" tanya Mama dengan emosi."Pelankan suara Mama, Ma. Nggak enak kalau Ana sampai mendengar ini," kataku setengah berbisik."Jawab Mama, Mirza!" ucap Mama, kali ini suara Mama lebih rendah, tapi penuh penekanan."Demi Allah, Ma, Mirza nggak ada hubungannya. Mirza nggak seburuk itu," jawabku apa adanya."Lantas apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila? Tinggal satu atap dengan wanita yang bukan istrimu? Bahkan Ana bilang kamu yang menahannya untuk tinggal di sini! Kamu benar-benar sudah membuat Mama kecewa Mirza!" "Dua hari, dua hari, Ma. Dan setelah itu Mirza bakalan balik ke Jerman. Hanya dua hari kami bersama dan tidak terjadi apa-apa. Kami masih waras, Ma!" Jawabku yang tak kalah emosinya. Yang ada di benakku saat ini hanya ketakutan akan kemar
POV ANAPerasaan takutku menyeruak saat beberapa orang berseragam polisi menghampiriku dan Dokter Mirza, Dokter Mirza mencoba menenangkanku dengan mengatakan untuk tidak takut dan tenang. Sampai akhirnya mereka menyampaikan bahwa akan menangkap Dokter Mirza. Aku begitu terkejut. Tapi, berbeda dengan Dokter Mirza yang masih terlihat tenang dalam kondisi seperti ini. Entah terbuat dari apa orang yang ada di sebelahku saat ini, bahkan dalam kondisi seperti ini masih saja terlihat santai. Melihat caranya menghadapi polisi itu, sepertinya tak bisa mengandalkannya. Aku harus bertindak."Tunggu, Dokter Mirza sudah menyelamatkan pasien kami. Tidakkah itu bisa dibuat sebagai bahan pertimbangan untuk tidak menangkapnya?" kataku menahan mereka untuk berhenti mendekat ke arah kami."Maaf, kami hanya menjalankan tugas, untuk keterangan lebih lanjut bisa dijelaskan di kantor polisi." Yah, begitulah jawaban mereka, tidak jauh beda dengan yang aku lihat di sinetron-sinetron. Kupegangi terus tangan Do
"Siap, pegangan, Neng," serunya, aku pun segera berpegangan pada behel belakang motor, Karen agak mungkin juga pegangan pada perut bapaknya atau pundak bapaknya.Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam kami sudah sampai di depan rumah sakit, aku turun dan segera kubayar sesuai aplikasi. Setelahnya aku berlari menuju loby."Mbak ... Mbak helmnya! Kopernya juga ketinggalan, ni, Mbak," teriak tukang ojek itu padaku. "Ya, Tuhan," gerutuku kembali ke depan mengembalikan helm. Saking paniknya aku sampai lupa melepas helm dan meninggalkan koper dokter Mirza yang diletakkan di depan kemudi."Nih, Pak, makasih, ya, maaf," kataku, lalu kuambil koper itu.Aku kembali berlari menuju loby."Pak, nitip koper, itu punya Dokter Mirza, tolong simpen dulu," kataku pada security yang berjaga di loby."Iya, Mbak Ana," jawabnya tersenyum.Setelah menitipkan koper yang pasti akan membuatku bertambah ribet jika membawanya ke mana-mana, aku langsung menuju ke ruangan Dokter Dion. Tak jarang temanku menyap
POV ANA"Saya mau ketemu Adrian Pramono!" kataku pada resepsionis di kantor Mas Adrian tanpa selamat siang atau basa-basi. Setelah pesan dari Mas Adrian yang setengah mengancamku dan berkata akan membuat perhitungan dengan Dokter Mirza, aku curiga bahwa ia lah dalang dari penangkapan Dokter Mirza di bandara tadi."Maaf, Mbak, Pak Adrian sedang ada pertemuan. Mbak, bisa tunggu di sana," kata wanita berseragam coklat dengan rambut yang disanggul itu."Saya nggak bisa nunggu!" kataku, meninggalkan meja resepsionis dan berjalan menuju bagian dalam gedung."Mbak, tolong mengerti. Saya bisa panggil security untuk mengusir mbak kalau mbak tetap ngotot masuk." Wanita itu berlari mengejarku dan menahanku untuk masuk dengan mencekal pergelangan tanganku. Aku tak menghiraukan, kuhempaskan tangannya, lalu kuambil gawai dan kuhubungi Mas Adrian."Mas, aku mau ketemu. Aku sudah di loby. Aku yang masuk atau kamu yang keluar!" tegasku setelah Mas Adrian mengangkat telepon dariku. "Ya ...," jawabn
POV MIRZAKetika aku sedang di periksa oleh penyidik, Dokter Dion terlihat datang dan menemui penyidik juga, tapi aku tak melihat Ana bersamanya. "Ke mana anak itu?" batinku bertanya-tanya. Saat ini, aku dibantu oleh Dokter Dion menyelesaikan masalahku. Ya, sebelumnya aku dan Dokter Dion memang sempat membahas masalah SIP, sebelum aku terbang ke Indonesia. Dan dia mengatakan semua sudah diatur oleh Wijaya Hospital. Maka dari itu aku tak pernah merasa takut ataupun khawatir saat polisi menangkapku tadi.Beberapa jam kami menyelesaikan urusan kami dan akhirnya polisi membebaskan aku. Setelah kami menandatangani beberapa berkas, kami pun diperbolehkan untuk pulang."Maaf, Pak, kalau boleh tahu siapa yang melaporkan masalah ini?" tanya Dokter Dion pada petugas yang menangani kasusku ini. "Maaf, Pak, kalau masalah itu kami tidak bisa memberitahu, lagi pula pelapor tidak mau kalau identitasnya diketahui," jelasnya pada kami. Dari sini timbul berbagai pertanyaan dalam diriku. Kenapa harus
POV ANASetelah aku mendapatkan poselku kembali, aku segera menuju ke kantor polisi. Tidak mudah mendapatkan kembali ponselku. Aku harus melewati perdebatan panjang dengan Mas Adrian dan berlangsung cukup lama, karena ternyata Mas Adrian telah menyuruh orang mengunci pintu saat aku hendak keluar. Kami terus bersilang pendapat, hingga akhirnya kami mencapai sebuah kesepakatan. Awalnya Mas Adrian bersikeras hanya akan membebaskan Dokter Mirza dan mengembalikan poselku dengan syarat aku harus rujuk dengannya, namun sku tetap menolaknya.Hingga akhirnya Mas Adrian menyerah, ia sudah tak mampu lagi memaksaku dan membujukku, Mas Adrian mengubah persyaratannya dengan memintaku untuk makan siang bersamanya dan kedua orang tuanya, bersandiwara pada kedua orang tuanya untuk mengatakan bahwa aku belum bercerai darinya. Aku pun mengiyakannya karena tak ada pilihan lain lagi, saat ini tak ada yang bisa membantuku, aku seolah berada di kandang singa, sendiri, ceroboh sedikit saja bisa membuatku c
Sampai di panti, adik-adik panti menyambutku dan Umi dengan sangat gembira. Mereka menghampiri kami dan menyalami kami, mengecup punggung tangan kami bergantian."Mbak Ana ...," teriak Zidan berlari memanggilku dan memelukku begitu ia melihat kedatangan kami. Zidan adalah anak yang paling dekat denganku, selain lucu, dia juga sangat menyayangiku. Sampai -sampai dulu kalau aku sakit pun dia rela tidak main seharian hanya karena ingin menemaniku."Hai, Zidan, kamu ngapain jam segini bawa bola? Sebentar lagi malam, jangan main terus," kataku sembari mengusap kepalanya pelan."Zidan mau bertanding sama Om Ganteng, jadi harus berlatih," jawabnya dengan nada khasnya yang polos itu."Om?" tanyaku dengan dahi berkerut dalam."Dokter Mirza, An," sahur Umi yang berdiri di sebelahku dengan senyuman."Oh ... ya udah, Zidan, kamu masuk, gih, besok latihan lagi. Makan dulu," perintahku padanya. Tak lupa pula kuajak anak-anak yang lain untuk segera masuk ke dalam karena hari sudah mulai petang.Wak
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit
Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj
Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b
POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan
POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar
Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,
POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu