POV AUTHOR Mirza dengan langkah gagahnya meninggalkan Ana menuju podium untuk memberikan sambutan, bisa dikatakan itu sambutan terakhirnya sebelum dia kembali ke Jerman. Ana ikut memberikan tepuk tangan untuk Mirza dan masih setia berdiri di tempatnya. Semua memandang Mirza penuh kekaguman. Adi Wijaya yang ikut menemani Profesor Wijaya berdiri di atas podium juga terlihat lebih tenang sekarang, tanpa amarah, bahkan ia terlihat memberikan senyumnya saat Mirza naik ke atas podium walau hanya sekilas. Tiga lelaki hebat berdiri di atas dengan gagah, ada rasa haru dan bahagia menyelimuti hati seorang wanita paruh baya hingga meneteskan airmata. Wanita itu adalah Ratri yang kini duduk bersama Rania dan Rehan di bangku paling depan, sesekali ia tersenyum dan menyeka airmata bahagianya, melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tangannya bergerak, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan mengabadikan momen penuh kebahagiaan itu dengan mengambil gambar ketiga pria kebanggaa
"Mas, ngapain kamu di sini? Ini yang kamu bilang ke toilet?" tanya Najwa yang tiba-tiba datang menghampiri mereka."Najwa, aku masih ada urusan dengan Ana, kamu tahu Papa dan Mama, 'kan?" Bujuk Adrian."Bohong kamu, Mas!" jawab Najwa dengan mata berkaca-kaca."Lebih baik urus istri Anda dan Ana biar saya yang urus," sela Mirza seraya membantu Ana untuk berdiri."Ana, aku akan bilang ke Umi atas kelakuan kamu ini, kalau kamu nggak mau pulang ke rumah," ancam Adrian."Tak perlu repot-repot memberi tahu Umi, Ana sendiri yang akan memberitahu Uminya. Iya kan, An?" jawab Mirza melirik pada Ana yang masih meringis kesakitan sambil memegangi tangan Ana untuk menjaga keseimbangan tubuhnya."Iya ...," jawab Ana singkat saja, walau sebenarnya Ana tidak taju apa maksud Mirza, Ana hanya tidak menginginkan pertengkaran terjadi di tempat yang tak semestinya."An, mbak kan udah bilang jangan kemana-mana, ngeyel, sih," oceh Lia memotong pembicaraan mereka."Ayo, Mbak anter kamu pulang. Kita obatin ka
POV MIRZA "Dok, itu tempat sewa bajunya. Kita mampir dulu aja, kalau nggak dibalikin saya nggak bisa tidur nanti. Ini kan baju mahal," kata Ana yang membuatku benar-benar ingin tertawa. Ana bisa dalam sekejap bersikap dewasa dan dalam sekejap pula berubah seperti anak kecil yang tak punya pegangan. "Ya, terserah kamu aja, lah. Pak, berhenti di depan," perintahku pada sopir Mama. Kami pun turun dari mobil. Kubantu Ana untuk turun, mengingat kaki Ana masih belum tersentuh obat. Aku pun berniat menggendongnya. "Nggak usah di gendong, Dok, saya mau jalan sendiri." Namun Ana menolak saat aku mengulurkan tangan dan bersiap untuk menggendongnya. "Bisa?" tanyaku memastikan, Ana mengangguk pelan. Kubiarkan Ana berdiri sendiri, aku tak mau memaksanya lagi. Mungkin Ana kurang nyaman denganku. Aku paham itu. "Pak, bapak pulang aja. Saya sudah pesan taksi," bujukku pada sopir Mama. Setelah kupikirkan masak-masak. Aku tak mau kalau sampai Mama tahu aku dan Ana tinggal satu apartemen. "
POV AUTHORSetelah pergi meninggalkan Ana dan Mirza di butik, Pak Dedi, sopir Ratri segera menemui Ratri di tempat yang sudah Bu Ratri beritahukan. Tepatnya di sebuah taman dekat acara ulang tahun Profesor Wijaya diadakan.Sebelumnya, Ratri pamit ke toilet pada suaminya agar tidak curiga.Tak berselang lama, Ratri menunggu Pak Dedi pun datang dan turun dari mobil menemui Ratri."Malem, Nya," sapa Pak Dedi."Malem, Pak. Gimana, Pak? Bapak sudah lakukan apa yang saya perintahkan?""Sudah, Bu.""Lalu, informasi apa yang sudah bapak peroleh?" tanya Ratri beranjak dari tempat duduknya. Kekhawatiran Ratri terhadap hubungan Mirza dan Ana yang sudah bersuami, membuatnya terpaksa melakukan hal ini. Ratri tak mau jika Mirza salah langkah."Mas Mirza sama Mbak Ana sepertinya belum ada ikatan apa-apa, Nya," jelas Pak Dedi."Mas ...?" tanya Ratri dengan dahi berkerut. "M_aaf Nya, maksud saya, Tuan Muda. Tadi Tuan Muda maunya dipanggil Mas," jelas Pak Dedi ketakutan."Tetep aja anak itu nggak b
POV ANAAku bergegas ke kamar. Kuhapus air mataku kasar, menangis atas perkataan Dokter Mirza tidaklah pantas untukku yang selama ini memang sudah banyak dibantu olehnya. Sakit? Boleh saja, tapi setiap orang berhak membantu orang lain dengan tujuannya masing-masing dan Dokter Mirza membantuku karena iba itu haknya, itu yang perlu kuingat. Kukemasi semua barang-barang yang tidak terlalu banyak, sudah waktunya aku berhenti merepotkan orang lain."Ana, ada yang mau saya jelaskan." Dokter Mirza mengikutiku dan menghentikan aktivitas berkemasku dengan mencekal pergelangantanganku yang sedang sibuk memasukkan baju-baju ke dalam koper."Silahkan, pendengaran saya masih jernih walau harus mendengarkan sambil berberes," jawabku melepaskan tanganku darinya."Apa kamu sedang marah dengan saya?" tanyanya lembut dengan tatapan penuh selidik kepadaku. Aku tak membalas tatapan itu. Aku memilih sibuk dengan baju-bajuku."Untuk apa saya marah, semua yang dokter katakan adalah hak dokter. Lagi pula sem
POV MIRZAKuhempaskan tubuhku ke sofa setelah kupastikan Ana tidak meninggalkan apartemen malam ini. Kuhela napas panjang, ada rasa lega karena telah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya pada Ana. Namun, ada juga rasa takut, takut akan jawaban yang akan diberikan Ana padaku nanti. Aku memang tak pandai dalam hal percintaan. Namun, Ana satu-satunya wanita yang membuat hidupku terasa lebih berguna untuk orang lain, tentunya orang lain dalam bidang non medis.Sejak Dokter Dion mematahkan harapanku dengan mengatakan bahwa Ana sudah memiliki suami, kuputuskan untuk mengubur dalam-dalam harapanku untuk memiliki Ana. Tapi rasa itu akhir-akhir ini muncul kembali tanpa aku sadari dan tanpa kuminta. Terbesit ingatanku tentang perkataan Ana pagi tadi. Apakah ini yang dinamakan cinta tak mengenal logika? Akupun tersenyum sendiri.Kurebahkan tubuhku ke sofa, rasa kantuk kian menyiksa, tapi pikiran terus berkelana. Kudengar Ana membuka pintu. Aku memilih pura-pura tidur dan pura-pura tidak tah
POV ADRIANMelihat Ana dengan dokter itu rasanya ingin sekali menghajarnya, namun sepertinya harus lebih cerdas melawan orang seperti Dokter Mirza. Aku terus berpikir bagaimana bisa melawannya.Setelah perdebatanku dengan Ana dan Mirza itu, aku segera mengajak Najwa untuk pulang. Selain tak enak dengan Pak Adi Wijaya yang merupakan rekan binisku sekaligus tetangga gedung denganku, aku juga tak mau mendengar sindiran-sindiran dan pujian tentang Mirza dari teman-teman kerja Ana yang membuat kupingku panas.Di dalam mobil aku dan Najwa saling diam, aku tahu saat ini Najwa sedang marah padaku. Tapi aku tak mau meladeninya, karena itu hanya akan menambah masalah saja."Mas, kamu masih mengharapkan Ana?" tanya Najwa tiba-tiba, membuatku terpaksa harus menginjak rem mobilku secara mendadak.Ciiiittt ...."Aw." Apa yang aku lakukan akhirnya menimbulkan sedikit benturan pada Najwa."Najwa, kamu baik-baik saja? Maaf," kataku memeriksa kepala Najwa yang meringis kesakitan dan dia pun segara me
"Siap, Mas," jawab supir taksi yang sudah berumur itu.Ya, hari ini aku akan menemui Umi Ana, namanya Umi Zubaidah kalau kata suster Lia. Semalam, aku menyempatkan diri menanyakan alamat panti dan sedikit bertanya mengenai Umi Ana pada Suster Lia. Dengan sifat Ana yang masih tergolong labil, aku akan lebih tenang jika meninggalkan Ana di bawah pantauan uminya.Aku turun tepat di depan gerbang panti asuhan, panti yang terlihat begitu asri dan tenang. Banyak bunga dan tanaman hias tertata rapi mulai dari pintu gerbang hingga pintu masuk panti. Terlihat beberapa anak sedang main di halaman panti yang cukup luas itu."Pagi, Ganteng," sapaku pada anak laki-laki yang berusia sekitar 7 tahunan yang sedang asik bermain bola di halaman."Pagi, Om," jawabnya dengan nada yang sangat menggemaskan."Lagi main apa, Ganteng?" tanyaku berjongkok menyamai tinggi badan anak itu."Bola, Om. Main, yuk, Om," ajaknya begitu polos."Wah ... Om pengen ikut, tapi Om lagi buru-buru, Om mau ketemu Umi Zubaid
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit
Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj
Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b
POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan
POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar
Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,
POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu