Share

41. Ulah Rania

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2024-10-14 11:05:58

POV ANA

Setelah aku dan yang lainnya berfoto dan Dokter Mirza tak kunjung datang, kuputuskan untuk mengambil minuman, karena tenggorokanku sudah terasa haus, sekalian mencari Rania.

"Mbak, aku ke sana sebentar," pamitku pada Mbak Lia.

"Mau ke mana? Udah di sini aja!" katanya memegang tanganku dan menariknya mendekat.

"Sebentar aja, mau ambil minum, haus."

"Bukannya tadi Dokter Mirza udah ambilin?"

"Mana? Nggak balik-balik," jawabku balik bertanya.

"Ya udah lah, buruan balik!"

"Hema."

Aku bergegas pergi. Kupasang mataku baik-baik, kucari dari sudut ke sudut sosok Rania, hingga aku sampai di tempat hidangan. Di sana tersedia berbagai minuman, dari jus hingga soda. Kuambil jus jeruk yang menjadi favoritku. Saat kuambil jus dan menoleh ke sebelah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Rania berdiri tepat di sebelahku, sedang mengambil minuman juga. Sungguh hatiku berbunga, ternyata Rania jauh lebih cantik aslinya dibanding di foto.

"Mbak Rania." Kukumpulkan seluruh keberanian dan menyapanya dengan
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Bukan Rahim Pengganti   42. Permintaan Profesor

    "Wuih ... slow. Iya ... iya ... iya!" selaku sebelum dia melanjutkan kata-katanya yang membuat kupingku panas, aku tahu dia pasti akan bilang bahwa dia akan menyuruh Dokter Dion untuk memecatku."Bagus, tadi kamu bilang apa aja sama Rania?""Emmm ... maaf... rahasia," jawabku, aku tak mau menyulut amarahnya lagi gara-gara aku mengatakan pada Rania bahwa aku adalah teman dekatnya."Ana!" Tapi dia malah menyentak."Ya, ya ... sebelumnya mohon maaf. Saya ... bilang temen deket dokter demi mendapat tanda tangannya. Tapi, percuma gagal juga," kataku apa adanya."Pinter ...," ujarnya lalu tersenyum, aku terheran karena seharusnya dia marah."Dokter nggak marah?" tanyaku ragu, dia menggeleng."Kamu lupa kalau kita sedang bersimbiosis?" katanya seolah mengingatkanku."Oh, iya." Pertanyaan mulai berdatangan di dalam benakku. Apa mungkin yang ingin Dokter Mirza patahkan adalah Rania? Mengingat sebelumnya mereka pernah bertemu berdua di cafe dekat rumah sakit hari ini. Apa mungkin Dokter Mirza

    Last Updated : 2024-10-15
  • Bukan Rahim Pengganti   43. Permintaan Adrian

    POV AUTHOR Mirza dengan langkah gagahnya meninggalkan Ana menuju podium untuk memberikan sambutan, bisa dikatakan itu sambutan terakhirnya sebelum dia kembali ke Jerman. Ana ikut memberikan tepuk tangan untuk Mirza dan masih setia berdiri di tempatnya. Semua memandang Mirza penuh kekaguman. Adi Wijaya yang ikut menemani Profesor Wijaya berdiri di atas podium juga terlihat lebih tenang sekarang, tanpa amarah, bahkan ia terlihat memberikan senyumnya saat Mirza naik ke atas podium walau hanya sekilas. Tiga lelaki hebat berdiri di atas dengan gagah, ada rasa haru dan bahagia menyelimuti hati seorang wanita paruh baya hingga meneteskan airmata. Wanita itu adalah Ratri yang kini duduk bersama Rania dan Rehan di bangku paling depan, sesekali ia tersenyum dan menyeka airmata bahagianya, melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tangannya bergerak, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan mengabadikan momen penuh kebahagiaan itu dengan mengambil gambar ketiga pria kebanggaa

    Last Updated : 2024-10-15
  • Bukan Rahim Pengganti   44. Seribu isyarat

    "Mas, ngapain kamu di sini? Ini yang kamu bilang ke toilet?" tanya Najwa yang tiba-tiba datang menghampiri mereka."Najwa, aku masih ada urusan dengan Ana, kamu tahu Papa dan Mama, 'kan?" Bujuk Adrian."Bohong kamu, Mas!" jawab Najwa dengan mata berkaca-kaca."Lebih baik urus istri Anda dan Ana biar saya yang urus," sela Mirza seraya membantu Ana untuk berdiri."Ana, aku akan bilang ke Umi atas kelakuan kamu ini, kalau kamu nggak mau pulang ke rumah," ancam Adrian."Tak perlu repot-repot memberi tahu Umi, Ana sendiri yang akan memberitahu Uminya. Iya kan, An?" jawab Mirza melirik pada Ana yang masih meringis kesakitan sambil memegangi tangan Ana untuk menjaga keseimbangan tubuhnya."Iya ...," jawab Ana singkat saja, walau sebenarnya Ana tidak taju apa maksud Mirza, Ana hanya tidak menginginkan pertengkaran terjadi di tempat yang tak semestinya."An, mbak kan udah bilang jangan kemana-mana, ngeyel, sih," oceh Lia memotong pembicaraan mereka."Ayo, Mbak anter kamu pulang. Kita obatin ka

    Last Updated : 2024-10-16
  • Bukan Rahim Pengganti   45. Nego

    POV MIRZA "Dok, itu tempat sewa bajunya. Kita mampir dulu aja, kalau nggak dibalikin saya nggak bisa tidur nanti. Ini kan baju mahal," kata Ana yang membuatku benar-benar ingin tertawa. Ana bisa dalam sekejap bersikap dewasa dan dalam sekejap pula berubah seperti anak kecil yang tak punya pegangan. "Ya, terserah kamu aja, lah. Pak, berhenti di depan," perintahku pada sopir Mama. Kami pun turun dari mobil. Kubantu Ana untuk turun, mengingat kaki Ana masih belum tersentuh obat. Aku pun berniat menggendongnya. "Nggak usah di gendong, Dok, saya mau jalan sendiri." Namun Ana menolak saat aku mengulurkan tangan dan bersiap untuk menggendongnya. "Bisa?" tanyaku memastikan, Ana mengangguk pelan. Kubiarkan Ana berdiri sendiri, aku tak mau memaksanya lagi. Mungkin Ana kurang nyaman denganku. Aku paham itu. "Pak, bapak pulang aja. Saya sudah pesan taksi," bujukku pada sopir Mama. Setelah kupikirkan masak-masak. Aku tak mau kalau sampai Mama tahu aku dan Ana tinggal satu apartemen. "

    Last Updated : 2024-10-17
  • Bukan Rahim Pengganti   46. Hanya iba

    POV AUTHORSetelah pergi meninggalkan Ana dan Mirza di butik, Pak Dedi, sopir Ratri segera menemui Ratri di tempat yang sudah Bu Ratri beritahukan. Tepatnya di sebuah taman dekat acara ulang tahun Profesor Wijaya diadakan.Sebelumnya, Ratri pamit ke toilet pada suaminya agar tidak curiga.Tak berselang lama, Ratri menunggu Pak Dedi pun datang dan turun dari mobil menemui Ratri."Malem, Nya," sapa Pak Dedi."Malem, Pak. Gimana, Pak? Bapak sudah lakukan apa yang saya perintahkan?""Sudah, Bu.""Lalu, informasi apa yang sudah bapak peroleh?" tanya Ratri beranjak dari tempat duduknya. Kekhawatiran Ratri terhadap hubungan Mirza dan Ana yang sudah bersuami, membuatnya terpaksa melakukan hal ini. Ratri tak mau jika Mirza salah langkah."Mas Mirza sama Mbak Ana sepertinya belum ada ikatan apa-apa, Nya," jelas Pak Dedi."Mas ...?" tanya Ratri dengan dahi berkerut. "M_aaf Nya, maksud saya, Tuan Muda. Tadi Tuan Muda maunya dipanggil Mas," jelas Pak Dedi ketakutan."Tetep aja anak itu nggak b

    Last Updated : 2024-10-18
  • Bukan Rahim Pengganti   47. Sungguhan atau bohongan?

    POV ANAAku bergegas ke kamar. Kuhapus air mataku kasar, menangis atas perkataan Dokter Mirza tidaklah pantas untukku yang selama ini memang sudah banyak dibantu olehnya. Sakit? Boleh saja, tapi setiap orang berhak membantu orang lain dengan tujuannya masing-masing dan Dokter Mirza membantuku karena iba itu haknya, itu yang perlu kuingat. Kukemasi semua barang-barang yang tidak terlalu banyak, sudah waktunya aku berhenti merepotkan orang lain."Ana, ada yang mau saya jelaskan." Dokter Mirza mengikutiku dan menghentikan aktivitas berkemasku dengan mencekal pergelangantanganku yang sedang sibuk memasukkan baju-baju ke dalam koper."Silahkan, pendengaran saya masih jernih walau harus mendengarkan sambil berberes," jawabku melepaskan tanganku darinya."Apa kamu sedang marah dengan saya?" tanyanya lembut dengan tatapan penuh selidik kepadaku. Aku tak membalas tatapan itu. Aku memilih sibuk dengan baju-bajuku."Untuk apa saya marah, semua yang dokter katakan adalah hak dokter. Lagi pula sem

    Last Updated : 2024-10-19
  • Bukan Rahim Pengganti   48. Telepon mengganggu

    POV MIRZAKuhempaskan tubuhku ke sofa setelah kupastikan Ana tidak meninggalkan apartemen malam ini. Kuhela napas panjang, ada rasa lega karena telah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya pada Ana. Namun, ada juga rasa takut, takut akan jawaban yang akan diberikan Ana padaku nanti. Aku memang tak pandai dalam hal percintaan. Namun, Ana satu-satunya wanita yang membuat hidupku terasa lebih berguna untuk orang lain, tentunya orang lain dalam bidang non medis.Sejak Dokter Dion mematahkan harapanku dengan mengatakan bahwa Ana sudah memiliki suami, kuputuskan untuk mengubur dalam-dalam harapanku untuk memiliki Ana. Tapi rasa itu akhir-akhir ini muncul kembali tanpa aku sadari dan tanpa kuminta. Terbesit ingatanku tentang perkataan Ana pagi tadi. Apakah ini yang dinamakan cinta tak mengenal logika? Akupun tersenyum sendiri.Kurebahkan tubuhku ke sofa, rasa kantuk kian menyiksa, tapi pikiran terus berkelana. Kudengar Ana membuka pintu. Aku memilih pura-pura tidur dan pura-pura tidak tah

    Last Updated : 2024-10-20
  • Bukan Rahim Pengganti   49. Panti asuhan

    POV ADRIANMelihat Ana dengan dokter itu rasanya ingin sekali menghajarnya, namun sepertinya harus lebih cerdas melawan orang seperti Dokter Mirza. Aku terus berpikir bagaimana bisa melawannya.Setelah perdebatanku dengan Ana dan Mirza itu, aku segera mengajak Najwa untuk pulang. Selain tak enak dengan Pak Adi Wijaya yang merupakan rekan binisku sekaligus tetangga gedung denganku, aku juga tak mau mendengar sindiran-sindiran dan pujian tentang Mirza dari teman-teman kerja Ana yang membuat kupingku panas.Di dalam mobil aku dan Najwa saling diam, aku tahu saat ini Najwa sedang marah padaku. Tapi aku tak mau meladeninya, karena itu hanya akan menambah masalah saja."Mas, kamu masih mengharapkan Ana?" tanya Najwa tiba-tiba, membuatku terpaksa harus menginjak rem mobilku secara mendadak.Ciiiittt ...."Aw." Apa yang aku lakukan akhirnya menimbulkan sedikit benturan pada Najwa."Najwa, kamu baik-baik saja? Maaf," kataku memeriksa kepala Najwa yang meringis kesakitan dan dia pun segara me

    Last Updated : 2024-10-21

Latest chapter

  • Bukan Rahim Pengganti   108. Resepsi

    "Maaf, Suster, saya nggak bermaksud ....""Nggak bermaksud apa?! Kalau pengaduan sudah sampai ke Bapak Direktur sendiri, berarti apa yang sudah kamu lakukan itu fatal! Apa yang sudah kamu lakukan, Ana?!" tanyanya dengan nada tinggi, rahangnya pun mengetat, sepertinya dia sudah sangat marah dan jengkel padaku."Saya ....""Sudah, sudah, Suster Leny. Masalah Ana biar menjadi tanggung jawab saya. Lagi pula kan saya yang mendapat pengaduan, sekarang, Suster Leny, bisa kembali," Mas Dirga menengahi perdebatan kami."Tapi apa tidak merepotkan, Bapak? Bapak terlalu berharga kalau hanya untuk mengurusi masalah Ana yang cuma seorang perawat. Kalau bapak mau, biar saya saja yang memberinya pelajaran," sindirnya, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan menghela napas pasrah."Oh, tidak perlu, Suster, biar saya saja. Sekarang Suter bisa kembali bekerja," perintahnya lagi."Baiklah, Pak kalau gitu saya permisi. Bapak, bisa panggil saya kalau sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu, terutama masalah Ana,

  • Bukan Rahim Pengganti   107. Akting

    Kuketuk pintu yang sebelumnya di tempati oleh Profesor Wijaya. "Masuk," serunya. Aku pun membuka pintu perlahan. Satu kata, pasrah, yang bisa kukatakan dalam hatiku saat ini."Pagi, Bapak," sapaku di depan pintu. Sepasang mataku mulai menyisir ruangan yang cukup besar itu. Kucari sosok Dokter Dion, namun, sepertinya ruangan ini kosong, hanya ada direktur baru yang tak lain adalah suamiku sendiri dan kini sedang berdiri bersandar pada meja yang terbuat dari bahan marmer."Tutup pintunya!" serunya masih dengan wajah kaku. Kututup pintu, lalu ku lempar senyum sopan, selayaknya bawahan pada atasan. Entah kenapa suasana di dalam sini begitu mencekam, aku tak tahu penyebabnya. Apa karena aku takut dengan perasaanku sendiri atau karena wajahnya saat ini memang sangat menakutkan? Yang pasti aku merasa saat ini adalah dia seolah bukan teman tidurku, melainkan seekor singa yang siap menerkam karena perlakuan khusus kami untuk Mas Adrian semalam. "Gara- gara Aryo ini," batinku menyalahkan, jika

  • Bukan Rahim Pengganti   106. Direktur baru

    Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.

  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

  • Bukan Rahim Pengganti   102

    Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku

  • Bukan Rahim Pengganti   101. Berpisah

    "Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa

  • Bukan Rahim Pengganti   100. Pergi bersama

    Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status