Home / Pernikahan / Bukan Rahim Pengganti / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Bukan Rahim Pengganti: Chapter 31 - Chapter 40

99 Chapters

31. Gumiho

POV ANAAku terjatuh saat hendak memasang gorden yang menurutku, dokter Mirza lepas untuk menyelimutiku semalam, karena seingatku, aku sudah kedinginan saat di depan cafe. Dan alhasil kakiku pun sedikit terkilir, sedikit sih tidak banyak, tapi cukup membuatku sedikit meringis saat berjalan. Saat kaki sudah terkilir barulah aku ingat bahwa stok pemb*lut di koperku sudah habis, tak mungkin minta mbak Lia membelinya untukku, itu sama saja membongkar rahasia kalau aku tinggal di apartemen ini. Satu-satunya yang bisa kumintai pertolongan hanya satu orang, Dokter Mirza, mau tidak mau, dan tanpa mengurangi rasa hormat, terpaksa, aku meminta tolong padanya. Malu? Pasti, takut? Jangan ditanya lagi. Awalnya dia menolak namun sepertinya dia sudah berubah pikiran saat kubilang bahwa, kakiku sakit.Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tak ada tanda-tanda dokter Mirza pulang, aku duduk di sofa tamu, aku cukup tahu diri, koper pun aku keluarkan dari kamar dokter Mirza. Tuan rumah lebih berhak tid
last updateLast Updated : 2024-10-04
Read more

32. Salah sangka

Kruuuk... kruuuk suara perutku menghentikan ocehan Dokter Mirza, kupegang perutku dan ia melihatnya."Nasi masih ada kayaknya tu, masak aja bahan di kulkas!" katanya menyalakan TV. Aku pun dengan berat hati menuju ke dapur, kubuka kulkas, memang banyak bahan di sana, dari sayuran, ikan, dan daging. Tapi hanya satu yang menjadi tujuanku. Telur yang berjejer di kulkas bagian pintu. Kuambil dan segera kunyalakan kompor. Kubuat telur dadar favoritku, aku beri kecap, karena tak ada cabai atau saus sambal di sana. Tak lama, telur dadar kecap siap di santap. Bukannya aku malas. Ya masak, anak yatim piatu malas dan manja sampai masak aja nggak bisa, bagiku sudah ada yang mengurusku saja sudah Alhamdulillah banget. Jadi, dulu waktu di panti, mbok Sum dan Umi melarangku ke dapur, katanya kalau aku turun ke dapur akan membuat dapur seperti kapal pecah dan menambah pekerjaan mereka. Akhirnya, aku diberi tugas cuci baju dan beres-beres panti saja."Bikin apa kamu?" tanya dokter Mirza yang tiba-t
last updateLast Updated : 2024-10-05
Read more

33. Kejutan

POV AUTHORKediaman Adi Wijaya.Kepergian Mirza yang membuat Bu Ratri merasa kehilangan untuk kedua kalinya membuatnya tak henti-henti menangis."Sampai kapan Mama akan nangis terus?" tanya Adi Wijaya pada istrinya, saat ini mereka masih duduk di meja makan. Ada Rania yang juga ikut duduk di sana."Harusnya Mama yang tanya sama Papa, sampai kapan akan bermusuhan sama Anak sendiri? Darah daging papa sendiri?!" tanya Bu Ratri penuh penekanan.Adi Wijaya terlihat diam, Mirza adalah anak kesayangannya dulu, sebelum dia mulai menentang dirinya. Bahkan, Rehan kerap merasa iri dengan Mirza, karena menurut Rehan, Papanya lebih condong pada Mirza yang hanya anak ke dua."Sampai Mirza sadar dan minta maaf pada Papa, kembali ke Indonesia dan ke rumah, ikut mengurus perusahaan bersama Papa!" jawab Adi Wijaya mantap."Udah lah, Pa. Mirza juga sudah jadi dokter spesialis, itu cukup membanggakan bagi Mama." "Tidak, Ma, perusahaan lebih membutuhkan dia.""Sudah ada Rehan,.Pa.""Rehan itu ....""Ap
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

34. Terpaksa berbohong

"Assalamualaikum, Adrian," sapa Mama tersenyum padaku, aku terpaku."Adrian, kenapa bengong?" tanyanya kemudian."Wa'alaikumsalam, Mama sama Papa Kenapa nggak ngabari kalau pulang? Kan, bisa Adrian jemput di bandara?" tanyaku, kukecup punggung tangan Mama dan Papa bergantian."Sengaja, mau bikin surprise buat kalian," jawab Papa."Eh, Najwa, kok, bengong. Ke sini, Sayang!" kata Mama yang melihat Najwa berdiri di belakangku, amun, tak segera menyambutnya seperti biasa. Sepertinya Najwa juga sama terkejutnya denganku. Najwa pun segera menghampiri Mama dan Papa, mengecup punggung tangannya takzim."Ayo, Ma, Pa, masuk," kataku, kubawa koper dan berbagai belanjaan, sepertinya oleh-oleh dari haji dan dari liburannya. "Mana menantu Papa yang satunya lagi?" tanya Papa, saat ini kami duduk berempat di ruang tamu. Dadaku langsung sesak mendengar pertanyaan Papa. Aku tak tahu lagi harus menjawab apa, papa memang sudah tahu kalau aku menikah lagi atas keinginan Najwa yang tidak bisa dibantah, di
last updateLast Updated : 2024-10-07
Read more

35. Iba

POV MIRZAKubaringkan tubuhku di sofa tamu, ya hari ini aku harus berbagi tempat dengan Ana. Entah mengapa rasa ingin membantu dan melindunginya begitu kuat, terlebih saat aku tahu bahwa ia yatim piatu, aku juga sering mengerjai dan memarahi anak itu. Merasakan hidup sendiri selama tujuh tahun, hidup sendiri yang tak mudah aku lewati membuatku tahu bagaimana beratnya hidup Ana yang yatim piatu sejak kecil. Masalah Ana juga menurutku sangat lah rumit, masih begitu muda harus menikah demi balas budi, dan menyandang status janda seusia dia itu bukanlah hal yang mudah. Membayangkannya saja aku tak mampu.Kucoba memejamkan mata, bayangan tentang rasa ibaku pada Ana berganti rasa kekhawatirku pada Mama, mungkin bertengkar dengan Papa adalah hal yang sudah menjadi kebiasaan bagiku. Tapi yang selalu menjadi beban pikiranku adalah Mama. Mama saat ini pasti masih sangat terluka. Kuambil gawai yang kuletakkan di meja, kucoba untuk menghubungi Mama di balkon setelah kupastikan tak ada lagi suara
last updateLast Updated : 2024-10-08
Read more

36. Kagum

POV ANAAku terbangun di waktu subuh saat sayup-sayup kudengar suara orang mengaji, surat Al Waqiah dibacanya dengan suara merdu, begitu indah, dan menyentuh hati. Segera aku membersihkan diri dan kuperiksa siapa orang yang melantunkan bacaan indah itu. Kubuka pintu kamar perlahan dan tak sempurna. Kudapati sosok Dokter Mirza duduk bersila di lantai menghadap kiblat, di atas sajadah, memakai baju koko turki warna coklat, lengkap dengan peci hitam dan sarungnya sedang sibuk melantunkan ayat suci Al Qur'an, tak salah lagi, ternyata yang aku dengar dari tadi adalah suara Dokter Mirza yang sedang bertilawah.Ia terlihat begitu berbeda dari Dokter Mirza yang ku enal selama ini, jika biasanya ia terlihat galak, ketus tak punya hati, maka yang kulihat sekarang adalah dia yang lembut, teduh, dan menenangkan hati. Aku kagum memang, karena walau dia tinggal lama di luar negeri, dia tidak melupakan ajaran dan melakukannya dengan begitu sempurna. Aku terpaku di bibir pintu hingga Dokter Mirza m
last updateLast Updated : 2024-10-09
Read more

37. Ancaman Rania

POV MIRZAHari ini merupakan hari terakhirku berada di rumah sakit ini. Alhamdulillah tak ada kendala yang berarti saat aku berada di sini. Aku temui Dokter Dion dan kakek yang kebetulan sedang ada di ruang rapat. Aku menunggu mereka di depan ruang rapat, menunggu hingga rapat selesai. Sebenarnya mereka mengajak serta aku untuk rapat tadi pagi, namun aku sedikit terlambat karena harus mengurusi sarapan Ana tadi.Setelah kulihat semua peserta rapat yang terdiri dari staf rumah sakit dan beberapa dokter keluar dari ruangan tersebut, aku segera beranjak dari dudukku. Kuhampiri Dokter Dion dan kakek yang keluar paling belakang."Mirza, baru datang kamu?" tanya kakek yang didampingi Dokter Dion tentunya."Iya.""Tumben telat? Biasanya paling disiplin?" Sambung dokter Dion."Iya, ada sedikit urusan tadi," jawabku."Akhir- akhir ini kamu banyak urusan ya, Za?" sindir Dokter Dion, ya kemarin aku juga sudah ijin datang terlambat karena harus menunggu Ana bangun dulu."Anak muda!" jawabku asal.
last updateLast Updated : 2024-10-10
Read more

38. Anak jaman sekarang

"Hahaha ...." Terlihat Rania menertawakanku, aku tak bisa membiarkan Rania terus berbuat semaunya."Ana ...." teriakku saat Ana masuk ke dalam cafe, dia pun menoleh ke arahku."Sayang ...," sambungku dengan nada rendah tentunya, targetku Rania, jadi cukup Rania yang mendengar kata sayangku pada Ana dan jangan sampai Ana mendengarnya. Dengan sifat Ana yang seperti itu, aku yakin dia akan marah dan membabi buta. Kulambaikan tanganku pada Ana, ia menyipitkan matanya, dan berjalan ke arahku."Dokter? Ada apa, Dokter?" tanyanya begitu sampai dengan dekatku dan berdiri di sampingku. Aku pun ikut berdiri menyamainya."Kamu tu ya, masih aja panggil dokter, sudah berapa kali saya bilang kalau di luar jangan panggil dokter, dong," kataku selembut-lembutnya sambil menatap Ana dalam-dalam."Hah?" Ana terlihat bingung dengan kata-kataku."Kamu udah kunci apartemen kita belum sebelum kesini? Makanan yang saya buatin udah kamu habisin belum? Harus banyak makan biar nggak sakit-sakit lagi," sambungku
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

39. Pesta

POV ANA Aku bergegas ke kamar mandi membersihkan tanganku dari tanda tangan Dokter Mirza. Aku benar-benar kesal dengannya. Bukan karena noda permanen di tanganku, tapi karena gagal mendapat tanda tangan Rania yang tinggal satu langkah lagi. Aku sangat mengidolakan Rania. Bagiku, Rania adalah wanita yang luar biasa, di usianya yang masih terbilang muda sudah meraih kesuksesan menjadi seorang top model, sungguh sangat membanggakan. Aku segera menemui Mbak Lia setelah pekerjaanku selesai, sebelumnya dia sudah menghubungiku bahwa pulang kerja kita akan ke tempat penyewaan baju untuk pesta ulang tahun Pak Direktur. Sampai di sana, aku dan yang lainnya segera memilih dress sesuai selera masing-masing. "Ana, bagus juga pilihanmu," kata Mbak Lia saat melihatku mencoba dress berwarna coklat. "Bagus? Kira-kira mahal nggak, Mbak?" bisikku. "Kalau beli, ya, pasti mahal, kalau sewa nggak lah mungkin," jawab Mbak Lia mendekatkan bibirnya di telingaku. Setelah kupastikan cocok dan ha
last updateLast Updated : 2024-10-12
Read more

40. Pertemuan Mirza dan Adrian

POV MIRZA Setelah obrolanku dengan dokter Dion, akhirnya kuputuskan untuk pergi ke pesta kakekku. Selain aku khawatir akan Ana, aku juga harus meninggalkan Jakarta tanpa mengecewakan kakekku. Segera, aku pergi ke butik dan kuambil satu jas blazzer yang warnanya senada dengan Ana, agar Rania lebih percaya bahwa aku dan Ana memang pasangan. "Untung aja sempat lihat foto Ana sama yang lain, jadi gampang pilih bajunya," gumamku setelah mendapat blazzer yang kukira sangat pas untuk menjalankan misiku. Aku bergegas menuju tempat acara yang sudah diberitahukan oleh Dokter Dion sebelumnya. Kulihat arlojiku, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku turun dari taksi dan kebetulan sekali Ana sedang berjalan menuju gedung dengan langkah ragu. Dengan sigap kuraih tangannya dan kubawa ia masuk bersamaku. Dia tampak terkejut, tapi aku harus tetap terlihat santai. Dengan sedikit muslihat, akhirnya Ana menuruti permintaanku agar bersikap mesra dan menggandeng tanganku. Di sana, kulihat Rania
last updateLast Updated : 2024-10-13
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status