Semua Bab Bukan Rahim Pengganti: Bab 21 - Bab 30

99 Bab

21. Pilih aku atau Ana

Aku sampai di rumah tepat pukul 10 lewat 30 menit, kubuka pintu yang masih belum terkunci. Aku tak mengetuknya karena tak ingin mengganggu istirahat para penghuninya. Aku segera menguncinya kembali setelah aku masuk.Saat aku berbalik dan hendak menuju kamar, Mas Adrian dan Mbak Najwa mengejutkanku. Mereka sudah duduk di ruang tamu, sepertinya sedang menunggu kedatanganku. Perasaanku mulai tak enak melihat raut wajah mereka. Karena tak biasanya di jam segini mereka masih terjaga."Assalamu'alaikum," sapaku."Wa'alaikumsalam," jawab mereka."Ada apa? Kenapa semua masih belum tidur?" tanyaku menghampiri mereka dengan langkah ragu. Mereka masih bergeming menatapku, tapi tak menjawab pertanyaanku.Hingga akhirnya kulihat selembar kertas dan bolpoin tergeletak di atas meja yang ada di depanku saat ini, tepatnya meja ruang tamu."Apa ini?" tanyaku. Karena tak ada yang menjawab, aku pun mengambil kertas itu, kubaca perlahan dengan penuh ke hati-hatian.Jantungku berdegup kencang kala kubaca
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-24
Baca selengkapnya

22. Apa karena Rania?

POV MIRZAAku kembali memesan sate dan sayur untuk kubawa pulang ke apartemen setelah motor Ana tak lagi terlihat. Tak berselang lama sate pun kudapatkan, aku segera naik taksi menuju apartemen yang jaraknya tak begitu jauh.Kubuka pintu apartemen. "Assalamu'alaikum," sapaku, karena aku tahu di dalam Mama sudah menunggu.Mama yang belum sempat kutemui dalam beberapa hari ini setibanya aku di Jakarta, karena kesibukanku di rumah sakit kakek. Aku memberikan kunci apartemenku saat dia menolak untuk pergi dari warung sate tadi."Wa'alaikumsalam, Anak Mama ... Kesayangan Mama" jawabnya menghampiriku dan menciumiku."Mama jangan gini, Mirza udah dewasa, Ma, malu!" tolakku menghindar."Malu sama siapa? Nggak ada siapa-siapa, Nak," jawabnya."Malu sama umur, Ma," kataku sambil melepas sepatuku."Dasar bocah, 7 tahun kamu nggak ketemu sama Mama, sekalinya ketemu nggak mau mama cium? Kamu ninggalin Mama dari masih sangat muda, bagi Mama, kamu tetep bayi Mama," ucapnya seraya menjewer telinga
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-25
Baca selengkapnya

23. Telepon mengejutkan

Aku pergi ke balkon dan mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal itu. "Halo." Terdengar suara laki- laki dari seberang telepon. "Iya, dengan siapa?" tanyaku. "Ini benar dengan Dokter Mirza?" "Iya, saya sendiri," jawabku. "Saya mau kasih tau, ini istri bapak pingsan di depan cafe." "Hah? Istri?!" kataku dengan suara keras, perkataan laki-laki di telepon itu sangat mengejutkan bagiku. "Yang bener aja, Mas. Saya belum punya istri, saya belum nikah, Anda salah sambung!" Kupelankan suaraku karena kulihat mama sempat menoleh saat aku sebut istri tadi. "Alah kalau pasangan lagi ribut emang suka nggak ngakuin, kalian ribut, kan? Sampe istrinya kabur, bawa-bawa koper segala, bawa motor sendirian pula," jawabnya malah menuduhku. "Apa? Motor?" tanyaku yang semakin bingung. "Iya, lagi pula kalau wanita ini nggak kenal sama bapak, nggak mungkin saya sampai telepon bapak dan dapat nomor bapak." "Jangan mengada-ada, kalian jangan coba main-main sama saya!" ancamku yang s
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-26
Baca selengkapnya

24. Dibawa ke mana?

POV AUTHORKediaman keluarga Adi Wijaya."Mama dari mana ? Kenapa larut malam gini baru pulang?" tanya Adi Wijaya pada istrinya yang baru pulang."Arisan, Pa, sekalian Mama mampir beli sate di depan kantor kamu. Katanya papa mau makan sate, nih ambil." "Selarut ini?" "Iya antri," jawab Bu Ratri, istri Adi wijaya yang tidak lain adalah mama dari Mirza."Papa makan aja, mama mau mandi dulu, gerah.""Ini sudah larut, masak papa makan, Ma?" "Nggak papa, sayang kalau nggak di makan mubazir," jawab Bu Ratri masuk ke kamar mandi.Adi Wijaya pun pergi ke bawah untuk mengambil piring, karena ia tau istrinya akan marah jika ia tak memakannya."Rania, kamu panasin sayurnya. Papa mau makan," perintah Adi Wijaya saat berpapasan dengan Rania yang terlihat baru saja pulang dari pemotretan."Bibi nggak ada, Pa?" tanya Rania mencibikkan bibirnya."Bibi sudah tidur, kamu yang masih bangun," jawanya, Adi Wijaya memang tak begitu suka dengan Rania, melihat Rania yang meninggalkan Mirza hanya karena
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-27
Baca selengkapnya

25. Kedatangan Mama

POV MIRZAAku terbangun saat alarm subuh yang kupasang berdering, seberapa larut pun aku tidur, aku tetap akan terbangun di waktu subuh dan tak pernah bisa untuk bangun kesiangan. Kubuka mata dan kuambil air wudhu, kubentangkan sajadah di ruang tamu, karena tak mungkin aku beribadah di dalam kamar, ada Ana yang masih membutuhkan istirahat, yang akan terbangun jika aku beraktifitas di sana.Usai sembahyang subuh, tak lupa ku baca walau hanya beberapa ayat, kebiasaan yang kuakukan sejak aku terusir dari keluarga Wijaya, kebiasaan yang mampu membuat hatiku lebih tenang dan damai.Aku menyambangi Ana di kamar usai sembahyang subuh. Setelah kupastikan suhunya normal, aku pun bergegas ke supermarket yang ada di lantai bawah apartemen untuk membeli bahan makanan. Saat aku tiba di lantai bawah, seseorang memanggilku."Mas," panggilnya, aku pun menoleh ke arah suara. Ternyata, dia adalah karyawan cafe semalam."Mas, ini kunci motornya, motornya sudah saya taruh di parkiran apartemen. Maaf, sem
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-28
Baca selengkapnya

26. Pesan dari Adrian

POV ANAAku masih bingung kenapa bisa ada di tempat dokter Mirza, yang kuingat aku beli kopi dan pusing di depan cafe. "Arrgh ... yang penting aku masih perawan," kataku mengacak rambut frustasi, aku kesal karena tak ingat apapun.Notifikasi pesan masuk di ponselku yang kuletakkan pada nakas di samping tempat tidur.888xxx : [sudah bisa buka pintu, jangan lupa dimakan supnya keburu dingin. Jangan lupa kunci pintu kalau berangkat kerja. Mirza]Kubaca pesan, ternyata dari dokter Mirza. Aku menghela napas panjang dan tak berselang lama, pesan kembali masuk di ponselkuAryo: [An, mana helm ku, mau pulang, nih.]"Waduh, tadi dokter Mirza lupa bawa helmnya nggak, ya?" gumamku. Segera kuhubungi nomor dokter Mirza. Ia pun mengangkatnya."Halo dokter?" sapaku"Ya.""Dok, Aryo cari helmnya, dokter bawa nggak helmnya?" tanyaku panik."Saya lupa, An. Saya masih di luar ini, kamu kirim nomor Aryo sama saya, biar saya sendiri ya
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-29
Baca selengkapnya

27. Rumor

POV MIRZAAku dan dokter Dion masih melakukan pemeriksaan pada pasien yang bermasalah itu, syukurlah, tuntutan sudah mereka cabut dan pasien berangsur membaik."Mirza, pasien sudah membaik, tinggal menunggu masa pemulihan, apa kamu benar- benar akan kembali ke Jerman secepatnya?" tanya dokter Dion entah sudah berapa kali, saat ini kami berjalan menuju ruanganku."Ya ... begitulah," jawabku."Kapan?" "Mungkin hari Minggu," jawabku yakin."Tunggu lah sampai ulang tahun direktur.""Kakek, ulang tahun? Kenapa saya lupa. Tapi, nggak lah, Dok. Menghadiri ulang tahun kakek, berarti harus bertemu keluarga Wijaya," jelasku."Sebenarnya kamu takut bertemu keluarga Wijaya apa takut bertemu sama Rania?" tanya dokter Dion."Stop menghubung-hubungkan saya dengan Rania. Demi Allah saya nggak ada sedikitpun rasa ke Rania," jelasku "Meski akan bertemu setelah sekian lama tidak bertemu? Kamu yakin rasa itu tidak akan muncul kembali?" tanyanya menyelidik."Tentu." "Apa nggak sebaiknya latihan dulu?"
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-30
Baca selengkapnya

28. Menemui Adrian

POV ANAAkhirnya aku putuskan menemui Mas Adrian, saat ku buka dompetku untuk membayar makan siang di kantin tadi aku melihat kartu kredit pemberian Mas Adrian masih tersimpan rapi di sana. Akku berniat mengembalikannya. Aku datang ke tempat yang sudah Mas Adrian beritahukan. Kulihat dia masih menungguku dan aku segera menghampirinya."Selamat siang, Tuan Adrian," sapaku."Ana, akhirnya kamu datang, duduklah," katanya tersenyum padaku, senyum yang biasanya terlihat manis dimataku sekarang justru terlihat menyebalkan dan memuakkan."Aku ke sini bukan untuk memenuhi permintaanmu, aku hanya ingin mengembalikan kartu kredit yang pernah kamu berikan kepadaku. Masih utuh, tak berkurang sepeserpun," kataku seraya menaruh kartu kredit black card di meja."Apa yang sudah aku berikan, tak akan aku ambil lagi, Ana," jawabnya."Aku hubungi Umi tadi pagi. Dia bilang kamu nggak ada di panti. Kemana saja kamu semalam? Kamu nggak pulang ke panti, kan? Kemana, An?" tanyanya penuh intimidasi."Apa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-01
Baca selengkapnya

29. Ingin tahu

POV MIRZASetelah kupastikan Ana pulang dengan selamat, aku segera mencari suster Lia, karena kuperhatikan selama ini dia yang paling dekat dengan Ana. Perasaanku tak tenang setelah perbincanganku dengan Ana barusan. Aku terlalu keras padanya. Merasa bertanggung jawab pada pelayanan rumah sakit kakekku membuatku lupa diri bahwa memarahi Ana atau memecat Ana bukan ranahku. Karena aku bagi mereka hanyalah dokter tamu, bukan cucu pemilik rumah sakit."Suster Lia, bisa bicara sebentar?" kataku, membuatnya terkejut."S_aya?" "Iya, bisa?""Bisa, Dok, bisa.""Mari ikut saya." Kuajak suster Lia ke ruanganku, karena aku tak ingin ada yang mendengar pembicaraan yang mungkin sifatnya pribadi dan bisa menimbulkan asumsi yang kurang baik."Duduk, Sus," kataku, dia pun duduk di depanku."Nggak usah tegang, Sus. Saya nggak galak," kataku saat melihat suster Lia sejak tadi mengambil napas dalam."Saya mau tanya soal Ana," kataku sedikit ragu. Suster Lia membuka matanya lebar-lebar, aku tahu dia pas
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-02
Baca selengkapnya

30. Pembalut

Aku menoleh ke arah suara, terlihat Papa dan juga Rania datang bersamaan. Mereka terperanjat saat melihatku duduk di meja makan, begitu juga denganku. Mama memegang tanganku erat, seolah tahu, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Kutepuk lembut tangan Mama dan tersenyum padanya."Eh, Papa, Rania , sini makan bareng dulu," kata Mama mencoba mencairkan suasana, kuhampiri Papa dan kuraih tangannya, ingin kucium punggung tangannya namun ia menolak dengan menyembunyikan tangannya di belakang dan memalingkan wajahnya dariku. Aku tak mempermasalahkan itu, kuberalih pada Rania yang saat ini berdiri di samping Papa, kuulurkan tanganku padanya dan dia tersenyum menyambut tanganku."Hai, Mir ... apa kabar?" tanyanya terlihat canggung, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan Rania setelah kami mengakhiri hubungan tujuh tahun yang lalu, kulihat dia banyak berubah terutama dari penampilannya yang lebih glamour dengan make up tebal. Aku tak heran, karena yang kudengar, sekarang Rania sudah menj
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-03
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status