Beranda / Rumah Tangga / Bukan Rahim Pengganti / 22. Apa karena Rania?

Share

22. Apa karena Rania?

Penulis: Novita Sadewa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-25 11:40:00

POV MIRZA

Aku kembali memesan sate dan sayur untuk kubawa pulang ke apartemen setelah motor Ana tak lagi terlihat. Tak berselang lama sate pun kudapatkan, aku segera naik taksi menuju apartemen yang jaraknya tak begitu jauh.

Kubuka pintu apartemen.

"Assalamu'alaikum," sapaku, karena aku tahu di dalam Mama sudah menunggu.

Mama yang belum sempat kutemui dalam beberapa hari ini setibanya aku di Jakarta, karena kesibukanku di rumah sakit kakek. Aku memberikan kunci apartemenku saat dia menolak untuk pergi dari warung sate tadi.

"Wa'alaikumsalam, Anak Mama ... Kesayangan Mama" jawabnya menghampiriku dan menciumiku.

"Mama jangan gini, Mirza udah dewasa, Ma, malu!" tolakku menghindar.

"Malu sama siapa? Nggak ada siapa-siapa, Nak," jawabnya.

"Malu sama umur, Ma," kataku sambil melepas sepatuku.

"Dasar bocah, 7 tahun kamu nggak ketemu sama Mama, sekalinya ketemu nggak mau mama cium? Kamu ninggalin Mama dari masih sangat muda, bagi Mama, kamu tetep bayi Mama," ucapnya seraya menjewer telinga
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bukan Rahim Pengganti   23. Telepon mengejutkan

    Aku pergi ke balkon dan mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal itu. "Halo." Terdengar suara laki- laki dari seberang telepon. "Iya, dengan siapa?" tanyaku. "Ini benar dengan Dokter Mirza?" "Iya, saya sendiri," jawabku. "Saya mau kasih tau, ini istri bapak pingsan di depan cafe." "Hah? Istri?!" kataku dengan suara keras, perkataan laki-laki di telepon itu sangat mengejutkan bagiku. "Yang bener aja, Mas. Saya belum punya istri, saya belum nikah, Anda salah sambung!" Kupelankan suaraku karena kulihat mama sempat menoleh saat aku sebut istri tadi. "Alah kalau pasangan lagi ribut emang suka nggak ngakuin, kalian ribut, kan? Sampe istrinya kabur, bawa-bawa koper segala, bawa motor sendirian pula," jawabnya malah menuduhku. "Apa? Motor?" tanyaku yang semakin bingung. "Iya, lagi pula kalau wanita ini nggak kenal sama bapak, nggak mungkin saya sampai telepon bapak dan dapat nomor bapak." "Jangan mengada-ada, kalian jangan coba main-main sama saya!" ancamku yang s

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Bukan Rahim Pengganti   24. Dibawa ke mana?

    POV AUTHORKediaman keluarga Adi Wijaya."Mama dari mana ? Kenapa larut malam gini baru pulang?" tanya Adi Wijaya pada istrinya yang baru pulang."Arisan, Pa, sekalian Mama mampir beli sate di depan kantor kamu. Katanya papa mau makan sate, nih ambil." "Selarut ini?" "Iya antri," jawab Bu Ratri, istri Adi wijaya yang tidak lain adalah mama dari Mirza."Papa makan aja, mama mau mandi dulu, gerah.""Ini sudah larut, masak papa makan, Ma?" "Nggak papa, sayang kalau nggak di makan mubazir," jawab Bu Ratri masuk ke kamar mandi.Adi Wijaya pun pergi ke bawah untuk mengambil piring, karena ia tau istrinya akan marah jika ia tak memakannya."Rania, kamu panasin sayurnya. Papa mau makan," perintah Adi Wijaya saat berpapasan dengan Rania yang terlihat baru saja pulang dari pemotretan."Bibi nggak ada, Pa?" tanya Rania mencibikkan bibirnya."Bibi sudah tidur, kamu yang masih bangun," jawanya, Adi Wijaya memang tak begitu suka dengan Rania, melihat Rania yang meninggalkan Mirza hanya karena

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Bukan Rahim Pengganti   25. Kedatangan Mama

    POV MIRZAAku terbangun saat alarm subuh yang kupasang berdering, seberapa larut pun aku tidur, aku tetap akan terbangun di waktu subuh dan tak pernah bisa untuk bangun kesiangan. Kubuka mata dan kuambil air wudhu, kubentangkan sajadah di ruang tamu, karena tak mungkin aku beribadah di dalam kamar, ada Ana yang masih membutuhkan istirahat, yang akan terbangun jika aku beraktifitas di sana.Usai sembahyang subuh, tak lupa ku baca walau hanya beberapa ayat, kebiasaan yang kuakukan sejak aku terusir dari keluarga Wijaya, kebiasaan yang mampu membuat hatiku lebih tenang dan damai.Aku menyambangi Ana di kamar usai sembahyang subuh. Setelah kupastikan suhunya normal, aku pun bergegas ke supermarket yang ada di lantai bawah apartemen untuk membeli bahan makanan. Saat aku tiba di lantai bawah, seseorang memanggilku."Mas," panggilnya, aku pun menoleh ke arah suara. Ternyata, dia adalah karyawan cafe semalam."Mas, ini kunci motornya, motornya sudah saya taruh di parkiran apartemen. Maaf, sem

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-28
  • Bukan Rahim Pengganti   26. Pesan dari Adrian

    POV ANAAku masih bingung kenapa bisa ada di tempat dokter Mirza, yang kuingat aku beli kopi dan pusing di depan cafe. "Arrgh ... yang penting aku masih perawan," kataku mengacak rambut frustasi, aku kesal karena tak ingat apapun.Notifikasi pesan masuk di ponselku yang kuletakkan pada nakas di samping tempat tidur.888xxx : [sudah bisa buka pintu, jangan lupa dimakan supnya keburu dingin. Jangan lupa kunci pintu kalau berangkat kerja. Mirza]Kubaca pesan, ternyata dari dokter Mirza. Aku menghela napas panjang dan tak berselang lama, pesan kembali masuk di ponselkuAryo: [An, mana helm ku, mau pulang, nih.]"Waduh, tadi dokter Mirza lupa bawa helmnya nggak, ya?" gumamku. Segera kuhubungi nomor dokter Mirza. Ia pun mengangkatnya."Halo dokter?" sapaku"Ya.""Dok, Aryo cari helmnya, dokter bawa nggak helmnya?" tanyaku panik."Saya lupa, An. Saya masih di luar ini, kamu kirim nomor Aryo sama saya, biar saya sendiri ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • Bukan Rahim Pengganti   27. Rumor

    POV MIRZAAku dan dokter Dion masih melakukan pemeriksaan pada pasien yang bermasalah itu, syukurlah, tuntutan sudah mereka cabut dan pasien berangsur membaik."Mirza, pasien sudah membaik, tinggal menunggu masa pemulihan, apa kamu benar- benar akan kembali ke Jerman secepatnya?" tanya dokter Dion entah sudah berapa kali, saat ini kami berjalan menuju ruanganku."Ya ... begitulah," jawabku."Kapan?" "Mungkin hari Minggu," jawabku yakin."Tunggu lah sampai ulang tahun direktur.""Kakek, ulang tahun? Kenapa saya lupa. Tapi, nggak lah, Dok. Menghadiri ulang tahun kakek, berarti harus bertemu keluarga Wijaya," jelasku."Sebenarnya kamu takut bertemu keluarga Wijaya apa takut bertemu sama Rania?" tanya dokter Dion."Stop menghubung-hubungkan saya dengan Rania. Demi Allah saya nggak ada sedikitpun rasa ke Rania," jelasku "Meski akan bertemu setelah sekian lama tidak bertemu? Kamu yakin rasa itu tidak akan muncul kembali?" tanyanya menyelidik."Tentu." "Apa nggak sebaiknya latihan dulu?"

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • Bukan Rahim Pengganti   28. Menemui Adrian

    POV ANAAkhirnya aku putuskan menemui Mas Adrian, saat ku buka dompetku untuk membayar makan siang di kantin tadi aku melihat kartu kredit pemberian Mas Adrian masih tersimpan rapi di sana. Akku berniat mengembalikannya. Aku datang ke tempat yang sudah Mas Adrian beritahukan. Kulihat dia masih menungguku dan aku segera menghampirinya."Selamat siang, Tuan Adrian," sapaku."Ana, akhirnya kamu datang, duduklah," katanya tersenyum padaku, senyum yang biasanya terlihat manis dimataku sekarang justru terlihat menyebalkan dan memuakkan."Aku ke sini bukan untuk memenuhi permintaanmu, aku hanya ingin mengembalikan kartu kredit yang pernah kamu berikan kepadaku. Masih utuh, tak berkurang sepeserpun," kataku seraya menaruh kartu kredit black card di meja."Apa yang sudah aku berikan, tak akan aku ambil lagi, Ana," jawabnya."Aku hubungi Umi tadi pagi. Dia bilang kamu nggak ada di panti. Kemana saja kamu semalam? Kamu nggak pulang ke panti, kan? Kemana, An?" tanyanya penuh intimidasi."Apa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Bukan Rahim Pengganti   29. Ingin tahu

    POV MIRZASetelah kupastikan Ana pulang dengan selamat, aku segera mencari suster Lia, karena kuperhatikan selama ini dia yang paling dekat dengan Ana. Perasaanku tak tenang setelah perbincanganku dengan Ana barusan. Aku terlalu keras padanya. Merasa bertanggung jawab pada pelayanan rumah sakit kakekku membuatku lupa diri bahwa memarahi Ana atau memecat Ana bukan ranahku. Karena aku bagi mereka hanyalah dokter tamu, bukan cucu pemilik rumah sakit."Suster Lia, bisa bicara sebentar?" kataku, membuatnya terkejut."S_aya?" "Iya, bisa?""Bisa, Dok, bisa.""Mari ikut saya." Kuajak suster Lia ke ruanganku, karena aku tak ingin ada yang mendengar pembicaraan yang mungkin sifatnya pribadi dan bisa menimbulkan asumsi yang kurang baik."Duduk, Sus," kataku, dia pun duduk di depanku."Nggak usah tegang, Sus. Saya nggak galak," kataku saat melihat suster Lia sejak tadi mengambil napas dalam."Saya mau tanya soal Ana," kataku sedikit ragu. Suster Lia membuka matanya lebar-lebar, aku tahu dia pas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Bukan Rahim Pengganti   30. Pembalut

    Aku menoleh ke arah suara, terlihat Papa dan juga Rania datang bersamaan. Mereka terperanjat saat melihatku duduk di meja makan, begitu juga denganku. Mama memegang tanganku erat, seolah tahu, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Kutepuk lembut tangan Mama dan tersenyum padanya."Eh, Papa, Rania , sini makan bareng dulu," kata Mama mencoba mencairkan suasana, kuhampiri Papa dan kuraih tangannya, ingin kucium punggung tangannya namun ia menolak dengan menyembunyikan tangannya di belakang dan memalingkan wajahnya dariku. Aku tak mempermasalahkan itu, kuberalih pada Rania yang saat ini berdiri di samping Papa, kuulurkan tanganku padanya dan dia tersenyum menyambut tanganku."Hai, Mir ... apa kabar?" tanyanya terlihat canggung, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan Rania setelah kami mengakhiri hubungan tujuh tahun yang lalu, kulihat dia banyak berubah terutama dari penampilannya yang lebih glamour dengan make up tebal. Aku tak heran, karena yang kudengar, sekarang Rania sudah menj

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-03

Bab terbaru

  • Bukan Rahim Pengganti   106. Direktur baru

    Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.

  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

  • Bukan Rahim Pengganti   102

    Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku

  • Bukan Rahim Pengganti   101. Berpisah

    "Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa

  • Bukan Rahim Pengganti   100. Pergi bersama

    Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion

  • Bukan Rahim Pengganti   99. Aku atasannya

    Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na

  • Bukan Rahim Pengganti   98. penjelasan

    Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status