POV MIRZASetelah kupastikan Ana pulang dengan selamat, aku segera mencari suster Lia, karena kuperhatikan selama ini dia yang paling dekat dengan Ana. Perasaanku tak tenang setelah perbincanganku dengan Ana barusan. Aku terlalu keras padanya. Merasa bertanggung jawab pada pelayanan rumah sakit kakekku membuatku lupa diri bahwa memarahi Ana atau memecat Ana bukan ranahku. Karena aku bagi mereka hanyalah dokter tamu, bukan cucu pemilik rumah sakit."Suster Lia, bisa bicara sebentar?" kataku, membuatnya terkejut."S_aya?" "Iya, bisa?""Bisa, Dok, bisa.""Mari ikut saya." Kuajak suster Lia ke ruanganku, karena aku tak ingin ada yang mendengar pembicaraan yang mungkin sifatnya pribadi dan bisa menimbulkan asumsi yang kurang baik."Duduk, Sus," kataku, dia pun duduk di depanku."Nggak usah tegang, Sus. Saya nggak galak," kataku saat melihat suster Lia sejak tadi mengambil napas dalam."Saya mau tanya soal Ana," kataku sedikit ragu. Suster Lia membuka matanya lebar-lebar, aku tahu dia pas
Aku menoleh ke arah suara, terlihat Papa dan juga Rania datang bersamaan. Mereka terperanjat saat melihatku duduk di meja makan, begitu juga denganku. Mama memegang tanganku erat, seolah tahu, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Kutepuk lembut tangan Mama dan tersenyum padanya."Eh, Papa, Rania , sini makan bareng dulu," kata Mama mencoba mencairkan suasana, kuhampiri Papa dan kuraih tangannya, ingin kucium punggung tangannya namun ia menolak dengan menyembunyikan tangannya di belakang dan memalingkan wajahnya dariku. Aku tak mempermasalahkan itu, kuberalih pada Rania yang saat ini berdiri di samping Papa, kuulurkan tanganku padanya dan dia tersenyum menyambut tanganku."Hai, Mir ... apa kabar?" tanyanya terlihat canggung, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan Rania setelah kami mengakhiri hubungan tujuh tahun yang lalu, kulihat dia banyak berubah terutama dari penampilannya yang lebih glamour dengan make up tebal. Aku tak heran, karena yang kudengar, sekarang Rania sudah menj
POV ANAAku terjatuh saat hendak memasang gorden yang menurutku, dokter Mirza lepas untuk menyelimutiku semalam, karena seingatku, aku sudah kedinginan saat di depan cafe. Dan alhasil kakiku pun sedikit terkilir, sedikit sih tidak banyak, tapi cukup membuatku sedikit meringis saat berjalan. Saat kaki sudah terkilir barulah aku ingat bahwa stok pemb*lut di koperku sudah habis, tak mungkin minta mbak Lia membelinya untukku, itu sama saja membongkar rahasia kalau aku tinggal di apartemen ini. Satu-satunya yang bisa kumintai pertolongan hanya satu orang, Dokter Mirza, mau tidak mau, dan tanpa mengurangi rasa hormat, terpaksa, aku meminta tolong padanya. Malu? Pasti, takut? Jangan ditanya lagi. Awalnya dia menolak namun sepertinya dia sudah berubah pikiran saat kubilang bahwa, kakiku sakit.Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tak ada tanda-tanda dokter Mirza pulang, aku duduk di sofa tamu, aku cukup tahu diri, koper pun aku keluarkan dari kamar dokter Mirza. Tuan rumah lebih berhak tid
Kruuuk... kruuuk suara perutku menghentikan ocehan Dokter Mirza, kupegang perutku dan ia melihatnya."Nasi masih ada kayaknya tu, masak aja bahan di kulkas!" katanya menyalakan TV. Aku pun dengan berat hati menuju ke dapur, kubuka kulkas, memang banyak bahan di sana, dari sayuran, ikan, dan daging. Tapi hanya satu yang menjadi tujuanku. Telur yang berjejer di kulkas bagian pintu. Kuambil dan segera kunyalakan kompor. Kubuat telur dadar favoritku, aku beri kecap, karena tak ada cabai atau saus sambal di sana. Tak lama, telur dadar kecap siap di santap. Bukannya aku malas. Ya masak, anak yatim piatu malas dan manja sampai masak aja nggak bisa, bagiku sudah ada yang mengurusku saja sudah Alhamdulillah banget. Jadi, dulu waktu di panti, mbok Sum dan Umi melarangku ke dapur, katanya kalau aku turun ke dapur akan membuat dapur seperti kapal pecah dan menambah pekerjaan mereka. Akhirnya, aku diberi tugas cuci baju dan beres-beres panti saja."Bikin apa kamu?" tanya dokter Mirza yang tiba-t
POV AUTHORKediaman Adi Wijaya.Kepergian Mirza yang membuat Bu Ratri merasa kehilangan untuk kedua kalinya membuatnya tak henti-henti menangis."Sampai kapan Mama akan nangis terus?" tanya Adi Wijaya pada istrinya, saat ini mereka masih duduk di meja makan. Ada Rania yang juga ikut duduk di sana."Harusnya Mama yang tanya sama Papa, sampai kapan akan bermusuhan sama Anak sendiri? Darah daging papa sendiri?!" tanya Bu Ratri penuh penekanan.Adi Wijaya terlihat diam, Mirza adalah anak kesayangannya dulu, sebelum dia mulai menentang dirinya. Bahkan, Rehan kerap merasa iri dengan Mirza, karena menurut Rehan, Papanya lebih condong pada Mirza yang hanya anak ke dua."Sampai Mirza sadar dan minta maaf pada Papa, kembali ke Indonesia dan ke rumah, ikut mengurus perusahaan bersama Papa!" jawab Adi Wijaya mantap."Udah lah, Pa. Mirza juga sudah jadi dokter spesialis, itu cukup membanggakan bagi Mama." "Tidak, Ma, perusahaan lebih membutuhkan dia.""Sudah ada Rehan,.Pa.""Rehan itu ....""Ap
"Assalamualaikum, Adrian," sapa Mama tersenyum padaku, aku terpaku."Adrian, kenapa bengong?" tanyanya kemudian."Wa'alaikumsalam, Mama sama Papa Kenapa nggak ngabari kalau pulang? Kan, bisa Adrian jemput di bandara?" tanyaku, kukecup punggung tangan Mama dan Papa bergantian."Sengaja, mau bikin surprise buat kalian," jawab Papa."Eh, Najwa, kok, bengong. Ke sini, Sayang!" kata Mama yang melihat Najwa berdiri di belakangku, amun, tak segera menyambutnya seperti biasa. Sepertinya Najwa juga sama terkejutnya denganku. Najwa pun segera menghampiri Mama dan Papa, mengecup punggung tangannya takzim."Ayo, Ma, Pa, masuk," kataku, kubawa koper dan berbagai belanjaan, sepertinya oleh-oleh dari haji dan dari liburannya. "Mana menantu Papa yang satunya lagi?" tanya Papa, saat ini kami duduk berempat di ruang tamu. Dadaku langsung sesak mendengar pertanyaan Papa. Aku tak tahu lagi harus menjawab apa, papa memang sudah tahu kalau aku menikah lagi atas keinginan Najwa yang tidak bisa dibantah, di
POV MIRZAKubaringkan tubuhku di sofa tamu, ya hari ini aku harus berbagi tempat dengan Ana. Entah mengapa rasa ingin membantu dan melindunginya begitu kuat, terlebih saat aku tahu bahwa ia yatim piatu, aku juga sering mengerjai dan memarahi anak itu. Merasakan hidup sendiri selama tujuh tahun, hidup sendiri yang tak mudah aku lewati membuatku tahu bagaimana beratnya hidup Ana yang yatim piatu sejak kecil. Masalah Ana juga menurutku sangat lah rumit, masih begitu muda harus menikah demi balas budi, dan menyandang status janda seusia dia itu bukanlah hal yang mudah. Membayangkannya saja aku tak mampu.Kucoba memejamkan mata, bayangan tentang rasa ibaku pada Ana berganti rasa kekhawatirku pada Mama, mungkin bertengkar dengan Papa adalah hal yang sudah menjadi kebiasaan bagiku. Tapi yang selalu menjadi beban pikiranku adalah Mama. Mama saat ini pasti masih sangat terluka. Kuambil gawai yang kuletakkan di meja, kucoba untuk menghubungi Mama di balkon setelah kupastikan tak ada lagi suara
POV ANAAku terbangun di waktu subuh saat sayup-sayup kudengar suara orang mengaji, surat Al Waqiah dibacanya dengan suara merdu, begitu indah, dan menyentuh hati. Segera aku membersihkan diri dan kuperiksa siapa orang yang melantunkan bacaan indah itu. Kubuka pintu kamar perlahan dan tak sempurna. Kudapati sosok Dokter Mirza duduk bersila di lantai menghadap kiblat, di atas sajadah, memakai baju koko turki warna coklat, lengkap dengan peci hitam dan sarungnya sedang sibuk melantunkan ayat suci Al Qur'an, tak salah lagi, ternyata yang aku dengar dari tadi adalah suara Dokter Mirza yang sedang bertilawah.Ia terlihat begitu berbeda dari Dokter Mirza yang ku enal selama ini, jika biasanya ia terlihat galak, ketus tak punya hati, maka yang kulihat sekarang adalah dia yang lembut, teduh, dan menenangkan hati. Aku kagum memang, karena walau dia tinggal lama di luar negeri, dia tidak melupakan ajaran dan melakukannya dengan begitu sempurna. Aku terpaku di bibir pintu hingga Dokter Mirza m
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit
Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj
Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b
POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan
POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar
Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,
POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu