Aku menoleh ke arah suara, terlihat Papa dan juga Rania datang bersamaan. Mereka terperanjat saat melihatku duduk di meja makan, begitu juga denganku. Mama memegang tanganku erat, seolah tahu, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Kutepuk lembut tangan Mama dan tersenyum padanya."Eh, Papa, Rania , sini makan bareng dulu," kata Mama mencoba mencairkan suasana, kuhampiri Papa dan kuraih tangannya, ingin kucium punggung tangannya namun ia menolak dengan menyembunyikan tangannya di belakang dan memalingkan wajahnya dariku. Aku tak mempermasalahkan itu, kuberalih pada Rania yang saat ini berdiri di samping Papa, kuulurkan tanganku padanya dan dia tersenyum menyambut tanganku."Hai, Mir ... apa kabar?" tanyanya terlihat canggung, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan Rania setelah kami mengakhiri hubungan tujuh tahun yang lalu, kulihat dia banyak berubah terutama dari penampilannya yang lebih glamour dengan make up tebal. Aku tak heran, karena yang kudengar, sekarang Rania sudah menj
POV ANAAku terjatuh saat hendak memasang gorden yang menurutku, dokter Mirza lepas untuk menyelimutiku semalam, karena seingatku, aku sudah kedinginan saat di depan cafe. Dan alhasil kakiku pun sedikit terkilir, sedikit sih tidak banyak, tapi cukup membuatku sedikit meringis saat berjalan. Saat kaki sudah terkilir barulah aku ingat bahwa stok pemb*lut di koperku sudah habis, tak mungkin minta mbak Lia membelinya untukku, itu sama saja membongkar rahasia kalau aku tinggal di apartemen ini. Satu-satunya yang bisa kumintai pertolongan hanya satu orang, Dokter Mirza, mau tidak mau, dan tanpa mengurangi rasa hormat, terpaksa, aku meminta tolong padanya. Malu? Pasti, takut? Jangan ditanya lagi. Awalnya dia menolak namun sepertinya dia sudah berubah pikiran saat kubilang bahwa, kakiku sakit.Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tak ada tanda-tanda dokter Mirza pulang, aku duduk di sofa tamu, aku cukup tahu diri, koper pun aku keluarkan dari kamar dokter Mirza. Tuan rumah lebih berhak tid
Kruuuk... kruuuk suara perutku menghentikan ocehan Dokter Mirza, kupegang perutku dan ia melihatnya."Nasi masih ada kayaknya tu, masak aja bahan di kulkas!" katanya menyalakan TV. Aku pun dengan berat hati menuju ke dapur, kubuka kulkas, memang banyak bahan di sana, dari sayuran, ikan, dan daging. Tapi hanya satu yang menjadi tujuanku. Telur yang berjejer di kulkas bagian pintu. Kuambil dan segera kunyalakan kompor. Kubuat telur dadar favoritku, aku beri kecap, karena tak ada cabai atau saus sambal di sana. Tak lama, telur dadar kecap siap di santap. Bukannya aku malas. Ya masak, anak yatim piatu malas dan manja sampai masak aja nggak bisa, bagiku sudah ada yang mengurusku saja sudah Alhamdulillah banget. Jadi, dulu waktu di panti, mbok Sum dan Umi melarangku ke dapur, katanya kalau aku turun ke dapur akan membuat dapur seperti kapal pecah dan menambah pekerjaan mereka. Akhirnya, aku diberi tugas cuci baju dan beres-beres panti saja."Bikin apa kamu?" tanya dokter Mirza yang tiba-t
POV AUTHORKediaman Adi Wijaya.Kepergian Mirza yang membuat Bu Ratri merasa kehilangan untuk kedua kalinya membuatnya tak henti-henti menangis."Sampai kapan Mama akan nangis terus?" tanya Adi Wijaya pada istrinya, saat ini mereka masih duduk di meja makan. Ada Rania yang juga ikut duduk di sana."Harusnya Mama yang tanya sama Papa, sampai kapan akan bermusuhan sama Anak sendiri? Darah daging papa sendiri?!" tanya Bu Ratri penuh penekanan.Adi Wijaya terlihat diam, Mirza adalah anak kesayangannya dulu, sebelum dia mulai menentang dirinya. Bahkan, Rehan kerap merasa iri dengan Mirza, karena menurut Rehan, Papanya lebih condong pada Mirza yang hanya anak ke dua."Sampai Mirza sadar dan minta maaf pada Papa, kembali ke Indonesia dan ke rumah, ikut mengurus perusahaan bersama Papa!" jawab Adi Wijaya mantap."Udah lah, Pa. Mirza juga sudah jadi dokter spesialis, itu cukup membanggakan bagi Mama." "Tidak, Ma, perusahaan lebih membutuhkan dia.""Sudah ada Rehan,.Pa.""Rehan itu ....""Ap
"Assalamualaikum, Adrian," sapa Mama tersenyum padaku, aku terpaku."Adrian, kenapa bengong?" tanyanya kemudian."Wa'alaikumsalam, Mama sama Papa Kenapa nggak ngabari kalau pulang? Kan, bisa Adrian jemput di bandara?" tanyaku, kukecup punggung tangan Mama dan Papa bergantian."Sengaja, mau bikin surprise buat kalian," jawab Papa."Eh, Najwa, kok, bengong. Ke sini, Sayang!" kata Mama yang melihat Najwa berdiri di belakangku, amun, tak segera menyambutnya seperti biasa. Sepertinya Najwa juga sama terkejutnya denganku. Najwa pun segera menghampiri Mama dan Papa, mengecup punggung tangannya takzim."Ayo, Ma, Pa, masuk," kataku, kubawa koper dan berbagai belanjaan, sepertinya oleh-oleh dari haji dan dari liburannya. "Mana menantu Papa yang satunya lagi?" tanya Papa, saat ini kami duduk berempat di ruang tamu. Dadaku langsung sesak mendengar pertanyaan Papa. Aku tak tahu lagi harus menjawab apa, papa memang sudah tahu kalau aku menikah lagi atas keinginan Najwa yang tidak bisa dibantah, di
POV MIRZAKubaringkan tubuhku di sofa tamu, ya hari ini aku harus berbagi tempat dengan Ana. Entah mengapa rasa ingin membantu dan melindunginya begitu kuat, terlebih saat aku tahu bahwa ia yatim piatu, aku juga sering mengerjai dan memarahi anak itu. Merasakan hidup sendiri selama tujuh tahun, hidup sendiri yang tak mudah aku lewati membuatku tahu bagaimana beratnya hidup Ana yang yatim piatu sejak kecil. Masalah Ana juga menurutku sangat lah rumit, masih begitu muda harus menikah demi balas budi, dan menyandang status janda seusia dia itu bukanlah hal yang mudah. Membayangkannya saja aku tak mampu.Kucoba memejamkan mata, bayangan tentang rasa ibaku pada Ana berganti rasa kekhawatirku pada Mama, mungkin bertengkar dengan Papa adalah hal yang sudah menjadi kebiasaan bagiku. Tapi yang selalu menjadi beban pikiranku adalah Mama. Mama saat ini pasti masih sangat terluka. Kuambil gawai yang kuletakkan di meja, kucoba untuk menghubungi Mama di balkon setelah kupastikan tak ada lagi suara
POV ANAAku terbangun di waktu subuh saat sayup-sayup kudengar suara orang mengaji, surat Al Waqiah dibacanya dengan suara merdu, begitu indah, dan menyentuh hati. Segera aku membersihkan diri dan kuperiksa siapa orang yang melantunkan bacaan indah itu. Kubuka pintu kamar perlahan dan tak sempurna. Kudapati sosok Dokter Mirza duduk bersila di lantai menghadap kiblat, di atas sajadah, memakai baju koko turki warna coklat, lengkap dengan peci hitam dan sarungnya sedang sibuk melantunkan ayat suci Al Qur'an, tak salah lagi, ternyata yang aku dengar dari tadi adalah suara Dokter Mirza yang sedang bertilawah.Ia terlihat begitu berbeda dari Dokter Mirza yang ku enal selama ini, jika biasanya ia terlihat galak, ketus tak punya hati, maka yang kulihat sekarang adalah dia yang lembut, teduh, dan menenangkan hati. Aku kagum memang, karena walau dia tinggal lama di luar negeri, dia tidak melupakan ajaran dan melakukannya dengan begitu sempurna. Aku terpaku di bibir pintu hingga Dokter Mirza m
POV MIRZAHari ini merupakan hari terakhirku berada di rumah sakit ini. Alhamdulillah tak ada kendala yang berarti saat aku berada di sini. Aku temui Dokter Dion dan kakek yang kebetulan sedang ada di ruang rapat. Aku menunggu mereka di depan ruang rapat, menunggu hingga rapat selesai. Sebenarnya mereka mengajak serta aku untuk rapat tadi pagi, namun aku sedikit terlambat karena harus mengurusi sarapan Ana tadi.Setelah kulihat semua peserta rapat yang terdiri dari staf rumah sakit dan beberapa dokter keluar dari ruangan tersebut, aku segera beranjak dari dudukku. Kuhampiri Dokter Dion dan kakek yang keluar paling belakang."Mirza, baru datang kamu?" tanya kakek yang didampingi Dokter Dion tentunya."Iya.""Tumben telat? Biasanya paling disiplin?" Sambung dokter Dion."Iya, ada sedikit urusan tadi," jawabku."Akhir- akhir ini kamu banyak urusan ya, Za?" sindir Dokter Dion, ya kemarin aku juga sudah ijin datang terlambat karena harus menunggu Ana bangun dulu."Anak muda!" jawabku asal.
Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.
POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada
POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala
POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya
Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku
"Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit