Semua Bab Suami Miskinku Ternyata Mafia Kaya: Bab 11 - Bab 20

110 Bab

Bab. 11. Meninggalnya Mbak Fatin. Goodbye, Mbak

Mbak Fatin mengungkapkan rasa malunya pada Cani. Karena hanya Cani yang bersedia menemaninya di rumah sakit. Bahkan, dengan senang Hati Cani merawat anak Mbak Fatin, tanpa diminta. “Kenapa kamu tidak menertawakan kondisiku?” ucap Mbak Fatin. Suaranya terdengar lirih. Kini Mbak Fatin tengah berbaring lemas, di atas ranjang rumah sakit. Cani tersenyum lembut sambil mengelus kening Mbak Fatin. “Orang lagi kena musibah, kok diketawain?” balas Cani. “Apa yang terjadi, Mbak? Kenapa, Mbak bisa seperti ini? Terus, suamimu ada di mana?” cecar Cani ingin tahu. “Aku memergoki suamiku bercinta dengan wanita lain,” lirih Mbak Fatin. Mbak Fatin terdiam cukup lama. Cani sengaja tak memaksa Mbak Fatin untuk langsung bercerita. Toh, kondisi Mbak Fatin belum sepenuhnya pulih. “Kami bertengkar hebat. Lalu dia pergi entah ke mana. Setelah kepergiannya. Banyak debt collector datang untuk menagih hutang suamiku. Aku sangat tertekan,” urai Mbak Fatin. “Dadakku sesak setiap kali aku mengingat kelak
Baca selengkapnya

Bab. 12. Mister X, Si Penagih Hutang Dadakan

“Astagfirullah ... Nggak perlu sampai ngatain anak orang idiot!” murka Cani. “Aku yang bakal merawat Roni!” Cani paling tidak bisa melihat anak kecil ditindas atau dihina. “Oh ... Mbak Cani mau merawat Roni? Bagus lah ... Sekalian, bayarin biaya anak pertama Mbak Fatin yang lagi mondok. Biar tambah miskin,” ledek Victory. “Merawat seorang anak nggak bakal mungkin bisa bikin makin miskin,” tandas Cani. “Malah enak. Hidupku bakal dipenuhi keberkahan,” tambahnya. “Halah!! Banyak omong! Yaudah sana! Pungut tuh anak! Palingan juga bakal jadi beban doang,” komentar Bu Helena sinis. Cani terus beristigfar setiap kali Bu Helena berbicara. Karena semua yang keluar dari mulut wanita setengah baya itu, tak patut untuk didengar. “Sekarang kalian pulang gih! Rumah ini mau aku kosongin,” usir Victory. “Kita juga mau pulang. Setelah mengambil baju-baju, dan surat penting anak-anak Mbak Fatin,” sosor Cani. “Yaudah! Buruan! Ambil semua kain lusuh itu!” dengus Bu Helena. Cani bergegas mengambi
Baca selengkapnya

Bab. 13. Ancaman Mematikan Untuk Mister X

“Apa maksudmu, Sayang?” Han sungguh tidak mengerti. Cani tak menjawab. Ia justru mengalihkan perhatiannya pada Roni yang masih digendong Han. “Roni, ayo kita makan siang bersama,” ajak Cani. Roni menggelengkan kepala. “Loh, kenapa?” tanya Cani. “Maci ngantuk,” jawab Roni setelah menguap. “Yaudah, ayo balik tidur. Sini ... Bulek temani.”Dalam budaya jawa, Bulek merupakan sebutan untuk tante. Roni meminta turun dari gendongan. Han pun menuruti. Han membiarkan Cani dan Roni menuju ke kasur lantai yang berada di belakang etalase. “Mas Han, tolong jaga toko sebentar. Aku mau menemani Roni tidur,” pesan Cani. “Iya, Sayang. Kamu juga, sekalian tidur siang. Yang tadi, bisa kita lanjut omongin nanti,” balas Han mengerti. Cani mengangguk. “Terima kasih, Mas,” ucap Cani berbaring di atas kasur. Beberapa menit berlalu. Tak butuh waktu lama bagi Roni, untuk kembali terlelap. Anak kecil itu pasti sering tidur siang. “Sayang,” panggil Han lirih. Cani menoleh ke belakang. Menyaksikan ka
Baca selengkapnya

Bab. 14. Mister X Memilih Pilihan Tepat

Mister X mengeluarkan air mata. Dirinya sangat ketakutan ketika melihat anak buah Han mengeluarkan tali tambang. Saking takutnya, sampai pipis di celana. “Bukankah, uang bisa melakukan segalanya? Kalau kamu mati. Aku bisa mengambil anakmu. Dan menjualnya,” dalih Han sengaja. “Anak yang malang ... Indra tidak mungkin merawat anakmu. Memangnya siapa dirimu? Hanya pesuruh,” lanjut Han. Mister X makin tertekan. Ditambah, rematan di bahunya belum terlepas. Mister X bisa merasakan jika tulangnya mungkin saja remuk. Han sedikit melonggarkan cengkeramannya. Namun, Han segera mengentak tangannya. Hingga tubuh Mister X berubah posisi menjadi berlutut. Tenaga Han sungguh luar biasa. Han berjongkok guna menyejajarkan posisi dengan Mister X. “Urusan kita selesai,” tandas HanHan kembali berdiri. Dia melempar tatapan kepada anak buahnya. “Sisanya aku serahkan ke kalian. Selamat bersenang-senang ... Tapi, jangan ada pertumpahan darah,” pesan Han pada mereka. Sebelum benar-benar pergi. Han se
Baca selengkapnya

Bab. 15. Acara Makan Malam Berujung Tawuran

“Sekali lagi aku minta maaf atas nama perusahaan. Karena telah membuat anda tidak nyaman,” lanjut Putri menegaskan. “Iya, nggak masalah kok. Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Manusiawi,” timpal Cani mengerti. Han sudah menduga jika Cani tak mungkin marah. “Kalau begitu, saya pamit undur diri. Masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan,” ucap Putri berpamitan. Putri sempat melirik Han. Kemudian berlalu pergi. “Mas sadar nggak? Wanita barusan rambutnya pirang. Hidung mancung. Terus matanya biru. Tapi, namanya Putri. Aneh banget ....” komentar Cani heran. Han sedikit gelagapan. “Apanya yang aneh, Sayang? Jaman makin maju. Aku rasa, sekarang tidak ada wanita muda yang tidak pandai merias wajah,” kilah Han memberi pandangan pada Cani. Namun, sepertinya Cani enggan menelan penjelasan Han. Dia memiliki pemikirannya sendiri. “Masak sih? Berarti Mbak Putri jago banget merias. Sampai-sampai wajahnya mirip banget sama bule,” ujar Cani. Han tersenyum hambar. Dia tak tahu har
Baca selengkapnya

Bab. 16. FAKE Or REAL?? Apa Hanya Rumor?

Seorang wanita berusia enam puluh tiga tahun itu datang dengan kehebohan. Namanya Mak Ti. Beliau merupakan juragan sembako.“Sesama saudara kok saling adu argumen. Hidup itu harus menjaga kerukunan,” tutur Mak Ti memberi nasihat kepada Victory dan Cani. “Mak Ti bawa apa?” tanya Cani senang. Hubungan Cani dan Mak Ti memang baik. Cani sering berbelanja kebutuhan pokok di toko Mak Ti. “Bawa badan doang!” jawab Mak Ti santai. “Tamu nggak perlu bawa apa-apa,” tambah Mak Ti. Setiap kali Mak Ti bergerak. Badannya mengeluarkan suara merdu dari gesekan perhiasan yang dia kenakan. “Oh ... Ada Nak Indra. Suaminya Cani. Eh ... Suaminya Victory. Aduh, maaf. Aku salah. Ya, soalnya dulu katanya Nak Indra naksir Cani. Aku pikir, nikahnya sama Cani. Ups! Enggak ya?” cerocos Mak Ti. Meskipun sudah tidak berusia muda. Mak Ti cukup endel. Suka sekali menggoda orang lain dengan gosip-gosip yang dia tahu. “Habisnya, Cani cantik sih. Kembang desa,” lanjut Mak Ti ceriwis. Victory memandang jijik Mak
Baca selengkapnya

Bab. 17. Naksir Biasa Kok!! Malah Cani Dilabrak!

Malam hari, setelah Indra dan Victory memutuskan untuk pergi, sebelum acara makan malam usai. Victory terlihat sangat kesal dengan suaminya. Dari tadi pun, dia hanya diam hingga sampai di kediaman megah Indra. “Mau sampai kapan kamu tidak menghiraukanku, Dek?” tanya Indra begitu mereka berada di dalam kamar. “Mas nggak jujur. Katanya nggak kenal Mbak Cani. Eh ... Nggak taunya pernah naksir,” sindir Victory mengungkapkan isi hati. “Jangan-jangan, Mas sengaja menikahiku, hanya untuk membuat Mbak Cani cemburu,” tuduh Victory. “Astaga! Untuk apa aku melakukan hal tersebut, Dek? Kamu pikir aku nggak punya harga diri?” sanggah Indra. “Terus? Kenyataannya, Mas pernah menyukai Mbak Cani!” sosor Victory menunjukkan kekesalannya. “Itu dulu. Sebelum aku bertemu denganku, Dek,” jawab Indra. Indra berusaha menenangkan Victory. “Oh ... Jadi benar? Mas dulu suka sama Mbak Cani! Akhirnya ngaku sendiri ‘kan!” sungut Victory makin menjadi. Indra menghela napas. Sepertinya, Indra akan selalu s
Baca selengkapnya

Bab. 18. Kakak Pertama Muncul, Mas Irawan

“Pernah pukul Roni?” tanya Cani sekali lagi. Ingin memastikan. “Bapak pelnah dolong Roni. Ibu pelnah pukul Roni. Coalnya Roni nakal,” terang Roni sambil berusaha mengingat. Cani tersenyum tipis lalu berkata, “Mulai sekarang. Selama Bulek masih hidup. Nggak akan ada yang bisa pukul kamu lagi.”“Bulek janji?” Roni mengangkat jari kelingkingnya. Menunjukkannya tepat di depan wajah Cani. “Janji.” Cani menaut jari kelingking Roni sembari terus melempar senyuman manis.“Udah kayak anak sendiri, Ni.”Otomatis Cani menoleh ke arah seseorang yang berbicara. Senyuman di wajah Cani luntur seketika. “Mas Irawan? Tumben ke sini? Ada apa, Mas?” tanya Cani tak berniat untuk basa-basi.“Galak bener, Ni. Kayak sama siapa aja,” sindir Mas Irawan.Mas Irawan merupakan Kakak Pertama Cani. Salah satu orang yang menjadi saksi, ketika ayah Cani mengatakan jika rumah Keprabon jatuh ke tangan Cani.“Aku hanya galak kok, Mas. Enggak jahat,” tandas Cani.Mas Irawan tersenyum tipis. Perhatiannya tertuju pada
Baca selengkapnya

Bab. 19. Keinginan Tidak Tahu Diri Mas Irawan

“Masmu yang menusukmu dari belakang?” tanya Han melempar senyuman ke arah Cani. “Jangan ngomong gitu, Mas. Mungkin Mas Irawan sudah berubah,” tukas Cani seakan membela kakaknya. “Seseorang tidak mungkin bisa berubah dalam waktu singkat,” timpal Han.“Bukan hanya mengkhianatimu. Mas Irawan juga pernah menghinamu. Karena kamu hanya meminta sepuluh ribu rupiah untuk maharmu,” tambah Han. Kenyataan di masa lalu yang dibeberkan Han, tak bisa Cani hempaskan dari ingatannya. “Emh, Mas Han tidak mengizinkan Mas Irawan bekerja di sini ya?” Cani menyimpulkan berdasarkan respons yang diberikan oleh Han. “Aku khawatir dengan keselamatanmu, Sayang,” ungkap Han. Bukannya tidak ingin memberi izin. Han hanya takut jika istrinya dilukai lagi. Sesuatu paling menyakitkan bagi Han adalah, ketika melihat Cani mengeluarkan air mata. “Aku baik-baik saja kok, Mas. ‘Kan ada, Mas yang selalu berada di sisiku. Jadi, aku nggak takut bakal dilukai oleh orang lain,” tutur Cani meyakinkan. Cani berusaha me
Baca selengkapnya

Bab. 20. Loh? Ke Mana Uang Cani?

“Bukannya aku nyesel atau apa, Ni. Aku pengen tinggal di sini untuk sementara waktu. Setelah hubunganku sama istriku membaik. Aku bakal pergi dari sini. Dan nggak kerja lagi sama kamu, Ni,” kilah Mas Irawan.Cani menghembuskan napas lelah. Tidak ada gunanya saling melempar argumen dengan kakaknya. Melawan seseorang yang pandai bersilat lidah memang susah, dan tidak ada gunanya. “Baiklah, Mas Irawan boleh tinggal di rumah ini. Kebetulan. Rumah ini ‘kan punya banyak kamar,” sahut Han mengambil keputusan. Sebenarnya Cani tak setuju. Mengingat kelakuan tercela Mas Irawan terhadapnya. Cani masih sedikit kesal. Namun, berhubung Cani sangat menghormati suaminya. Mau tak mau, Cani setuju dengan Han.Perbincangan mereka terhenti saat ada beberapa pembeli yang datang. Dengan sigap Cani melayani para pembeli. Begitu pun dengan Mas Irawan yang menunjukkan kinerjanya. Sementara Han berpamitan untuk berangkat bekerja. “Hati-hati, Mas,” ucap Cani setelah mencium punggung tangan Han. Selama b
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status