“Pernah pukul Roni?” tanya Cani sekali lagi. Ingin memastikan. “Bapak pelnah dolong Roni. Ibu pelnah pukul Roni. Coalnya Roni nakal,” terang Roni sambil berusaha mengingat. Cani tersenyum tipis lalu berkata, “Mulai sekarang. Selama Bulek masih hidup. Nggak akan ada yang bisa pukul kamu lagi.”“Bulek janji?” Roni mengangkat jari kelingkingnya. Menunjukkannya tepat di depan wajah Cani. “Janji.” Cani menaut jari kelingking Roni sembari terus melempar senyuman manis.“Udah kayak anak sendiri, Ni.”Otomatis Cani menoleh ke arah seseorang yang berbicara. Senyuman di wajah Cani luntur seketika. “Mas Irawan? Tumben ke sini? Ada apa, Mas?” tanya Cani tak berniat untuk basa-basi.“Galak bener, Ni. Kayak sama siapa aja,” sindir Mas Irawan.Mas Irawan merupakan Kakak Pertama Cani. Salah satu orang yang menjadi saksi, ketika ayah Cani mengatakan jika rumah Keprabon jatuh ke tangan Cani.“Aku hanya galak kok, Mas. Enggak jahat,” tandas Cani.Mas Irawan tersenyum tipis. Perhatiannya tertuju pada
“Masmu yang menusukmu dari belakang?” tanya Han melempar senyuman ke arah Cani. “Jangan ngomong gitu, Mas. Mungkin Mas Irawan sudah berubah,” tukas Cani seakan membela kakaknya. “Seseorang tidak mungkin bisa berubah dalam waktu singkat,” timpal Han.“Bukan hanya mengkhianatimu. Mas Irawan juga pernah menghinamu. Karena kamu hanya meminta sepuluh ribu rupiah untuk maharmu,” tambah Han. Kenyataan di masa lalu yang dibeberkan Han, tak bisa Cani hempaskan dari ingatannya. “Emh, Mas Han tidak mengizinkan Mas Irawan bekerja di sini ya?” Cani menyimpulkan berdasarkan respons yang diberikan oleh Han. “Aku khawatir dengan keselamatanmu, Sayang,” ungkap Han. Bukannya tidak ingin memberi izin. Han hanya takut jika istrinya dilukai lagi. Sesuatu paling menyakitkan bagi Han adalah, ketika melihat Cani mengeluarkan air mata. “Aku baik-baik saja kok, Mas. ‘Kan ada, Mas yang selalu berada di sisiku. Jadi, aku nggak takut bakal dilukai oleh orang lain,” tutur Cani meyakinkan. Cani berusaha me
“Bukannya aku nyesel atau apa, Ni. Aku pengen tinggal di sini untuk sementara waktu. Setelah hubunganku sama istriku membaik. Aku bakal pergi dari sini. Dan nggak kerja lagi sama kamu, Ni,” kilah Mas Irawan.Cani menghembuskan napas lelah. Tidak ada gunanya saling melempar argumen dengan kakaknya. Melawan seseorang yang pandai bersilat lidah memang susah, dan tidak ada gunanya. “Baiklah, Mas Irawan boleh tinggal di rumah ini. Kebetulan. Rumah ini ‘kan punya banyak kamar,” sahut Han mengambil keputusan. Sebenarnya Cani tak setuju. Mengingat kelakuan tercela Mas Irawan terhadapnya. Cani masih sedikit kesal. Namun, berhubung Cani sangat menghormati suaminya. Mau tak mau, Cani setuju dengan Han.Perbincangan mereka terhenti saat ada beberapa pembeli yang datang. Dengan sigap Cani melayani para pembeli. Begitu pun dengan Mas Irawan yang menunjukkan kinerjanya. Sementara Han berpamitan untuk berangkat bekerja. “Hati-hati, Mas,” ucap Cani setelah mencium punggung tangan Han. Selama b
Mendengar suara berisik di dalam kamar. Han bergegas menghampiri sang istri. Begitu sampai di dalam kamar. Pemandangan pertama yang disaksikan oleh Han adalah, istrinya yang sedang membongkar isi lemari pakaian. “Kamu ngapain, Sayang?” tanya Han ketika menyadari jika Cani terlihat seperti orang kebingungan bercampur panik. “Mas ... Uang yang tadi, Mas kasih ke aku hilang,” lapor Cani sudah bergelimang air mata. “Hilang? Kok bisa hilang? Emang kamu taro di mana?” Han merasa kasihan pada istrinya. “Aku taro di dalam lemari, Mas. Di bawah pakaian. Seperti biasa aku naro uangku,” jelas Cani menangis. “Haduh, Mas ... Di mana ya uangku?” resah Cani. “Tenangkan dirimu terlebih dahulu, Sayang. Mungkin kamu lupa menyimpan uang itu di mana,” tutur Han berusaha membuat Cani tidak panik. “Enggak lupa, Mas. Aku ingat dengan persis. Aku menyimpan uangku di sini!” tandas Cani sangat yakin. “Jangan-jangan?” gumam Han. “Jangan-jangan apa, Mas?” tanya Cani mendengar suara lirih Han. “Aku tid
Han yang kesal meminta anak buahnya untuk memukuli Mas Irawan. Tenang saja. Han tak mungkin membuat Mas Irawan terlalu kesakitan. Han menamai pukulan tersebut sebagai pukulan peringatan penuh kasih sayang. “Jangan sampai wajahnya terluka,” perintah Han. Han tak bodoh. Dia tidak akan meninggalkan luka di area terbuka. Seperti wajah, tangan, maupun kaki Mas Irawan. Pukulan kecil seperti itu saja, sudah mampu membuat Mas Irawan bertekuk lutut. Mas Irawan yang tak pernah mendapatkan kekerasan sebelumnya. Tak kuasa menahan rasa sakit akibat pukulan bertubi-tubi dari anak buah Han.“Hentikan! Jangan pukul aku lagi! Maafkan aku, Han!” rintih Mas Irawan memohon ampun. Han memerintahkan anak buahnya untuk berhenti memukul. Han kembali berjongkok. Jemarinya yang besar mencengkeram rahang Mas Irawan cukup kuat. Meminta sang pemilik rahang untuk menatapnya. “Mas Irawan. Padahal sudah memilih. Kenapa tidak bertahan dengan pilihanmu?” ringis Han.Pandangan remeh tak bisa lagi Mas Irawan tun
“Kamu itu ngomong apa sih, Ni? Kapan aku mencuri uangmu? Memangnya kamu punya uang?” kelit Mas Irawan. Enggan mengaku. “Kamu pasti kena omongan suamimu yang bohong itu!” Malah balik menuduh, dan memfitnah Han. Mas Irawan justru berusaha memanipulasi Cani. Akan tetapi, Cani bukan orang yang mudah. Wanita manis itu lebih percaya dengan sang suami. “Yang tukang bohong itu kamu, Mas!” bentak Cani muak. “Sudah! Jangan halangi aku lagi! Aku mau nyusul suamiku!” hardik Cani. Mas Irawan sama sekali tidak membiarkan Cani beranjak dari tempat. Bahkan Mas Irawan sengaja merebut Roni dari gendongan Cani. “Kamu nggak kasihan sama Roni? Masih kecil sudah kamu ajak ke kantor polisi. Lagian, Roni ‘kan lagi tidur siang. Malah diajak keluar,” cerca Mas Irawan. Mas Irawan tahu persis jika Cani sangat menyayangi Roni. “Yaudah, kalau kamu mau nyusul suamimu, silakan. Tapi, Roni sama aku. Bakal aku bawa. Terus tinggal di rumahku. Aku yang ngasuh,” tantang Mas Irawan. Cani gelagapan. Dan sesuai den
Malam hari setelah aksi pemukulan Mas Irawan. Mas Irawan berjalan tertatih memasuki kediamannya yang lumayan besar. Istrinya yang membuka pintu langsung memarahi Mas Irawan yang akhir-akhir ini tak pulang berhari-hari. Mas Irawan tak mau ambil pusing. Pria penuh keriput itu memilih untuk membersihkan tubuhnya yang penuh luka akibat digebuki anak buah Han. Mas Irawan sangat kesal dengan Han. Dan timbullah kebencian untuk sang adik ipar. Setelah membersihkan tubuh. Mas Irawan langsung bergegas pergi menemui Indra. Meskipun harus melakukan perjalanan lumayan jauh, dengan mengendarai sepeda motor. Mas Irawan tak mengeluh. Biarpun seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Sampainya di kediaman mewah Indra. Mas Irawan langsung mengadu. Awalnya Indra enggan percaya. Namun, setelah Mas Irawan menunjukkan tubuhnya yang penuh luka. Barulah Indra percaya. “Bagus! Luka di tubuhmu sudah cukup untuk memasukkan Han ke dalam penjara,” tandas Indra senang. “Han bakal masuk penjara? Terus, gimana n
Roni tersentak mendengar suara pintu utama rumah digedor oleh seseorang. Roni pun segera menghampiri Buleknya yang sedang mengaji di ruangan khusus sembahyang. Beribadah, atau berserah diri kepada Sang Pencipta merupakan kegiatan favorit Cani ketika dalam suasana kacau seperti saat ini. Sejak ditangkapnya Han tadi. Hati Cani tak bisa tenang. Dia merasa sangat cemas akan keselamatan Han. “Bulek ....” panggil Roni menghampiri Cani. Cani otomatis menghentikan aksinya. Kini, dia memfokuskan diri pada Roni. “Iya, Roni. Ada apa? Roni sudah mengantuk?” tanya Cani penuh perhatian. “Enggak ngantuk! Ada yang pukul pintu. Aku kaget, Bulek,” jawab Roni memberi tahu, dengan tatapan polos. Cani tersenyum lembut kemudian berjalan menuju ke arah pintu rumah. Masih dengan mengenakan mukena. “Siapa yang bertamu? Apa Bu RT mau bagi-bagi makanan?” batin Cani menduga-duga. Begitu pintu rumah Cani terbuka. Rasa lega bercampur senang menyelimuti hati Cani. Bagaimana tidak? Sosok yang berdiri di had
Tentu Cani tidak ingin adiknya ikut tinggal bersama dirinya di sini. Satu alasan, terlalu berbahaya. Cani tidak akan membiarkan adiknya berada di dalam situasi yang akan merugikannya, cukup Cani saja.Meski jauh di lubuh hati Cani, ia ingin sekali merawat adiknya yang kini sudah tidak mampu berbicara lagi. Tapi kali ini Cani harus mengeraskan hatinya, semua demi kebaikan, dan keselamatan Victory.“Huh ... Kenapa dari sekian banyak anak buah yang dimiliki Han, suamiku yang harus menjaga Victory? Padahal mereka pernah berselingkuh. Mungkin sekarang mereka juga sedang berselingkuh,” ujar Hime mengeluhkan hal tersebut.Cani yang awalnya melamun, kini memfokuskan dirinya pada Hime yang baru duduk di depannya.“Mbak Hime, mereka nggak mungkin selingkuh lagi. Jadi, Mbak Hime nggak perlu khawatir,” balas Cani mencoba memberi Hime pengertian yang ia percaya.“Oh ya? Meskipun mereka telah berjanji tidak akan kembali berselingkuh. Namun kesempatan selalu ada. Yeah, namanya juga manusia,” sanggah
"Bergantian? Aku bersedia," sahut Rio. "Gila kamu ya! Mana sudih aku berbagi," sosor Han menarik Cani cukup kencang hingga Cani langsung tersentak kepelukannya. "Cani hanya milikku, sialan," tegas Han melempar tatapan sinis pada saudara kembarnya. Zeilla memutar kedua matanya malas. Ia tahu persis sisi lain dari adiknya yang seperti anak kecil. Tapi, satu hal yang mengejutkan, Rio ternyata tak jauh beda dari Han. “Kania, kamu tahu sendiri kalau aku tidak memiliki teman selain kamu. Sekarang suamimu pun ingin merebutmu dariku,” ujar Rio sengaja mengeluarkan ekspresi memelas.Han berdecap ketika Cani menunjukkan gelagat iba pada Rio.“Kamu nggak kasihan sama aku?” tanya Rio penuh harap. “Kalau kamu ikut suamimu, pasti dia nggak bakal izinin kita bertemu,” imbuhnya.Cani hanya terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. Pertemuannya dengan Han juga sangat mengejutkan. Bisa dibilang, Cani malu bertatap muka dengan suaminya, karena ia telah ditiduri pria lain, Rio.Di sisi lain, Cani juga
Rio memperhatikan Cani yang sedang sibuk memilih-milih pakaian yang pantas untuk ia kenakan di pertemuan nanti. Ada raut kesedihan yang Rio perlihatkan, jelas Rio tidak rela melepas Cani. Rio berjalan perlahan ke arah Cani, kemudian memeluk erat perut Cani, meletakkan kepalanya pada pundak wanita yang membuatnya tergila-gila itu. "Rio? Kok peluk aku? Aku lagi memilih baju loh. Katanya mau ngajak aku jalan-jalan," protes Cani berusaha melepaskan diri dari Rio. Rio sengaja tidak memberitahu Cani jika hari ini, Cani akan dikembalikan kepada Han. Rio tidak rela. "Aku masih ingin bersamamu, Kania," bisik Ruo menciumi pipi Cani. Cani menggelengkan kepalanya, bermaksud menghindari kecupan Rio. Entah sejak kapan hubungan keduanya terasa begitu dekat. Rio yang awalnya menjadi ancaman, kini berbalik 360 derajat. "Rio ... Nanti make up-ku berantakan, loh ...." keluhnya memukul-mukul prlan punggung tangan Rio yang melingkar di perutnya. "Panggil aku Mas juga. Sama seperti kamu memanggil s
Matahari sore menerobos celah tirai sutra tebal, menyorot debu-debu halus yang menari-nari di udara ruangan pribadi Han. Ruangan itu sendiri, mewah dan dingin, mencerminkan pemiliknya, seorang pemimpin kartel yang kejam namun terselubung di balik topeng keanggunan.Di sofa kulit berwarna gelap, duduklah dua sosok yang kontras, yakni Zeilla, Presiden Meksiko dengan aura kepemimpinan yang kuat, dan Han, adik kembarnya yang terbungkus aura misterius dan bahaya.Udara di antara mereka dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan, lebih dari sekadar canggung, itu adalah keheningan yang dipenuhi sejarah perselisihan."Kau terlihat baik, Han," ucap Zeilla memecah keheningan yang mencekam. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak mampu menyembunyikan kekhawatiran di baliknya.Han hanya berdehem, matanya menatap ke arah jendela, mengamati kota yang terbentang di bawahnya."Seperti yang kau lihat," jawab Han singkat, tanpa sedikitpun minat.Han tampak acuh, seolah kehadiran Zeilla tak lebih dari
Gerimis mengguyur Dermaga Tua, air laut beriak pelan menghantam tumpukan kayu lapuk. Hime berdiri tegak dengan mantel hitamnya yang membalut tubuh rampingnya.Dinginnya angin laut menusuk kulitnya, namun amarahnya lebih menusuk lagi.Tak berselang lama, Haily datang terlambat dari jadwal perjanjian mereka. Ia dalam kondisi basah kuyup, dan rambutnya melekat di wajahnya yang pucat."Kenapa kamu berani mengkhianatiku, Haily?" suara Hime tajam, menusuk seperti pisau. "Kamu bicara pada Han tentang Cani."Haily yang bingung menggelengkan kepala dengan mata berkaca-kaca. "Kamu ngomong apa sih?" tanya Haily tidak mengerti. "Tidak usah berlagak seperti orang bodoh," ketus Hime, menggertak. "Sumpah! Aku tidak pernah bertemu Han. Lagian, ngapain juga aku bertemu denganya?" Haily menyangkalnya. Karena memang itu kenyataannya. "Bohong!" Hime mendekat, tangannya mengepal."Han tahu semuanya. Dia tahu kita terlibat dalam penculikan Cani. Han bilang kamu yang membocorkannya!""Apaan, sih? Han ya
Satu per satu pelayan datang, mereka berkumpul lalu berbaris rapi di depan Cani dan Rio. Rio meminta Mizu mengambil pistol kesayangannya yang sering ia pakai ketika beraksi. Sebagai anak buah, Mizu hanya bisa menurut, meski di benaknya terdapat banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Rio. Mizu kembali dengan membuka kotak berisi sentaja, lalu menyerahkannya pada Rio. Melihat Rio memasukkan beberapa peluru pada pistol tersebut, para pelayan menjadi gugup, dan takut. "Kania, tunjuk pelayang yang sudah menyakitimu," pinta Rio berusara lembut. Cani belum mengetahui bahwa Rio memegang senjata di tangan kirinya. "Kania ...." Rio memanggilnya pelan. Kani yang bingung perlahan menggerakkan tangannya, jari telunjuknya mengacung pada salah satu pelayan secara acak. Dan .. Detik itu juga ... BANG! Suara tembakan terdengar hingga membuat semua orang di sana panik, tak terkecuali Cani yang berteriak kencang ketika melihat kening pelayan yang ia tunjuk berlubang sebelum pel
Ada apa dengan Bosnya? Tindakan Rio tidak seperti biasanya. Kendati merasa heran, Mizu tak mau ambil pusing, dan lebih memilih membereskan kekacauan yang dibuat Rio. Mizu juga mewanti-wanti anah buahnya yang lain agar menjaga sikap mereka, dan sebisa mungkin tidak membuat Rio kesal atau marah. Keesokan harinya, Cani terbangun dari tidurnya ketika seorang pelayan menguncang tubuhnya dengan kasar. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terisi, Cani memperhatian gerak-gerik pelayan yang terlihat kesal. "Enak ya? Jadi pemuas nafsu Tuan Rio?" sungutnya melempar tatapan sengit pada Cani. Cani terkejut atas pernyataan lantang pelayan itu. "Wanita sepertimu tidak layak tidur di kamar Tuan Rio!" teriaknya menoyor kepala Cani hingga Cani terhuyung ke samping. Tak sampai di situ, pelayan tersebut meraih kedua lengan Cani, lalu menarik Cani ke depan, membiarkan Cani terjungkal di atas karpet berbulu. Pantat Cani yang terekspos, mengeluarkan cairan putih milik Rio yang tidak mampu ia bendung.
Dengan kesadahan yang hampir sirna, Xixu panik melihat Mizu berjalan mendekati Cani yang berada di pangkuan Rio. "Bagaiman, Bos?" Alis Mizu bergerak naik turun, bermaksud menggoda Bosnya. "Jangan menodai istri Tuan Han!" Xixu berteriak kencang, membuat Mizu kembali padanya dan langsung menampar pipi Xixu. "Sepertinya obat yang aku beri terlalu sedikit," ketus Mizu tersenyum miring. Mizu memerintahkan anak buahnya beraksi lebih brutal dari sebelumnya. "Kalau bisa, sampai kelamin jalang ini hancur," desisnya. Perintah Mizu langsung dilaksanakan, jeritan mulai terdengar dari mulut kecil Xixu. Sementara Cani tak sanggup menyaksikan penderitaan Xixu. "Hentikan ...." lirih Cani menundukkan kepala. Pelayan yang masih ada di sana, justru sangat menikmati tontonan yang tersaji di depan mereka, di mana Xixu yang digagahi oleh banyak pria. Cani merasakan pelukan Rio makin mengerat, seolah ingin mencekiknya. "Kania ...." Rio memaksa Cani untuk menatap matanya yang sendu,
Ketika malam semakin larut, ketika kondisi kediaman Rio makin sepi, Xixu menyelinap masuk ke dalam ruangan pribadi Rio. Sebelumnya, Xixu sudah mematikan seluruh kamera CCTV melalui ruang kontrol yang ada di ruang bawah tanah kastil. Tanpa membuang-buang waktu, Xixu langsung menggeledah seisi ruangan. Tak lupa, ia mengenakan pakaian tertutup serba hitam. Xixu tidak mungkin membiarkan sidik jarinya tertinggal. Saat sedang asyik membuka berbagai macam dokumen di dalam laptop Rio yang berhasil Xixu rentas, tanpa Xixu sadari, Mizu berdiri di belakang Xixu dengan senjata yang siap melubangi kepala Xixu. "Apa yang kau lakukan?" tanya Mizu santai. Xixu tersentak, tubuhnya tiba-tiba kaku tak kala merasakan dinginnya ujung pistol yang menempel di kulit lehernya. Secara perlahan, Xixu mencoba meraih pisau kecil yang telah ia siapkan sebelumnya di dalam kantong celananya. Akan tetapi, gerakannya langsung dihentikan oleh Xixu. Mizu mencengkeram pergelangan tangan Xixu, mengunci pegerakan Xi