Semua Bab Istri yang Kau Sakiti Ternyata Punya Perusahaan Sendiri : Bab 11 - Bab 20
38 Bab
Bab 11. Reaksi Papa
Kemeja biru muda polos yang ia kenakan terlihat sangat kusut. Dari beberapa hari yang lalu memang aku belum sempat menyetrika. Dan biasanya hari Minggu aku menyetrika semua baju-baju.Karena sejak hari Sabtu dia sudah ketahuan buat ulah, maka aku tak memegang satu pun pekerjaan itu.Dan sekarang dia harus berangkat dengan baju baju yang kusut. Pasti perempuan itu nggak mau menyiapkan semua keperluan Mas Iqbal. Wanita seperti itu yang kamu bilang sangat berarti bagimu Mas?Aku benar-benar tak habis pikir. Dibandingkan denganku tentu dia tak ada apa-apanya. Secara fisik, aku lebih cantik darinya, aku lebih bisa mengerti dia, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, melayani semua keperluannya.Ini yang membuatku tak terima. Dan bertekad untuk membalas rasa sakit hatiku. Sampai matanya benar-benar terbuka lebar, dan mampu membedakan mana berlian dan mana batu kali. Aku hanya tersenyum simpul melihat suamiku memasuki mobil, kemudian berlalu berangkat ke kantor. Aku membuat roti pangga
Baca selengkapnya
Bab 12. Menolak nafkah batin
"Papa akan buat perhitungan dengannya!" ucapnya kemudian.Aku menggeleng cepat."Enggak Pa. Tyas akan selesaikan sendiri masalah ini." Papa menatapku penuh arti."Kamu masih mencintai laki-laki itu?" tanya Ayah dengan tatapan tak suka."Bukan itu Pa. Tyas–""Lalu apa? Cuma orang bo doh yang masih mau bertahan dengan seorang pengkhianat!" ucapnya tegas."Tyas paham itu Pa. Tyas hanya ingin kasih dia pelajaran. Tyas nggak rela mereka bahagia setelah mencampakkan Tyas. Kalau Tyas langsung meminta cerai, mereka akan merasa menang," jelasku.Papa hanya membuang muka mendengar penjelasanku."Pa, Tyas paham, Papa nggak rela. Tapi Tyas yakin, Tyas kuat menjalani ini Pa. Papa percaya 'kan sama Tyas?"Papa menolehku sebentar lalu kembali membuang pandangan ke arah lain."Orang tua mana yang rela melihat anaknya di madu, bahkan tinggal satu atap dengan madunya.""Papa." Aku meraih jemari tangannya. Menggenggamnya erat-erat."Pa ... Maafin Tyas Pa. Ini semua memang salah Tyas, salah Tyas dulu ng
Baca selengkapnya
Bab 13. Panas.
Cepat-cepat aku keluar kamar, dan masuk ke kamar tamu. Mengunci pintunya. Di balik pintu aku menangis tergugu.Andaikan hubungan kita masih baik-baik saja Mas, tentu aku akan menyambut hangat ajakanmu itu. Maafkan aku Tuhan, jika aku menjadi istri yang berdosa, tapi rasa sakit hatiku seakan menutupi akal sehatku. Aku luruh hingga terduduk sendiri di lantai, rasanya hati ini seperti di remas kuat. Sakit sekali. Adzan Maghrib dari masjid yang tak jauh dari rumah terdengar. Aku bangkit untuk mengambil wudhu dan menunaikan ibadah tiga raka'atku. Di atas sajadah yang terbentang. Aku menengadahkan tangan, memohon ampun pada sang pemilik hidup.Kepada-Nya aku langitkan doa, meminta kekuatan, agar aku kuat menghadapi ujian ini. Jika ini adalah bentuk kasih sayangMU padaku, maka genggamlah aku agar aku kuat. Jika ini bentuk teguran dariMu akan kesalahan dan dosa-dosaku yang lalu, maka aku mohon untuk lapangkan hati ini menerima semua suratan takdir yang telah kau berikan.Selesai bermunajat
Baca selengkapnya
Bab 14. Amanda
"Sayang, Mas buru-buru sudah telat ini. Daaahhh!" seru Mas Iqbal pada Amanda, dari dalam mobil, kemudian segera berlalu meninggalkan halaman rumah ini. Aku tertawa melihat ekspresi Amanda cemberut. "Kamu interview di kantor mana?" tanya Mas Iqbal. "Turunin aku di depan kantor agensinya Amel aja Mas." "Kamu mau ngelamar jadi model? Nggak salah? Mana ada model penampilannya seperti kamu gini, memakai hijab," cibirnya. "Bukan. Aku bukan ngelamar sebagai model. Aku hanya ada perlu sebentar sama Amel, nanti biar dari sana aku sendiri ke kantor tempatku interview." "Kenapa sih harus sedekat itu sama Amel?" Mas Iqbal bertanya dengan raut tak suka. "Memangnya kenapa? Kamu 'kan tahu sejak dulu aku sama Amel memang teman dekat. Atau jangan-jangan kamu takut? Takut video kamu ketahuan selingkuh di hotel itu tersebar?" tebakku. "Aku bukan selingkuh, Tyas! Aku menginap menginap di hotel itu dengan istriku," ketusnya tak terima. "Iya, bermalam dengan istri siri, sampai mengabaikan aku istr
Baca selengkapnya
Bab 15. Bohong.
"Aku nggak nyangka kamu setega ini sama aku, Manda. Kurang apa aku sama kamu?!" tukas laki-laki itu.Aku yang tadinya hendak beranjak, kembali duduk dan memilih untuk mendengarkan percakapan mereka, menggali informasi siapa sebenarnya laki-laki itu.Laki-laki itu terbilang cukup tampan, dengan perawakan tinggi, kulitnya putih."Kurangnya kamu apa? Banyak! Kamu itu nggak bisa kasih aku uang Mas! Sedangkan hidup ini butuh uang!" ucap Amanda."Baik, kalau memang itu sudah keputusanmu, aku terima, walau sebenarnya hatiku sakit sekali.""Mau sakit hati, mau enggak, sudah bukan urusanku Mas! Aku sekarang sudah menjadi istri seorang Iqbal Bramasta. Aku tak 'kan kekurangan suatu apapun," ucap Amanda dengan sombongnya."Kamu benar-benar sudah berubah, Manda, tiga tahun kita menjalani hubungan ini, kamu berpaling hanya demi harta dan pesona mantanmu itu!""Kalau iya memang kenapa? Menyesal aku meninggalkan dia dulu, kalau saja dulu aku masih sama-sama dia, mungkin aku sudah jadi kaya raya, dan
Baca selengkapnya
Bab 16. Omongan orang
"Tyas! Kamu masak segini banyaknya, buat apa? Ya Allah ini anak, sudah dibilangin jangan boros, masih juga nggak ngerti!" Suara ibu dari arah dapur terdengar melengking.Ibu pasti mengira makanan di meja makan itu aku yang memasaknya. Aku langsung keluar kamar menghampiri ibu."Ada apa Bu?""Ini kamu apa-apaan, masak segini banyak, mana makanannya enak-enak, daging saja sudah mahal! Sudah di kasih tau masih juga nggak ngerti! Dasar boros!"Aku hanya duduk dengan santai di meja makan sambil memakan peyek udang yang ada di atas meja."Tyas! Kamu denger nggak sih, ibu ngomong! Nggak sopan kamu ya!" sungut ibu."Ibu, sudah selesai ngomongnya?""Kamu itu–""Itu semua Amanda Bu, yang beli." Tiba-tiba Mas Iqbal muncul dan menjawab pertanyaan ibu."Apa? Beli?! Sebanyak ini? Astaga! Memasak sendiri saja pasti sudah habis banyak, ini lagi beli di luar, ya Ampun! Lama-lama ibumu ini mati berdiri ngadepin mantu-mantu ibu!" Ibu semakin geram."Makanya jangan asal nuduh aku begitu dong Bu! Sudah ta
Baca selengkapnya
Bab 17. picik
"Tyas!"Tiba-tiba saja ibu mengetuk pintu kamarku. Aku membukanya."Kok malah di kamar? Sana kamu bantuin siapin makanan dan minuman untuk para tetangga yang datang. Lagi ada acara gini kok malah mendekam saja di kamar!" sungut Ibu dengan ekspresi kesal."Kenapa ibu nggak suruh Amanda saja, menantu kesayangan Ibu!""Eh, eh, kamu ini berani ngelawan ibu!" Ibu menatapku tak suka."Aku capek Bu.""Amanda itu kan lagi hamil, masak iya dia yang harus ngerjain semuanya? Kamu itu harusnya tahu diri, kamu di sini itu numpang, jadi ya wajar kamu harus banyak bantu-bantu!"Apa dia bilang aku numpang? Padahal bangun rumah ini aku keluar dana yang tidak sedikit. Tapi dia seolah tutup mata mentang-mentang rumah ini di bangun di atas tanah miliknya."Aku juga istrinya Mas Iqbal Bu, ibu nggak seharusnya bilang aku di sini numpang.""Iya kamu memang istri Iqbal, tapi istri yang nggak becus! Nggak bisa kasih keturunan buat apa? Kamu masih dipertahankan sama Iqbal itu hanya karena dia kasihan sama kamu
Baca selengkapnya
Bab 18. Bingung
"Apa? Jadi jika aku memilih bercerai, rumah itu masuk dalam harta Gono gini?" Aku terkejut mendengar penuturan seorang ahli hukum yang kutemui hari ini."Ya, Bu. Karena rumah itu berdiri di atas tanah mertua, dan karena dana pribadi yang ibu keluarkan juga tidak sedikit untuk membangun rumah itu, maka ibu pun punya hak atas rumah itu," jelasnya lagi.Aku terdiam."Tapi Aku maunya rumah itu menjadi milikku sepenuhnya."Sejenak Pak Andre terdiam."Kalau itu agak sulit, apalagi pada serifikatnya masih atas nama suami Ibu, ya. Apa ada sebuah perjanjian hitam di atas putih, sebelum mendirikan rumah itu, yang menegaskan bahwa kalau terjadi apa-apa dalam pernikahan maka status kepemilikan rumah jatuh pada salah satu pihak, begitu?"Aku menggeleng. Siapa yang menyangka pernikahan ini hanya akan bertahan seumur jagung, saat mendirikan rumah itu, tentu saja dengan harapan bisa bersama-sama hingga menua bersama, menghabiskan waktu berdua di rumah itu. Mana mungkin aku terpikirkan untuk membuat
Baca selengkapnya
Bab 19. Pura-pura
Untuk makan malam ini, aku sengaja masak makanan kesukaan Mas Iqbal, kali ini harus bersikap manis padanya karena aku ingin tahu dimana dia menyimpan sertifikat rumah ini.Gulai ayam, udang goreng tepung juga tumis buncis, tak lupa sambal terasi kesukaan Mas Iqbal. Selesai masak, aku menghidangkannya di meja makan."Tumben, masak. Ada angin apa? Mau cari perhatian Mas Iqbal pasti, udah mulai kesepian, jadi sekarang cari perhatian Mas Iqbal?!" tukas Amanda tiba-tiba sudah memasuki dapur."Bukan urusanmu! Aku masih sah istrinya Mas Iqbal, jadi ya terserah aku, mau caper, mau enggak! Sah-sah saja, asal nggak caper sama suami orang!"Amanda, tersenyum sinis."Gayanya aja sok kuat, sok tegar, padahal hatinya masih mau juga kan, di sentuh sana Mas Iqbal! Asal kamu tahu ya, Mas Iqbal nggak bakalan mau sentuh kamu lagi, dia itu cinta mati sama aku, aku lah cinta pertamanya, sejak SMA dulu. Kamu hanya orang baru yang kebetulan langsung dinikahi olehnya. Tapi soal hati, aku tetap yang pertama b
Baca selengkapnya
Bab 20. Obat tidur
"Aku masih sah istrinya, sah-sah saja jika kami melakukan hubungan suami istri, dan itu halal, dapat pahala lagi. Beda sama kamu, rela di tiduri sama suami orang, sampai hamil, baru kemudian di nikahi, di sini yang gatal siapa? Hem?"Skak Mat!Amanda tak dapat menampik kata-kataku lagi."Wah enak nih! Makan malam kita spesial," ucap Mas Iqbal menghampiri kami di meja makan."Gini doang aku juga bisa," sungut Amanda. Terlihat tak senang Mas Iqbal memujiku."Kalau gitu besok gantian Amanda yang masak ya.""Oke. Siapa takut!" tantangnya.Bisa? Bisa beli maksudnya? Setiap hari aku jarang melihatnya masak, kalau nggak dibantu sama ibu, ya pasti dia beli masakan mateng.Kami makan bersama. Ini adalah kali pertama kami makan satu meja seperti ini. Ada yang terasa nyeri di dalam sini. Biasanya dulu kami makan berdua sambil berbincang tentang banyak hal, sambil bermesraan, kini ada orang ketiga diantara kami.*"Tyas! Sini!" panggil Mas Iqbal menepuk sisi ranjang sebelahnya. Aku pun menurut, m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status