"Papa akan buat perhitungan dengannya!" ucapnya kemudian.Aku menggeleng cepat."Enggak Pa. Tyas akan selesaikan sendiri masalah ini." Papa menatapku penuh arti."Kamu masih mencintai laki-laki itu?" tanya Ayah dengan tatapan tak suka."Bukan itu Pa. Tyas–""Lalu apa? Cuma orang bo doh yang masih mau bertahan dengan seorang pengkhianat!" ucapnya tegas."Tyas paham itu Pa. Tyas hanya ingin kasih dia pelajaran. Tyas nggak rela mereka bahagia setelah mencampakkan Tyas. Kalau Tyas langsung meminta cerai, mereka akan merasa menang," jelasku.Papa hanya membuang muka mendengar penjelasanku."Pa, Tyas paham, Papa nggak rela. Tapi Tyas yakin, Tyas kuat menjalani ini Pa. Papa percaya 'kan sama Tyas?"Papa menolehku sebentar lalu kembali membuang pandangan ke arah lain."Orang tua mana yang rela melihat anaknya di madu, bahkan tinggal satu atap dengan madunya.""Papa." Aku meraih jemari tangannya. Menggenggamnya erat-erat."Pa ... Maafin Tyas Pa. Ini semua memang salah Tyas, salah Tyas dulu ng
Cepat-cepat aku keluar kamar, dan masuk ke kamar tamu. Mengunci pintunya. Di balik pintu aku menangis tergugu.Andaikan hubungan kita masih baik-baik saja Mas, tentu aku akan menyambut hangat ajakanmu itu. Maafkan aku Tuhan, jika aku menjadi istri yang berdosa, tapi rasa sakit hatiku seakan menutupi akal sehatku. Aku luruh hingga terduduk sendiri di lantai, rasanya hati ini seperti di remas kuat. Sakit sekali. Adzan Maghrib dari masjid yang tak jauh dari rumah terdengar. Aku bangkit untuk mengambil wudhu dan menunaikan ibadah tiga raka'atku. Di atas sajadah yang terbentang. Aku menengadahkan tangan, memohon ampun pada sang pemilik hidup.Kepada-Nya aku langitkan doa, meminta kekuatan, agar aku kuat menghadapi ujian ini. Jika ini adalah bentuk kasih sayangMU padaku, maka genggamlah aku agar aku kuat. Jika ini bentuk teguran dariMu akan kesalahan dan dosa-dosaku yang lalu, maka aku mohon untuk lapangkan hati ini menerima semua suratan takdir yang telah kau berikan.Selesai bermunajat
"Sayang, Mas buru-buru sudah telat ini. Daaahhh!" seru Mas Iqbal pada Amanda, dari dalam mobil, kemudian segera berlalu meninggalkan halaman rumah ini. Aku tertawa melihat ekspresi Amanda cemberut. "Kamu interview di kantor mana?" tanya Mas Iqbal. "Turunin aku di depan kantor agensinya Amel aja Mas." "Kamu mau ngelamar jadi model? Nggak salah? Mana ada model penampilannya seperti kamu gini, memakai hijab," cibirnya. "Bukan. Aku bukan ngelamar sebagai model. Aku hanya ada perlu sebentar sama Amel, nanti biar dari sana aku sendiri ke kantor tempatku interview." "Kenapa sih harus sedekat itu sama Amel?" Mas Iqbal bertanya dengan raut tak suka. "Memangnya kenapa? Kamu 'kan tahu sejak dulu aku sama Amel memang teman dekat. Atau jangan-jangan kamu takut? Takut video kamu ketahuan selingkuh di hotel itu tersebar?" tebakku. "Aku bukan selingkuh, Tyas! Aku menginap menginap di hotel itu dengan istriku," ketusnya tak terima. "Iya, bermalam dengan istri siri, sampai mengabaikan aku istr
"Aku nggak nyangka kamu setega ini sama aku, Manda. Kurang apa aku sama kamu?!" tukas laki-laki itu.Aku yang tadinya hendak beranjak, kembali duduk dan memilih untuk mendengarkan percakapan mereka, menggali informasi siapa sebenarnya laki-laki itu.Laki-laki itu terbilang cukup tampan, dengan perawakan tinggi, kulitnya putih."Kurangnya kamu apa? Banyak! Kamu itu nggak bisa kasih aku uang Mas! Sedangkan hidup ini butuh uang!" ucap Amanda."Baik, kalau memang itu sudah keputusanmu, aku terima, walau sebenarnya hatiku sakit sekali.""Mau sakit hati, mau enggak, sudah bukan urusanku Mas! Aku sekarang sudah menjadi istri seorang Iqbal Bramasta. Aku tak 'kan kekurangan suatu apapun," ucap Amanda dengan sombongnya."Kamu benar-benar sudah berubah, Manda, tiga tahun kita menjalani hubungan ini, kamu berpaling hanya demi harta dan pesona mantanmu itu!""Kalau iya memang kenapa? Menyesal aku meninggalkan dia dulu, kalau saja dulu aku masih sama-sama dia, mungkin aku sudah jadi kaya raya, dan
"Tyas! Kamu masak segini banyaknya, buat apa? Ya Allah ini anak, sudah dibilangin jangan boros, masih juga nggak ngerti!" Suara ibu dari arah dapur terdengar melengking.Ibu pasti mengira makanan di meja makan itu aku yang memasaknya. Aku langsung keluar kamar menghampiri ibu."Ada apa Bu?""Ini kamu apa-apaan, masak segini banyak, mana makanannya enak-enak, daging saja sudah mahal! Sudah di kasih tau masih juga nggak ngerti! Dasar boros!"Aku hanya duduk dengan santai di meja makan sambil memakan peyek udang yang ada di atas meja."Tyas! Kamu denger nggak sih, ibu ngomong! Nggak sopan kamu ya!" sungut ibu."Ibu, sudah selesai ngomongnya?""Kamu itu–""Itu semua Amanda Bu, yang beli." Tiba-tiba Mas Iqbal muncul dan menjawab pertanyaan ibu."Apa? Beli?! Sebanyak ini? Astaga! Memasak sendiri saja pasti sudah habis banyak, ini lagi beli di luar, ya Ampun! Lama-lama ibumu ini mati berdiri ngadepin mantu-mantu ibu!" Ibu semakin geram."Makanya jangan asal nuduh aku begitu dong Bu! Sudah ta
"Tyas!"Tiba-tiba saja ibu mengetuk pintu kamarku. Aku membukanya."Kok malah di kamar? Sana kamu bantuin siapin makanan dan minuman untuk para tetangga yang datang. Lagi ada acara gini kok malah mendekam saja di kamar!" sungut Ibu dengan ekspresi kesal."Kenapa ibu nggak suruh Amanda saja, menantu kesayangan Ibu!""Eh, eh, kamu ini berani ngelawan ibu!" Ibu menatapku tak suka."Aku capek Bu.""Amanda itu kan lagi hamil, masak iya dia yang harus ngerjain semuanya? Kamu itu harusnya tahu diri, kamu di sini itu numpang, jadi ya wajar kamu harus banyak bantu-bantu!"Apa dia bilang aku numpang? Padahal bangun rumah ini aku keluar dana yang tidak sedikit. Tapi dia seolah tutup mata mentang-mentang rumah ini di bangun di atas tanah miliknya."Aku juga istrinya Mas Iqbal Bu, ibu nggak seharusnya bilang aku di sini numpang.""Iya kamu memang istri Iqbal, tapi istri yang nggak becus! Nggak bisa kasih keturunan buat apa? Kamu masih dipertahankan sama Iqbal itu hanya karena dia kasihan sama kamu
"Apa? Jadi jika aku memilih bercerai, rumah itu masuk dalam harta Gono gini?" Aku terkejut mendengar penuturan seorang ahli hukum yang kutemui hari ini."Ya, Bu. Karena rumah itu berdiri di atas tanah mertua, dan karena dana pribadi yang ibu keluarkan juga tidak sedikit untuk membangun rumah itu, maka ibu pun punya hak atas rumah itu," jelasnya lagi.Aku terdiam."Tapi Aku maunya rumah itu menjadi milikku sepenuhnya."Sejenak Pak Andre terdiam."Kalau itu agak sulit, apalagi pada serifikatnya masih atas nama suami Ibu, ya. Apa ada sebuah perjanjian hitam di atas putih, sebelum mendirikan rumah itu, yang menegaskan bahwa kalau terjadi apa-apa dalam pernikahan maka status kepemilikan rumah jatuh pada salah satu pihak, begitu?"Aku menggeleng. Siapa yang menyangka pernikahan ini hanya akan bertahan seumur jagung, saat mendirikan rumah itu, tentu saja dengan harapan bisa bersama-sama hingga menua bersama, menghabiskan waktu berdua di rumah itu. Mana mungkin aku terpikirkan untuk membuat
Untuk makan malam ini, aku sengaja masak makanan kesukaan Mas Iqbal, kali ini harus bersikap manis padanya karena aku ingin tahu dimana dia menyimpan sertifikat rumah ini.Gulai ayam, udang goreng tepung juga tumis buncis, tak lupa sambal terasi kesukaan Mas Iqbal. Selesai masak, aku menghidangkannya di meja makan."Tumben, masak. Ada angin apa? Mau cari perhatian Mas Iqbal pasti, udah mulai kesepian, jadi sekarang cari perhatian Mas Iqbal?!" tukas Amanda tiba-tiba sudah memasuki dapur."Bukan urusanmu! Aku masih sah istrinya Mas Iqbal, jadi ya terserah aku, mau caper, mau enggak! Sah-sah saja, asal nggak caper sama suami orang!"Amanda, tersenyum sinis."Gayanya aja sok kuat, sok tegar, padahal hatinya masih mau juga kan, di sentuh sana Mas Iqbal! Asal kamu tahu ya, Mas Iqbal nggak bakalan mau sentuh kamu lagi, dia itu cinta mati sama aku, aku lah cinta pertamanya, sejak SMA dulu. Kamu hanya orang baru yang kebetulan langsung dinikahi olehnya. Tapi soal hati, aku tetap yang pertama b
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang