"Apa? Jadi jika aku memilih bercerai, rumah itu masuk dalam harta Gono gini?" Aku terkejut mendengar penuturan seorang ahli hukum yang kutemui hari ini."Ya, Bu. Karena rumah itu berdiri di atas tanah mertua, dan karena dana pribadi yang ibu keluarkan juga tidak sedikit untuk membangun rumah itu, maka ibu pun punya hak atas rumah itu," jelasnya lagi.Aku terdiam."Tapi Aku maunya rumah itu menjadi milikku sepenuhnya."Sejenak Pak Andre terdiam."Kalau itu agak sulit, apalagi pada serifikatnya masih atas nama suami Ibu, ya. Apa ada sebuah perjanjian hitam di atas putih, sebelum mendirikan rumah itu, yang menegaskan bahwa kalau terjadi apa-apa dalam pernikahan maka status kepemilikan rumah jatuh pada salah satu pihak, begitu?"Aku menggeleng. Siapa yang menyangka pernikahan ini hanya akan bertahan seumur jagung, saat mendirikan rumah itu, tentu saja dengan harapan bisa bersama-sama hingga menua bersama, menghabiskan waktu berdua di rumah itu. Mana mungkin aku terpikirkan untuk membuat
Untuk makan malam ini, aku sengaja masak makanan kesukaan Mas Iqbal, kali ini harus bersikap manis padanya karena aku ingin tahu dimana dia menyimpan sertifikat rumah ini.Gulai ayam, udang goreng tepung juga tumis buncis, tak lupa sambal terasi kesukaan Mas Iqbal. Selesai masak, aku menghidangkannya di meja makan."Tumben, masak. Ada angin apa? Mau cari perhatian Mas Iqbal pasti, udah mulai kesepian, jadi sekarang cari perhatian Mas Iqbal?!" tukas Amanda tiba-tiba sudah memasuki dapur."Bukan urusanmu! Aku masih sah istrinya Mas Iqbal, jadi ya terserah aku, mau caper, mau enggak! Sah-sah saja, asal nggak caper sama suami orang!"Amanda, tersenyum sinis."Gayanya aja sok kuat, sok tegar, padahal hatinya masih mau juga kan, di sentuh sana Mas Iqbal! Asal kamu tahu ya, Mas Iqbal nggak bakalan mau sentuh kamu lagi, dia itu cinta mati sama aku, aku lah cinta pertamanya, sejak SMA dulu. Kamu hanya orang baru yang kebetulan langsung dinikahi olehnya. Tapi soal hati, aku tetap yang pertama b
"Aku masih sah istrinya, sah-sah saja jika kami melakukan hubungan suami istri, dan itu halal, dapat pahala lagi. Beda sama kamu, rela di tiduri sama suami orang, sampai hamil, baru kemudian di nikahi, di sini yang gatal siapa? Hem?"Skak Mat!Amanda tak dapat menampik kata-kataku lagi."Wah enak nih! Makan malam kita spesial," ucap Mas Iqbal menghampiri kami di meja makan."Gini doang aku juga bisa," sungut Amanda. Terlihat tak senang Mas Iqbal memujiku."Kalau gitu besok gantian Amanda yang masak ya.""Oke. Siapa takut!" tantangnya.Bisa? Bisa beli maksudnya? Setiap hari aku jarang melihatnya masak, kalau nggak dibantu sama ibu, ya pasti dia beli masakan mateng.Kami makan bersama. Ini adalah kali pertama kami makan satu meja seperti ini. Ada yang terasa nyeri di dalam sini. Biasanya dulu kami makan berdua sambil berbincang tentang banyak hal, sambil bermesraan, kini ada orang ketiga diantara kami.*"Tyas! Sini!" panggil Mas Iqbal menepuk sisi ranjang sebelahnya. Aku pun menurut, m
"Yas, Tyas! Kamu lagi sibuk nggak? Ada yang ingin aku katakan sama kamu."Pagi-pagi sekali Sarah datang tergopoh-gopoh ke rumahku. "Ada apaan sih, kok kayaknya penting banget gitu," tanyaku heran melihat sikap Sarah pagi ini. Dia justru sibuk menoleh sekeliling. Sesekali matanya melirik ke dalam."Ada apaan sih! Kok celingukan gitu." Sikapnya membuatku penasaran."Sini, aku bisikin."Sarah mendekatkan wajahnya ke dekat telingaku, membisikkan sesuatu yang membuatku kaget bukan main. Sungguh ini sulit di percaya, jantungku seolah lompat dari tempatnya mendengar berita yang Sarah katakan."Ah yang bener kamu! Kamu salah lihat kali!" sergahku, masih tak percaya dengan apa yang kudengar barusan."Suerr! Aku nggak salah lihat, orang aku salaman langsung sama dia kok, dia juga kaget pas lihat aku datang," jelas Sarah."Aku benar-benar nggak nyangka, kalau ternyata ...."Ah sudahlah, mungkin ini yang disebut Karma di bayar kontan."Eh ada Sarah, pagi-pagi udah ngerumpi di sini." Tiba-tiba Ib
"Ini pasti salah, Hasna! Ini pasti salah! Kamu dapat dari mana foto itu? Hah! Bisa saja ini tuh editan, kan.""Ini dari teman Hasna yang kebetulan lagi pulang kampung Bu, dia berasal luar kota." Hasna menjawab dengan ekspresi gusar."Coba kamu telpon Bapakmu sekarang, Hasna."Hasna dengan cepat menghubungi nomor Bapak."Nggak aktif, Bu." Hasna kembali mencoba menghubungi hingga beberapa kali. Namun ia menggeleng, karena tidak aktif."Astaga, Bapak, kamu benar-benar keterlaluan! Kalau benar kamu sampai k4win lagi, aku nggak akan memaafkan kamu, Pak!" Ibu berucap dengan suara bergetar.Ingin sekali aku tertawa melihat ini, tapi aku masih punya perasaan. Hati ibu pasti hancur saat ini.Bagaimana Bu, perasaan kamu, melihat suamimu menikah lagi?Sakit kan? Itu pula yang aku rasakan ketika anakmu diam-diam selingkuh dan menikah lagi dengan perempuan lain. Sayangnya kamu menanggapi itu sebagai suatu hal yang wajar, memaklumi perbuatannya dan bahkan membela anakmu, meski jelas posisinya salah
"Untuk apa Bapak Pulang?! Apa tidak malu, dengan kelakuan Bapak? Hah?" Belum apa-apa Mas Iqbal sudah mencak-mencak begitu Bapak, menginjakkan kaki di teras rumah ini."Apa sih maksudmu?"Bapak santai saja menanggapi Mas Iqbal yang sudah seperti orang kesurupan. Wajahnya merah padam, aku yakin kini emosinya sudah memuncak hingga ke ubun-ubun."Astaga, Bapak, masih nggak merasa? Tega Bapak menyakiti Ibu? Ini juga menyakiti aku dan Hasna Pak!"Bapak masih terlihat tenang kemudian duduk di ruang tengah, menarik napas dalam-dalam, sepertinya beliau tengah kelelahan.Aku sendiri juga bingung melihat sikap Bapak, kenapa bisa sesantai ini, padahal istri dan anaknya sudah seperti cacing kepanasan mendengar berita dia menikahi lagi.Apa jangan-jangan Bapak tidak tahu, kalau keluarganya sudah mengetahui ini semua? Apa jangan-jangan, Bapak tadi tidak bertemu ibu di sana, karena ibu pergi baru setengah jam yang lalu, sedangkan ke kota dimana rumah istri muda Bapak itu memerlukan waktu sekitar dua
"Ayo dong Mas, isiin kuotanya, aku lagi nanggung nih, lagi nonton drama Korea kesukaan aku.""Arrghhh, ya sudah sebentar Mas isiin." Mas Iqbal mengacak rambutnya, gusar. Lalu kemudian membuka ponselnya mengetikkan sesuatu di sana, lalu tak berapa kemudian, Amanda tersenyum manis, dan mengecup pipi Mas Iqbal."Makasih Mas Iqbal Sayang!" ucapnya sambil berlalu masuk lagi ke kamar.Kembali Mas Iqbal mengacak rambutnya kasar, dan berlalu ke dapur. Lagi-lagi aku hanya tersenyum geli melihatnya."Tyaasss!" teriak Mas Iqbal dari arah dapur. Membuatku berdecak kesal. Kututup gawaiku lalu ke dapur menemuinya."Ada apalagi sih Mas! Berisik tau, teriak-teriak!" "Ini apa-apaan? Kopi nggak ada, gula nggak ada, kulkas juga kosong melompong begini, apa tidak ada makanan atau minuman yang bisa di makan? Hah?! Ngapain aja sih kerjaan kamu seharian ini? Hah?" Mas Iqbal marah melihat kondisi di dapur.Kemarin memang aku yang masak, semua bahan aku belanja sendiri di tukang sayur, untuk sekali masak. Al
"Yas, kamu nggak ke rumah Bu Wina?" tanya Sarah sore ini yang kebetulan lewat depan rumah."Memang ada apa?" tanyaku bingung."Itu lho, mertuamu, ngamuk-ngamuk, semua tetangga juga lagi nonton tuh depan rumah mertuamu."Aku terkesiap. Siapa yang mengamuk? Ibu?"Maksudmu, ibu mertuaku mengamuk?" tanyaku memastikan."Ya iyalah! Siapa lagi! Siapa sih yang nggak ngamuk kalau suami ketahuan nikah lagi, ya kan! Udah mending kamu langsung ke sana saja," titah Sarah.Aku mengangguk dan cepat-cepat memakai sandal. Karena penasaran, dengan setengah berlari aku menuju rumah ibu.Aku tercengang begitu langkah kakiku memasuki pelataran rumah ibu. Beberapa tetangga terlihat berkerumun sambil saling berbisik, menonton ibu yang sedang meraung di teras rumah. Beberapa barang-barang berserakan di halaman rumah, ada vas bunga, ada piring, dan segala macamnya.Sungguh rumah ibu seperti tontonan gratis dan jadi bahan ghibah bagi mereka yang senang menggoreng aib seseorang.Aku merangsek membelah kerumunan