"Untuk apa Bapak Pulang?! Apa tidak malu, dengan kelakuan Bapak? Hah?" Belum apa-apa Mas Iqbal sudah mencak-mencak begitu Bapak, menginjakkan kaki di teras rumah ini."Apa sih maksudmu?"Bapak santai saja menanggapi Mas Iqbal yang sudah seperti orang kesurupan. Wajahnya merah padam, aku yakin kini emosinya sudah memuncak hingga ke ubun-ubun."Astaga, Bapak, masih nggak merasa? Tega Bapak menyakiti Ibu? Ini juga menyakiti aku dan Hasna Pak!"Bapak masih terlihat tenang kemudian duduk di ruang tengah, menarik napas dalam-dalam, sepertinya beliau tengah kelelahan.Aku sendiri juga bingung melihat sikap Bapak, kenapa bisa sesantai ini, padahal istri dan anaknya sudah seperti cacing kepanasan mendengar berita dia menikahi lagi.Apa jangan-jangan Bapak tidak tahu, kalau keluarganya sudah mengetahui ini semua? Apa jangan-jangan, Bapak tadi tidak bertemu ibu di sana, karena ibu pergi baru setengah jam yang lalu, sedangkan ke kota dimana rumah istri muda Bapak itu memerlukan waktu sekitar dua
"Ayo dong Mas, isiin kuotanya, aku lagi nanggung nih, lagi nonton drama Korea kesukaan aku.""Arrghhh, ya sudah sebentar Mas isiin." Mas Iqbal mengacak rambutnya, gusar. Lalu kemudian membuka ponselnya mengetikkan sesuatu di sana, lalu tak berapa kemudian, Amanda tersenyum manis, dan mengecup pipi Mas Iqbal."Makasih Mas Iqbal Sayang!" ucapnya sambil berlalu masuk lagi ke kamar.Kembali Mas Iqbal mengacak rambutnya kasar, dan berlalu ke dapur. Lagi-lagi aku hanya tersenyum geli melihatnya."Tyaasss!" teriak Mas Iqbal dari arah dapur. Membuatku berdecak kesal. Kututup gawaiku lalu ke dapur menemuinya."Ada apalagi sih Mas! Berisik tau, teriak-teriak!" "Ini apa-apaan? Kopi nggak ada, gula nggak ada, kulkas juga kosong melompong begini, apa tidak ada makanan atau minuman yang bisa di makan? Hah?! Ngapain aja sih kerjaan kamu seharian ini? Hah?" Mas Iqbal marah melihat kondisi di dapur.Kemarin memang aku yang masak, semua bahan aku belanja sendiri di tukang sayur, untuk sekali masak. Al
"Yas, kamu nggak ke rumah Bu Wina?" tanya Sarah sore ini yang kebetulan lewat depan rumah."Memang ada apa?" tanyaku bingung."Itu lho, mertuamu, ngamuk-ngamuk, semua tetangga juga lagi nonton tuh depan rumah mertuamu."Aku terkesiap. Siapa yang mengamuk? Ibu?"Maksudmu, ibu mertuaku mengamuk?" tanyaku memastikan."Ya iyalah! Siapa lagi! Siapa sih yang nggak ngamuk kalau suami ketahuan nikah lagi, ya kan! Udah mending kamu langsung ke sana saja," titah Sarah.Aku mengangguk dan cepat-cepat memakai sandal. Karena penasaran, dengan setengah berlari aku menuju rumah ibu.Aku tercengang begitu langkah kakiku memasuki pelataran rumah ibu. Beberapa tetangga terlihat berkerumun sambil saling berbisik, menonton ibu yang sedang meraung di teras rumah. Beberapa barang-barang berserakan di halaman rumah, ada vas bunga, ada piring, dan segala macamnya.Sungguh rumah ibu seperti tontonan gratis dan jadi bahan ghibah bagi mereka yang senang menggoreng aib seseorang.Aku merangsek membelah kerumunan
"Tuh dengerin Iqbal, Amanda sudah sosok yang sangat sempurna. Jadi buat apa kamu pertahanin Tyas? Sudahlah lebih baik kamu ceraikan saja dia!" Ringan saja ibu berkata demikian. Memang dasarnya beliau tak bisa mengambil pelajaran atas apa yang menimpanya. Padahal sudah di uji dengan Bapak nikah lagi, tapi tetap saja maunya ikut campur urusan rumah tangga anaknya."Aku siap di ceraikan! Asal ...."Aku keluar kamar dan langsung ke ruang tamu menemui mereka semua, langsung kujawab perkataan ibu."Asal apa?" tanya Ibu, seketika Amanda dan Mas Iqbal pun menoleh ke arahku."Asal rumah ini menjadi hakku."Ibu justru tertawa terbahak-bahak mendengar syarat yang kuucapkan."Mimpi kamu Tyas! Ternyata dugaan ibu benar beberapa hari lalu kamu meminta sertifikat rumah ini karena ada maksud ke arah ini kan! Untung aku lebih dulu mengamankan surat itu.""Apa? Jadi?" tanya Mas Iqbal menatapku dan Ibu bergantian."Iya, Tyas pengin menguasai rumah ini.""Aku ingin menguasai rumah ini karena jelas, aku
"Kau terlalu angkuh, Tyas! Sejak awal kau hanya pura-pura kuat, tapi lihat sekarang, kau tersingkir!" Amanda tertawa kecil.Aku melanjutkan memasukkan baju-baju milikku, juga beberapa barang pribadiku lainnya. Memilih mengabaikan suara-suara mereka yang merasa menang hari ini.Aku menarik dua koper keluar kamar, di ruang tamu masih ada ibu dan Mas Iqbal."Aku sendiri yang akan mengurus perceraian kita Mas!" kataku, sambil menatap laki-laki yang dulu pernah merajai hati, membawaku terbang tinggi ke awan, tapi hari ini ia menjatuhkan diri ini hingga ke dasar jurang. Sakit."Oh, baguslah! Begitu lebih baik, jadi Iqbal tak perlu keluar uang untuk biaya sidang perceraian kalian." Ibu yang menyahut."Ya, tapi ingat aku akan tetap memperhitungkan rumah ini. Karena bagaimanapun aku punya hak atas rumah ini." Kembali aku membahas tentang rumah ini."Heh, Tyas! Bangun! Mau sampai kapan kamu bermimpi! Kamu itu sudah bukan siapa-siapa lagi di sini, kamu dulu di bawa kemari oleh Iqbal tak membawa
"Akan kubongkar saja rumah itu, hingga rata dengan tanah."Papa ternganga mendengar penuturanku."Apa? Kamu yakin?" tanya Papa dengan ekspresi keterkejutannya."Ya, aku yakin Pa! Toh mendirikan rumah itu hampir 90% dari uangku.""Ya sudah, itu terserah kamu, tapi janji, setelah itu, sudah! Jangan ada hubungan apapun lagi dengan mereka."Aku mengangguk. Setelah itu, aku akan fokus di kantor. Mas Iqbal, siap-siap, kamu akan jantungan melihat aku dia kantor nanti.*Esok harinya aku langsung menghubungi pihak penyewaan excavator, alat berat untuk meruntuhkan rumah itu.Dikata sayang, ya jelas sayang, rumah besar dengan bangunan kokoh dan kuat harus dirobohkan. Tapi jika hati sudah sakit, maka apapun bisa terjadi, dan tak bisa terelakkan lagi. Dengan begitu, Mas Iqbal dan perempuan itu akan tinggal di rumah ibu.Bu Wina, lihatlah, tanah tempat rumah itu berdiri, tanah yang selalu kau ucap berulang-ulang kali dengan begitu bangga akan kukembalikan. "Rumah ini berdiri di atas tanahku!"Ak
Pov Iqbal."Aku sudah ambil keputusan, aku akan robohkan rumah itu, rata dengan tanah. Anggaplah aku kembalikan tanah milik ibu seperti sediakala."Jantungku seakan melompat dari tempatnya begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Tyas.Bagaimana mungkin dia bisa berpikir sampai ke arah itu. Ini benar-benar gil4!Aku paham dia sakit hati dengan apa yang sudah aku lakukan padanya, tapi apa iya harus dengan membongkar rumah itu?Sebisa mungkin aku mencoba meredam keinginannya itu, tapi sia-sia. Tyas tipe perempuan yang keras kepala, segala keinginan atau sesuatu yang sudah menjadi keputusan dirinya, maka itu tak bisa di ganggu gugat.Ia melenggang begitu saja meninggalkan aku yang masih terperangah menatapnya.Ia melangkah anggun, baju yang dikenakannya juga sangat terlihat berkelas. Wajahnya pun sangat berseri, putih bersih, dari mana sebenarnya dia mendapatkan uang untuk melakukan perawatan. Ia benar-benar sangat terlihat berbeda, padahal baru sehari ia keluar dari rumah. Ck! A
"Apa?! Astaga, benar-benar keterlaluan, si Tyas!"Netra Ibu langsung terbelalak begitu aku memberitahu Kalau rumah ibu mau dirubuhkan."Kamu lawan dia dong, Bal! Ancam balik dia! Bisa-bisanya kamu diem aja rumah mau diruntuhkan!" Katanya lagi."Tapi Tyas benar Bu, membangun rumah ini memang sebagian besar uangnya dia.""Iya, tapi apa dengan cara merobohkan rumah ini? Nggak ada cara lain?!" "Ibu tahu kan bagaimana sikap kerasnya Tyas? Dia itu nekat Bu, dia akan melakukan apapun jika ada yang berani menghalangi."Aku hanya bisa pasrah. Tapi ibu lagi-lagi tak bisa terima."Kamu itu laki-laki Iqbal! Harus tegas dong! Bisa-bisanya kamu ini hanya pasrah!"Ibu terus saja mengomel meski aku sudah berkali-kali menjelaskan."Aduh nanti kita mau tinggal dimana Mas, kalau rumah ini dirubuhkan? Masak sih kita harus ngontrak, nggak mau ah!" Amanda juga tak kalah paniknya."Enggak, nanti biar ibu yang ngomong sama perempuan itu! Gil4, enak aja main rubuhkan aja, memangnya rumah suwung!" timpal ibu.
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang