Dengan langkah mantap, Keira berjalan menuju ruang rapat. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang dan profesional. Ia telah mempersiapkan diri untuk momen ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan masih menggerogoti hatinya.Saat Keira membuka pintu ruang rapat, matanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela. Albara Mahendrata. Pria yang pernah mengisi relung hatinya, ayah dari anak-anaknya, orang yang selama beberapa tahun ini berusaha ia lupakan.Bara berbalik begitu mendengar suara pintu terbuka. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Berbagai emosi berkecamuk di mata Bara - kekaguman, penyesalan, dan sesuatu yang tak bisa Keira definisikan. Keira merasakan dadanya sesak, namun ia berhasil menguasai diri."Selamat siang, Pak Bara," Keira memecah keheningan, suaranya mantap tanpa gemetar. "Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini."Bara seolah tersadar dari lamunannya. "
Read more