Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Keira membuka matanya. Sepanjang malam, ia hanya bisa memejamkan mata untuk beberapa saat sebelum kembali terjaga. Pikirannya berkecamuk dengan keputusan berat yang harus ia ambil. Suara-suara ancaman Vera, kemarahan Tasya, obsesi Kevin, dan kecemburuan Bara terus bergema di telinganya, bercampur dengan tangisan Sabiru dan Aurora yang seolah memanggil namanya.Dengan hati-hati, Keira bangkit dari tempat tidurnya. Kakinya terasa berat saat ia msabirukah menuju jendela, menyibakkan tirai untuk melihat langit yang perlahan berubah warna. Cahaya keemasan mulai menyusup di antara awan-awan, seolah menjadi pertanda bahwa hari baru telah tiba - hari yang akan mengubah hidupnya selamanya.Keira menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak saat ia menyandarkan keningnya pada kaca jendela yang dingin.Ia tahu bahwa keputusan yang akan ia ambil bukanlah keputusan yang mudah. Meninggalkan anak-anaknya, melepaskan kehidupan yang telah ia bangun, dan m
Angin musim gugur bertiup lembut, menerbangkan daun-daun keemasan yang berguguran di sepanjang jalan setapak kampus. Keira berjalan perlahan, matanya terpaku pada buku di tangannya, sementara pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Sudah hampir enam bulan sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan melanjutkan studinya di Amerika. Enam bulan yang terasa seperti selamanya.Setiap malam, bayangan wajah Sabiru dan Aurora menghantui mimpinya. Ia bisa merasakan tangan mungil mereka, mendengar tangisan mereka yang memanggilnya. Dan setiap pagi, ia terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di dadanya - bukan hanya karena rasa bersalah, tapi juga karena tubuhnya masih beradaptasi dengan tidak lagi menyusui.Akibat tak lagi menyusui, Keira memang harus menanggung sakit dan kesulitan karena asinya tak mau berhenti merembes. Keira juga merasakan kesakitan yang luar biasa pada dadanya yang membengkak dan nyeri akibat tak lagi menyusui anak-anaknya.Tak hanya secara fisik, tetapi secara m
Bulan-bulan berlalu, membawa perubahan musim dan transformasi tak kasat mata dalam hubungan Keira dan Arka. Musim gugur yang keemasan berganti menjadi musim dingin yang membekukan, namun kehangatan mulai tumbuh di antara mereka berdua. Layaknya es yang perlahan mencair, kecanggungan awal mereka luruh, digantikan oleh keakraban yang semakin hari semakin dalam.Senja itu, salju tipis mulai turun ketika Keira dan Arka msabirukah keluar dari perpustakaan kampus. Butiran-butiran putih lembut itu menari-nari di uaurora, menciptakan pemandangan yang magis. Keira menengadahkan kepalanya, membiarkan serpihan salju menaurorat lembut di wajahnya. Untuk sesaat, ia merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang tak memiliki beban."Indah ya?" suara Arka memecah keheningan. Keira menoleh, mendapati Arka sedang menatapnya dengan senyum lembut. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat jantung Keira berdesir."Iya, indah banget," jawab Keira, tak yakin apakah ia sedang membicarakan salju atau pemud
Enam tahun berlalu bagai hembusan angin musim semi yang lembut namun penuh transformasi. Keira, yang dulu datang ke Amerika dengan sejuta keraguan dan beban masa lalu, kini berdiri tegak di depan cermin kamarnya. Rambut hitamnya yang dulu panjang tergerai kini dipotong sebahu, membingkai wajahnya yang semakin matang. Ada kilau kepercayaan diri di matanya, hasil dari perjuangan dan pencapaian yang ia raih selama ini.Di usianya yang ke-26, Keira telah menyelesaikan program sarjana dan magister dengan prestasi gemilang. Dua gelar akademis disandangnya dengan bangga, menjadi bukti nyata bahwa keputusannya untuk meninggalkan Indonesia beberapa tahun lalu bukanlah sia-sia. Namun di balik kesuksesan itu, ada harga yang harus ia bayar - lima tahun jauh dari anak-anak yang ia cintai, dari pria yang pernah mengisi hatinya, dan dari tanah air yang selalu ia rindukan.Keira menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat tiket pesawat yang akan membawanya kembali ke Jakarta. Setelah satu tahu
Enam bulan telah berlalu sejak kepulangan Keira ke Indonesia, tanah air yang dulu ia tinggalkan dengan hati yang remuk redam. Dalam waktu yang relatif singkat itu, Keira telah berhasil mengubah wajah Xabiru Company, perusahaan warisan ayahnya, menjadi salah satu pemain utama di kancah bisnis nasional. Perjalanannya tidak mudah, penuh dengan tantangan dan hambatan, namun tekad baja Keira berhasil membawa perusahaan itu ke puncak kesuksesan yang bahkan tak pernah dibayangkan oleh almarhum ayahnya.Keira membuka matanya perlahan, kesaaurorannya mulai kembali seiring dengan cahaya pagi yang semakin terang. Tangannya meraba-raba mencari ponsel di nakas samping tempat tidur king size-nya yang dibalut seprai sutra putih. Layar ponsel menyala, menunjukkan pukul 05.30 pagi. Masih ada waktu satu jam sebelum ia harus bersiap-siap ke kantor. Namun, alih-alih bermalas-malasan di tempat tidur yang nyaman, Keira memilih untuk bangkit. Hari ini adalah hari yang penting, hari yang mungkin akan mengu
Dengan langkah mantap, Keira berjalan menuju ruang rapat. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang dan profesional. Ia telah mempersiapkan diri untuk momen ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan masih menggerogoti hatinya.Saat Keira membuka pintu ruang rapat, matanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela. Albara Mahendrata. Pria yang pernah mengisi relung hatinya, ayah dari anak-anaknya, orang yang selama beberapa tahun ini berusaha ia lupakan.Bara berbalik begitu mendengar suara pintu terbuka. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Berbagai emosi berkecamuk di mata Bara - kekaguman, penyesalan, dan sesuatu yang tak bisa Keira definisikan. Keira merasakan dadanya sesak, namun ia berhasil menguasai diri."Selamat siang, Pak Bara," Keira memecah keheningan, suaranya mantap tanpa gemetar. "Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini."Bara seolah tersadar dari lamunannya. "
Keira melangkah keluar dari gedung Mahendrata Group dengan pikiran berkecamuk. Pertemuannya dengan Bara telah membangkitkan emosi yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Namun, sebagai wanita yang telah belajar untuk mengendalikan diri, Keira berusaha menenangkan pikirannya.Ia berjalan menuju mobil yang telah menunggunya di parkiran. Sopirnya, Pak Joko, membukakan pintu untuknya."Bagaimana rapatnya, Bu?" tanya Pak Joko ramah.Keira tersenyum tipis. "Lancar, Pak. Kita bisa pulang sekarang."Selama perjalanan pulang, Keira memandang ke luar jendela, mengamati hiruk pikuk kota Jakarta yang tak pernah tidur. Enam tahun berlalu, namun kota ini masih sama seperti yang ia ingat - penuh dengan energi dan ambisi.Setibanya di apartemen, Keira langsung menuju ruang kerjanya. Ia menghempaskan diri di kursi, menatap kosong ke arah laptop yang menyala di hadapannya. Pikirannya melayang ke pertemuannya dengan Bara tadi."Kalau kamu mau menemui anak-anak, datang saja ke rumah."Kata-kata Bara terngi
“Apa? Ingin Mengambil hak asuh? Dari bayi mereka sudah tinggal di rumah bersama Om, Kei. Jadi, Om tidak bisa kalau tidak ada mereka di rumah saat berangkat dan pulang kerja. Bahkan saat hari libur, Om selalu merasa terhibur dengan menghabiskan waktu bersama mereka.”“Jadi Om mau menyalahkan saya karena saya meninggalkan mereka begitu?! Kalau bukan karena memikirkan masa depan dan juga karena kondisi mental saya yang digojlok habis-habisan waktu itu, saya juga tidak mau meninggalkan mereka yang masih bayi, Om!”“Om tidak ada maksud sedikitpun untuk menyalahkan kamu atau menyinggungmu yang pernah meninggalkan sabiru dan Aurora dulu. Om hanya tidak bisa membiarkan mereka tidak tinggal serumah lagi dengan Om karena dunia Om akan sepi tanpa mereka! Lagi pula belum tentu juga mereka nyaman tinggal di tempat baru yang asing untuk mereka.”“Egois! Om pikir karena siapa dulu saya terpaksa meninggalkan mereka?! Saya sampai nekat pergi karena sikap Om dan keluarga Om yang menyiksa mental saya wa