Dengan langkah mantap, Keira berjalan menuju ruang rapat. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang dan profesional. Ia telah mempersiapkan diri untuk momen ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan masih menggerogoti hatinya.Saat Keira membuka pintu ruang rapat, matanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela. Albara Mahendrata. Pria yang pernah mengisi relung hatinya, ayah dari anak-anaknya, orang yang selama beberapa tahun ini berusaha ia lupakan.Bara berbalik begitu mendengar suara pintu terbuka. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Berbagai emosi berkecamuk di mata Bara - kekaguman, penyesalan, dan sesuatu yang tak bisa Keira definisikan. Keira merasakan dadanya sesak, namun ia berhasil menguasai diri."Selamat siang, Pak Bara," Keira memecah keheningan, suaranya mantap tanpa gemetar. "Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini."Bara seolah tersadar dari lamunannya. "
Keira melangkah keluar dari gedung Mahendrata Group dengan pikiran berkecamuk. Pertemuannya dengan Bara telah membangkitkan emosi yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Namun, sebagai wanita yang telah belajar untuk mengendalikan diri, Keira berusaha menenangkan pikirannya.Ia berjalan menuju mobil yang telah menunggunya di parkiran. Sopirnya, Pak Joko, membukakan pintu untuknya."Bagaimana rapatnya, Bu?" tanya Pak Joko ramah.Keira tersenyum tipis. "Lancar, Pak. Kita bisa pulang sekarang."Selama perjalanan pulang, Keira memandang ke luar jendela, mengamati hiruk pikuk kota Jakarta yang tak pernah tidur. Enam tahun berlalu, namun kota ini masih sama seperti yang ia ingat - penuh dengan energi dan ambisi.Setibanya di apartemen, Keira langsung menuju ruang kerjanya. Ia menghempaskan diri di kursi, menatap kosong ke arah laptop yang menyala di hadapannya. Pikirannya melayang ke pertemuannya dengan Bara tadi."Kalau kamu mau menemui anak-anak, datang saja ke rumah."Kata-kata Bara terngi
“Apa? Ingin Mengambil hak asuh? Dari bayi mereka sudah tinggal di rumah bersama Om, Kei. Jadi, Om tidak bisa kalau tidak ada mereka di rumah saat berangkat dan pulang kerja. Bahkan saat hari libur, Om selalu merasa terhibur dengan menghabiskan waktu bersama mereka.”“Jadi Om mau menyalahkan saya karena saya meninggalkan mereka begitu?! Kalau bukan karena memikirkan masa depan dan juga karena kondisi mental saya yang digojlok habis-habisan waktu itu, saya juga tidak mau meninggalkan mereka yang masih bayi, Om!”“Om tidak ada maksud sedikitpun untuk menyalahkan kamu atau menyinggungmu yang pernah meninggalkan sabiru dan Aurora dulu. Om hanya tidak bisa membiarkan mereka tidak tinggal serumah lagi dengan Om karena dunia Om akan sepi tanpa mereka! Lagi pula belum tentu juga mereka nyaman tinggal di tempat baru yang asing untuk mereka.”“Egois! Om pikir karena siapa dulu saya terpaksa meninggalkan mereka?! Saya sampai nekat pergi karena sikap Om dan keluarga Om yang menyiksa mental saya wa
Matahari pagi baru saja mengintip dari balik awan ketika Keira berdiri di depan gerbang rumah mewah yang begitu familiar, tetapi juga terasa asing baginya. Dengan tangan gemetar, ia menekan bel interkom. Jantungnya berdegup kencang, seolah hendak melompat keluar dari dadanya.Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Begitu pintu gerbang terbuka perlahan, ia melangkah masuk, menyeret koper besarnya di belakangnya. Halaman rumah itu masih sama seperti yang ia ingat - rapi dan terawat, dengan bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan setapak menuju pintu utama.Bara sudah menunggu di ambang pintu, senyum canggung tersungging di wajahnya. "Selamat datang kembali, Kei" ucapnya lembut. "Biar Om bantu dengan kopermu."Keira mengangguk kaku, membiarkan Bara mengambil alih kopernya. Mereka berjalan dalam diam memasuki rumah. Suasana rumah itu terasa berbeda - ada kehangatan yang tak ia rasakan dulu, mungkin karena kehadiran anak-anak yang kini mengisi rumah ini dengan tawa d
Keira duduk di tepi tempat tidur paviliun, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan taman belakang rumah. Detak jantungnya berdentam keras, seiring dengan ketegangan yang ia rasakan. Hari ini adalah hari yang sangat penting, hari yang telah ia tunggu-tunggu selama enam tahun terakhir. Akhirnya, ia akan bertemu dengan anak-anaknya.Pintu paviliun diketuk perlahan. Suara Bara terdengar dari balik pintu, "Kei, sudah siap?"Keira menelan ludahnya. "Ya, Om. Sudah siap."Ia merapikan rambutnya sejenak, mencoba mengendalikan ketegangan yang merasuki setiap inci tubuhnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Keira berdiri dan berjalan ke arah pintu. Bara menunggu di luar, tersenyum tipis namun matanya penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan."Anak-anak sudah di ruang tengah," katanya lembut.Keira mengangguk dan mengikuti Bara berjalan menuju rumah utama. Ketika mereka melewati koridor yang dipenuhi foto-foto keluarga, Keira merasakan gelombang emosi yang tiba-tiba menyerangnya.
Sarapan pagi itu berlangsung dalam suasana yang terasa begitu canggung, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan Keira dari anak-anaknya. Keira duduk di seberang Bara, sementara Aurora dan Sabiru mengambil tempat di antara mereka, menciptakan jarak fisik yang seakan merefleksikan jarak emosional yang ada. Keira berusaha keras memecah keheningan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan, namun hanya dijawab dengan anggukan atau gelengan kepala singkat oleh si kembar. Matanya berkaca-kaca melihat anak-anaknya yang begitu dekat, tetapi terasa sangat jauh. Ia ingin memeluk mereka erat, menumpahkan segala kerinduan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. Namun Keira tahu ia harus bersabar. Kepercayaan dan kasih sayang tak bisa dipaksakan, apalagi setelah sekian lama absen dari kehidupan mereka.Bara, yang menyadari situasi canggung ini, berusaha menyelamatkan suasana dengan sesekali melontarkan pertanyaan ringan pada anak-anak. "Bagaimana sekolah kalian kemarin? Ada pe
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa, sudah hampir sebulan Keira tinggal di rumah Bara. Perlahan tapi pasti, hubungannya dengan Aurora dan Sabiru semakin erat. Seolah dinding es yang sempat mendinginkan hubungannya dengan anak kembarnya kian hari semakin mencair dan digantikan oleh kehangatan yang semakin tumbuh besar setiap harinya.Setiap pagi, Keira bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anaknya, sesuatu yang dulu hanya bisa ia impikan.Pagi itu, saat Keira sedang sibuk di dapur menyiapkan sandwich dan susu untuk si kembar, ia mendengar derap kaki kecil menuruni tangga. Aurora muncul di ambang pintu dapur, masih dengan piyama bergambar unicorn kesukaannya."Selamat pagi, Ma," sapa Aurora dengan senyum mengantuk.Keira merasakan kehangat
Sejak pertandingan sepak bola dan penampilan cheerleader Aurora dan Sabiru, Kehidupan Keira dan anak-anaknya tampak semakin harmonis. Tetapi di balik kebahagiaan itu, Vera yang merasa posisinya kian terancam dan kekesalannya pada Keira pun makin membara, mulai melancarkan serangan-serangan kecil tetapi nyelekit terhadap Keira dan si kembar.Pagi itu, ketika Keira tengah menyiapkan sarapan untuk Aurora dan Sabiru–yang sudah menjadi kebiasaan bagi Keira hampir setipa harinya sebelum ia berangkat bekerja–tiba-tiba Vera datang ke dapur dengan wajah masam. "Kenapa kamu selalu bangun lebih pagi? Apa kamu ingin menunjukkan bahwa kamu lebih baik dariku?" sindirnya.Keira yang dulu mungkin akan mengalah dan meminta maaf, kini berdiri tegak, menatap Vera dengan tatapan tegas. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu untuk anak-anaknya, Tante. Jika Tante merasa terganggu, itu bukan masalah saya."Vera mendengus kesal. Matanya tampak sibuk kesana kemari untuk mencari baha