Keira duduk di tepi tempat tidur paviliun, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan taman belakang rumah. Detak jantungnya berdentam keras, seiring dengan ketegangan yang ia rasakan. Hari ini adalah hari yang sangat penting, hari yang telah ia tunggu-tunggu selama enam tahun terakhir. Akhirnya, ia akan bertemu dengan anak-anaknya.Pintu paviliun diketuk perlahan. Suara Bara terdengar dari balik pintu, "Kei, sudah siap?"Keira menelan ludahnya. "Ya, Om. Sudah siap."Ia merapikan rambutnya sejenak, mencoba mengendalikan ketegangan yang merasuki setiap inci tubuhnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Keira berdiri dan berjalan ke arah pintu. Bara menunggu di luar, tersenyum tipis namun matanya penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan."Anak-anak sudah di ruang tengah," katanya lembut.Keira mengangguk dan mengikuti Bara berjalan menuju rumah utama. Ketika mereka melewati koridor yang dipenuhi foto-foto keluarga, Keira merasakan gelombang emosi yang tiba-tiba menyerangnya.
Sarapan pagi itu berlangsung dalam suasana yang terasa begitu canggung, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan Keira dari anak-anaknya. Keira duduk di seberang Bara, sementara Aurora dan Sabiru mengambil tempat di antara mereka, menciptakan jarak fisik yang seakan merefleksikan jarak emosional yang ada. Keira berusaha keras memecah keheningan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan, namun hanya dijawab dengan anggukan atau gelengan kepala singkat oleh si kembar. Matanya berkaca-kaca melihat anak-anaknya yang begitu dekat, tetapi terasa sangat jauh. Ia ingin memeluk mereka erat, menumpahkan segala kerinduan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. Namun Keira tahu ia harus bersabar. Kepercayaan dan kasih sayang tak bisa dipaksakan, apalagi setelah sekian lama absen dari kehidupan mereka.Bara, yang menyadari situasi canggung ini, berusaha menyelamatkan suasana dengan sesekali melontarkan pertanyaan ringan pada anak-anak. "Bagaimana sekolah kalian kemarin? Ada pe
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa, sudah hampir sebulan Keira tinggal di rumah Bara. Perlahan tapi pasti, hubungannya dengan Aurora dan Sabiru semakin erat. Seolah dinding es yang sempat mendinginkan hubungannya dengan anak kembarnya kian hari semakin mencair dan digantikan oleh kehangatan yang semakin tumbuh besar setiap harinya.Setiap pagi, Keira bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anaknya, sesuatu yang dulu hanya bisa ia impikan.Pagi itu, saat Keira sedang sibuk di dapur menyiapkan sandwich dan susu untuk si kembar, ia mendengar derap kaki kecil menuruni tangga. Aurora muncul di ambang pintu dapur, masih dengan piyama bergambar unicorn kesukaannya."Selamat pagi, Ma," sapa Aurora dengan senyum mengantuk.Keira merasakan kehangat
Sejak pertandingan sepak bola dan penampilan cheerleader Aurora dan Sabiru, Kehidupan Keira dan anak-anaknya tampak semakin harmonis. Tetapi di balik kebahagiaan itu, Vera yang merasa posisinya kian terancam dan kekesalannya pada Keira pun makin membara, mulai melancarkan serangan-serangan kecil tetapi nyelekit terhadap Keira dan si kembar.Pagi itu, ketika Keira tengah menyiapkan sarapan untuk Aurora dan Sabiru–yang sudah menjadi kebiasaan bagi Keira hampir setipa harinya sebelum ia berangkat bekerja–tiba-tiba Vera datang ke dapur dengan wajah masam. "Kenapa kamu selalu bangun lebih pagi? Apa kamu ingin menunjukkan bahwa kamu lebih baik dariku?" sindirnya.Keira yang dulu mungkin akan mengalah dan meminta maaf, kini berdiri tegak, menatap Vera dengan tatapan tegas. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu untuk anak-anaknya, Tante. Jika Tante merasa terganggu, itu bukan masalah saya."Vera mendengus kesal. Matanya tampak sibuk kesana kemari untuk mencari baha
"Benarkah yang dikatakan Vera, Kei? Vera bukannya sengaja memecahkan piring, untuk membuat keributan denganmu, 'kan?" tanya Bara pada Keira setelah kepergian Vera, nada suaranya menyiratkan kekhawatiran karena melihat serpihan piring yang berserakan di lantai.Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia menatap Bara dengan pandangan tegas tetapi tenang. "Tidak ada keributan apa-apa yang terjadi antara saya dan Tante Vera, Om. Tadi saya tidak sengaja memecahkan piringnya," jawab Keira, kembali sibuk membuatkan sarapan dan bekal untuk anak-anaknya. Tangannya bergerak cekatan memotong sayuran dan mengambil roti yang baru, seolah berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. "Permisi, saya mau melanjutkan membuat sarapan dan bekal untuk Sabiru dan Aurora,” lanjut Keira.Meski ia masih harus bekerja di perusahaan peninggalan almarhum Papanya, Keira berusaha keras sebelum berangkat bekerja untuk menyiapkan sendiri sarapan dan bekal untuk Aurora dan Sabiru.Wala
Sepanjang hari di kantor, Keira bekerja dengan fokus yang luar biasa. Jam demi jam, detik demi detik, ia dihadapkan pada tumpukan pekerjaan yang seakan tak pernah ada habisnya. Ratusan lembaran kontrak, notulen rapat, dan tumpukan berkas lainnya bertebaran di atas meja kerjanya - memaksa dirinya untuk terus bergerak cepat tanpa henti.Bagaimana pun ia Ia harus menyelesaikan satu per satu tugas yang menumpuk, menghadiri rapat demi rapat, dan bahkan berhasil menandatangani kontrak kerja sama; supaya ia memiliki waktu untuk bersama anak.Ia telah mengatur jadwalnya sedemikian rupa dan memadatkan segala jadwal pekerjaananya agar bisa menjemput Aurora dan Sabiru sendiri. Sehingga, tepat pukul empat sore, Keira sudah berada di mobilnya, melaju menuju sekolah anak-anaknya.Sesampainya Keira di gerba
Tadinya Vera ingin menyela perkataan Keira yang berani sekali mengeluarkan ancaman untuknya, tetapi Vera tak jadi melakukannya ketika suara klakson mobil terdengar dari luar gerbang. Suara itu mengalihkan perhatian mereka sejenak, membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara. Tak lama kemudian, Pintu mobil terbuka dan seorang gadis kecil berambut ikal berlari riang memasuki halaman, diikuti oleh dua orang dewasa di belakangnya.“Oma!" Suara riang seorang gadis kecil memecah ketegangan.Bella, cucu kesayangan Vera, setelah turun dari mobil berlari masuk ke halaman rumah dengan penuh semangat. Di belakangnya, Tasya dan Kevin berjalan beriringan, membawa koper-koper berisi pakaian untuk liburan dua minggu mereka di rumah keluarga Mahendrata.Wajah Vera seketika berubah. Kemarahan yang tadi terpancar di matanya ketika berhadapan dengan Keira, kini digantikan oleh senyum lebar dan tatapan penuh kasih sayang. "Bella sayang! Akhirnya kamu datang juga!" serunya sambil merentangkan tangan,
Setelah kembali ke paviliun dan selesai makan malam, Aurora dan Sabiru tampak mengantuk. Oleh karena itu, Keira buru-buru mengajak mereka untuk bersiap tidur,Begitu memastikan Aurora dan Sabiru sudah tertidur, Keira pun memutuskan untuk keluar dari paviliun, berniat mencari udara segar. Namun, baru beberapa langkah, ia dikejutkan oleh suara Kevin yang memanggilnya."Keira, bisa kita bicara sebentar?" Kevin menghampiri Keira dengan senyum yang terkesan terlalu ramah.Keira menghela napas pelan, berusaha menetralkan rasa tidak nyaman yang ia rasakan. "Ada apa, Kevin? Kalau tidak ada yang penting, lebih baik bicara besok saja saat ada anggota keluarga yang lain!""Aku cuma mau menyapa dan menanyakan kabar kamu, Kei. Sudah lama banget, kita enggak bertemu." Kevin berdiri tepat di depan Keira, mencoba mempersempit jarak di antara mereka."Kurasa tidak perlu menanyakannya karena kamu sudah melihat sendiri kan bagaimana keadaanku di rumah ini!" Keira menghela nafas panjang. Dalam hati ia in
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di