Setelah insiden dengan Kevin, Keira semakin berhati-hati dalam berinteraksi dengan siapapun di rumah itu. Ia berusaha fokus merawat Sabiru dan Aurora, berharap kesibukan mengurus anak kembar bisa mengalihkan perhatiannya dari masalah yang semakin rumit.Namun, tanpa sepengetahuan Keira, situasi akan segera memburuk. Vera, yang telah memasang kamera tersembunyi di berbagai sudut rumah, berhasil mendapatkan foto-foto yang menunjukkan Kevin mencoba memeluk Keira. Dengan senyum puas, Vera mencetak foto-foto tersebut.Keesokan harinya, saat semua anggota keluarga berkumpul untuk sarapan, Vera memulai rencananya. Ia meletakkan amplop berisi foto-foto itu di meja makan, tepat di hadapan Tasya."Tasya sayang, ada sesuatu yang harus kamu lihat. Tadi ada orang yang mengirimkan itu dan menitipkannya pada Mama, katanya untukmu" ujar Vera dengan nada prihatin yang dibuat-buat.Tasya membuka amplop itu dengan penasaran, tetapi ekspresinya berubah drastis begitu melihat isinya. Matanya melebar, waja
Keira merasakan kelelahan mental dan fisik yang semakin menumpuk. Hidup di bawah satu atap dengan Vera, Tasya, dan Kevin terasa seperti neraka. Hanya kehadiran Sabiru dan Aurora, yang sering ia panggil Sabiru dan Aurora, menjadi penghibur di tengah kekacauan yang tiada henti. Namun, baru-baru ini, bahkan anak-anaknya pun tidak terlepas dari pengaruh buruk Vera.Keira masih ingat kejadian mengerikan beberapa malam yang lalu ketika Vera secara sengaja menaburkan bedak gatal di ranjang bayi kembarnya. Malam itu, Aurora dan Sabiru menangis tak henti-henti karena rasa gatal yang menyiksa. Keira dan Bara terpaksa membawa mereka ke rumah sakit setelah kulit bayi-bayi itu mulai memerah dan membengkak. Dokter mengatakan bahwa reaksi alergi itu disebabkan oleh sesuatu yang menyentuh kulit mereka, namun Keira tahu persis siapa yang bertanggung jawab.Ia merasa hatinya terkoyak antara perasaan bersalah dan amarah yang membuncah. Keira tahu bahwa, bagaimanapun, ia memiliki andil dalam kekacauan
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Keira membuka matanya. Sepanjang malam, ia hanya bisa memejamkan mata untuk beberapa saat sebelum kembali terjaga. Pikirannya berkecamuk dengan keputusan berat yang harus ia ambil. Suara-suara ancaman Vera, kemarahan Tasya, obsesi Kevin, dan kecemburuan Bara terus bergema di telinganya, bercampur dengan tangisan Sabiru dan Aurora yang seolah memanggil namanya.Dengan hati-hati, Keira bangkit dari tempat tidurnya. Kakinya terasa berat saat ia msabirukah menuju jendela, menyibakkan tirai untuk melihat langit yang perlahan berubah warna. Cahaya keemasan mulai menyusup di antara awan-awan, seolah menjadi pertanda bahwa hari baru telah tiba - hari yang akan mengubah hidupnya selamanya.Keira menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak saat ia menyandarkan keningnya pada kaca jendela yang dingin.Ia tahu bahwa keputusan yang akan ia ambil bukanlah keputusan yang mudah. Meninggalkan anak-anaknya, melepaskan kehidupan yang telah ia bangun, dan m
Angin musim gugur bertiup lembut, menerbangkan daun-daun keemasan yang berguguran di sepanjang jalan setapak kampus. Keira berjalan perlahan, matanya terpaku pada buku di tangannya, sementara pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Sudah hampir enam bulan sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan melanjutkan studinya di Amerika. Enam bulan yang terasa seperti selamanya.Setiap malam, bayangan wajah Sabiru dan Aurora menghantui mimpinya. Ia bisa merasakan tangan mungil mereka, mendengar tangisan mereka yang memanggilnya. Dan setiap pagi, ia terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di dadanya - bukan hanya karena rasa bersalah, tapi juga karena tubuhnya masih beradaptasi dengan tidak lagi menyusui.Akibat tak lagi menyusui, Keira memang harus menanggung sakit dan kesulitan karena asinya tak mau berhenti merembes. Keira juga merasakan kesakitan yang luar biasa pada dadanya yang membengkak dan nyeri akibat tak lagi menyusui anak-anaknya.Tak hanya secara fisik, tetapi secara m
Bulan-bulan berlalu, membawa perubahan musim dan transformasi tak kasat mata dalam hubungan Keira dan Arka. Musim gugur yang keemasan berganti menjadi musim dingin yang membekukan, namun kehangatan mulai tumbuh di antara mereka berdua. Layaknya es yang perlahan mencair, kecanggungan awal mereka luruh, digantikan oleh keakraban yang semakin hari semakin dalam.Senja itu, salju tipis mulai turun ketika Keira dan Arka msabirukah keluar dari perpustakaan kampus. Butiran-butiran putih lembut itu menari-nari di uaurora, menciptakan pemandangan yang magis. Keira menengadahkan kepalanya, membiarkan serpihan salju menaurorat lembut di wajahnya. Untuk sesaat, ia merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang tak memiliki beban."Indah ya?" suara Arka memecah keheningan. Keira menoleh, mendapati Arka sedang menatapnya dengan senyum lembut. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat jantung Keira berdesir."Iya, indah banget," jawab Keira, tak yakin apakah ia sedang membicarakan salju atau pemud
Enam tahun berlalu bagai hembusan angin musim semi yang lembut namun penuh transformasi. Keira, yang dulu datang ke Amerika dengan sejuta keraguan dan beban masa lalu, kini berdiri tegak di depan cermin kamarnya. Rambut hitamnya yang dulu panjang tergerai kini dipotong sebahu, membingkai wajahnya yang semakin matang. Ada kilau kepercayaan diri di matanya, hasil dari perjuangan dan pencapaian yang ia raih selama ini.Di usianya yang ke-26, Keira telah menyelesaikan program sarjana dan magister dengan prestasi gemilang. Dua gelar akademis disandangnya dengan bangga, menjadi bukti nyata bahwa keputusannya untuk meninggalkan Indonesia beberapa tahun lalu bukanlah sia-sia. Namun di balik kesuksesan itu, ada harga yang harus ia bayar - lima tahun jauh dari anak-anak yang ia cintai, dari pria yang pernah mengisi hatinya, dan dari tanah air yang selalu ia rindukan.Keira menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat tiket pesawat yang akan membawanya kembali ke Jakarta. Setelah satu tahu
Enam bulan telah berlalu sejak kepulangan Keira ke Indonesia, tanah air yang dulu ia tinggalkan dengan hati yang remuk redam. Dalam waktu yang relatif singkat itu, Keira telah berhasil mengubah wajah Xabiru Company, perusahaan warisan ayahnya, menjadi salah satu pemain utama di kancah bisnis nasional. Perjalanannya tidak mudah, penuh dengan tantangan dan hambatan, namun tekad baja Keira berhasil membawa perusahaan itu ke puncak kesuksesan yang bahkan tak pernah dibayangkan oleh almarhum ayahnya.Keira membuka matanya perlahan, kesaaurorannya mulai kembali seiring dengan cahaya pagi yang semakin terang. Tangannya meraba-raba mencari ponsel di nakas samping tempat tidur king size-nya yang dibalut seprai sutra putih. Layar ponsel menyala, menunjukkan pukul 05.30 pagi. Masih ada waktu satu jam sebelum ia harus bersiap-siap ke kantor. Namun, alih-alih bermalas-malasan di tempat tidur yang nyaman, Keira memilih untuk bangkit. Hari ini adalah hari yang penting, hari yang mungkin akan mengu
Dengan langkah mantap, Keira berjalan menuju ruang rapat. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang dan profesional. Ia telah mempersiapkan diri untuk momen ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan masih menggerogoti hatinya.Saat Keira membuka pintu ruang rapat, matanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela. Albara Mahendrata. Pria yang pernah mengisi relung hatinya, ayah dari anak-anaknya, orang yang selama beberapa tahun ini berusaha ia lupakan.Bara berbalik begitu mendengar suara pintu terbuka. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Berbagai emosi berkecamuk di mata Bara - kekaguman, penyesalan, dan sesuatu yang tak bisa Keira definisikan. Keira merasakan dadanya sesak, namun ia berhasil menguasai diri."Selamat siang, Pak Bara," Keira memecah keheningan, suaranya mantap tanpa gemetar. "Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini."Bara seolah tersadar dari lamunannya. "
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di