Beranda / Pernikahan / Suami Titipan / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Suami Titipan: Bab 1 - Bab 10

46 Bab

Bab 1

“Haruskah kamu pergi kali ini, Honey?”Charlotte menghentikan gerakan jemarinya yang tengah menutup zipper clutch bag khusus berisi visa, paspor, dan dokumen penting lain. Perempuan itu mengalihkan perhatian ke arah lantai, ia mendesah perlahan. “Luke, please, kita sudah membahas hal ini sepanjang hari. Keputusanku tidak dapat diganggu gugat, aku harus pergi,” ucapnya lirih dengan intonasi pasti.Luke mendengus kasar. “Well, aku tahu. Tapi untuk apa kamu pergi? Lagipula, saat kamu sampai ke sana, dia sudah dikebumikan. Kamu tidak akan melihatnya.” Laki-laki berusia 33 tahun itu bangkit meninggalkan koper yang tengah ia bereskan di lantai. Ia melangkah gontai ke arah tempat tidur dimana Charlotte berada dan duduk tepat di samping sang gadis. “Setidaknya, aku bisa melihat pusaranya, bertemu dengan pihak keluarga. Mengucapkan bela sungkawa dan mendoakannya langsung,” kukuh Charlotte tak ingin goyah.Luke menggeleng pelan. “Ok, aku hargai ketulusanmu itu. Tetapi, apakah kamu a
Baca selengkapnya

Bab 2

Charlotte terpaku melihat pemandangan di luar. Tempat ini tak banyak berubah sejak ia meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Setelah dua jam perjalanan dari Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, perempuan itu akhirnya dapat kembali menikmati kawasan hutan jati yang melekat rapi dalam memori episodiknya.Tumbuhan kayu-kayuan itu masih ranggas meski musim mulai memasuki masa penghujan. Charlotte membebatkan selendang di kepalanya kian rapat. Hanya dalam hitungan menit, ia akan menginjakkan kaki lagi di ‘rumah kedua’-nya kala menetap di Indonesia dulu. “Miss, Ma’had Darussalam,” ucap sopir taksi seraya memutar tubuhnya ke belakang.Charlotte tersentak dari lamunan. Ia kemudian mengulas senyum ramah. “Maaf, Pak, saya ngelamun. Ini kenapa kita gak masuk sampe parkiran dalem?” “Lho, Miss bule bisa bahasa Indonesia?” pekik sang sopir kaget melihat perempuan berwajah khas Eropa kental namun lancar berbahasa Indonesia.Charlotte tertawa kecil. “Saya juga bisa
Baca selengkapnya

Bab 3

“Rame banget,” lirih Charlotte. “Jasa almarhum buat Ma’had sama dunia pendidikan banyak. Otomatis kenalannya juga banyak,” sahut Avicenna yang diamini anggukan oleh Charlotte.Selepas ibadah Ashar, dua perempuan lajang itu mendatangi rumah mendiang Wafiq. Laki-laki yang mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun itu merupakan wali kelas Charlotte di tahun terakhir pendidikannya di ma’had yang terletak di pelosok Provinsi Jawa Timur ini. “Masuk, yuk!” ajak Avicenna menggamit lengan kanan Charlotte.Sejenak, Charlotte bergeming. Tubuhnya terpaku di tempatnya berdiri. Ia melirik rumah sederhana di depannya sekilas. Rasa ragu, segan, hingga takut itu tiba-tiba menggelayuti hatinya. Melihat orang-orang berkerumun di pelataran rumah membuat nyalinya ciut. Para pelayat itu adalah sosok besar nan penting negeri ini, terutama di kalangan Ma’had. “Nak, ‘kok gak masuk?” Seorang perempuan jelang usia 40-an menghampiri. Charlotte tersentak. Dari penampilannya,
Baca selengkapnya

Bab 4

“Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.” “Masa, sih?” “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!” “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!” “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ad
Baca selengkapnya

Bab 5

“Astaga, Ustadzah Dea!” Charlotte memekik tatkala melihat sesosok tubuh yang tergeletak itu. “Pak, Bu, mohon maaf, bisa bantu saya bawa beliau ke RS terdekat?” “Itu ada Kang Bentor lagi bawa bentornya ke sini, Mbak. Bawa ke RSUD, deket ‘kok!”Charlotte mengangguk, lalu beralih ke dua sahabatnya. “Mbak Naya sama Senna balik duluan ke Ma’had, ya? Kasian itu anak-anak kecapean. Aku anter Ustadzah Dea ke RS. Ojolnya udah dibayar... Oh, tolong ke rumah Ustadz Fajri, kabarin istrinya masuk RSUD,” ucapnya.******************** “Mbak, mau ke pendaftaran atau IGD?” tanya sopir bentor tatkala mereka memasuki pelataran rumah sakit pemerintah kabupaten itu. “IGD, Pakde,” jawab Charlotte singkat.Beruntungnya, terdapat beberapa perawat melintas di depan gedung saat bentor tiba di teras Instalasi Gawat Darurat. Mereka sigap menolong dengan mengambil brankar lalu memindahkan tubuh Dea ke atasnya. Sebelum memasuki IGD, perempuan itu mengangsurkan selemb
Baca selengkapnya

Bab 6

Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana. “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang. “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi. “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan. “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjal
Baca selengkapnya

Bab 7

Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl
Baca selengkapnya

Bab 8

********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
Baca selengkapnya

Bab 8

********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
Baca selengkapnya

Bab 9

Lagi-lagi, Dea mengulum senyum. “Gini, Nak, Kinara mau ikut tes IELTS. Katanya pengen lanjut kuliah ke Eropa. Tapi belum apa-apa udah loyo gini,” terang Dea melirik sang putri. “Ustadzah Charlotte pinter banget bahasa Inggrisnya. Di Ma’had, belum ada yang ngalahin skor beliau di segala jenis tes bahasa Inggris sampe sekarang. Ayah Fajri aja kalah. Mumpung di sini, Mbak Nara minta tolong diajarin sama Ustadzah Charlotte,” lanjut Dea.Tampak sekali Kinara sedang menimbang sesuatu. Detik berikutnya, ia mengangguk “Ok, kapan Ustadzah bisa ngajarin saya?” tanyanya menatap Charlotte lurus-lurus.Charlotte menaikkan kedua alisnya tak percaya. Ini adalah kali pertama Kinara berbicara padanya. “Sekarang juga boleh,” sahut Charlotte mantap. “Deal,” balas Kinara tak kalah antusias. “Ya, udah, Mbak Nara boleh belajar sama Ustadzah Charlotte. Tapi sebentar aja. Kasian Ustadzah kecapean ngurus Ibu seharian di rumah sakit.” Dea berucap seraya bangkit dari duduknya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status