********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
Lagi-lagi, Dea mengulum senyum. “Gini, Nak, Kinara mau ikut tes IELTS. Katanya pengen lanjut kuliah ke Eropa. Tapi belum apa-apa udah loyo gini,” terang Dea melirik sang putri. “Ustadzah Charlotte pinter banget bahasa Inggrisnya. Di Ma’had, belum ada yang ngalahin skor beliau di segala jenis tes bahasa Inggris sampe sekarang. Ayah Fajri aja kalah. Mumpung di sini, Mbak Nara minta tolong diajarin sama Ustadzah Charlotte,” lanjut Dea.Tampak sekali Kinara sedang menimbang sesuatu. Detik berikutnya, ia mengangguk “Ok, kapan Ustadzah bisa ngajarin saya?” tanyanya menatap Charlotte lurus-lurus.Charlotte menaikkan kedua alisnya tak percaya. Ini adalah kali pertama Kinara berbicara padanya. “Sekarang juga boleh,” sahut Charlotte mantap. “Deal,” balas Kinara tak kalah antusias. “Ya, udah, Mbak Nara boleh belajar sama Ustadzah Charlotte. Tapi sebentar aja. Kasian Ustadzah kecapean ngurus Ibu seharian di rumah sakit.” Dea berucap seraya bangkit dari duduknya
“Oh, ya, aku ngubungin kamu dari tadi, mau ngasih tau sesuatu. Kamu mau sekalian aku pesenin tiket kereta ke Bandung, gak?” tanya Avicenna.Sesaat, Charlotte diam membisu. Kendati telah mengumbar janji, nyatanya ia masih saja meragu.Ia belum siap menghadapi segala sesuatu yang ada di kota bergelar Paris Van Java tersebut. Dan sejujurnya, ‘siap’ itu mungkin tak akan pernah terjadi. Bukan rasa takut yang menghantuinya. Melainkan rasa malu yang teramat sangat. Kemana wajahnya akan ia surukkan di sana?Avicenna berdeham kecil di seberang telepon. “Char? Kamu denger, ‘kan? Gak ketiduran?”Charlotte terperanjat. Ia meneguk ludahnya kelat. “Ehm, iya, Sen... Keluargamu di Solo apa kabar? Sehat-sehat semua, ‘kan?” tanya sutradara film ‘Hope & Miracle’ itu terbata-bata.Terdengar helaan napas berat dari Avicenna. “Please, Char, work with me... You can’t dodge this situation just like that. It’s neither a game, nor finger snapping. You ought to face it! Menghindari sesuatu yang bahk
“Oh, mau berangkat sekarang, Mbak. Kalo gitu, hati-hati, yaa. Semoga selamat sampai tujuan. Fii amanillah,” sahut Charlotte kaku tapi matanya bergerak liar memindai sekitar. “Mbak cuma pergi sama Zidane dan Zayn. Naik bis dari depan Ma’had. Ustadz gak bisa ikut karena nguji kelas enam. Nara sibuk ujian, udah berangkat tadi pagi,” ucap Dea gamblang seolah mengerti kebingungan gadis yang terlihat manis dalam balutan mukena putih itu.Sekali lagi, dua manik Charlotte membola mendengar penuturan Dea. “Mbak mau saya anter ke Kediri? Kebetulan saya gak ada kegiatan, Senna belum balik dari Solo,” tawarnya tulus.Dea spontan menggeleng. “Gak apa-apa, Mbak udah biasa,” tuturnya getir. “Justru, selain pamitan, Mbak mau nitip Nara sama kamu, Char? Boleh?” Dea memohon penuh harap. “Jaga dan bimbing dia selama Mbak gak ada. Anggap Nara adik atau anak kamu sekalian.”Deg!Jantung Charlotte berdetak amat keras di dalam. Kenapa Dea tak henti-henti memintanya menjaga serta memb
Aaaaaaaaaa... “Astaga! Senna! Ngagetin aja! Kirain apaan,” pekik Charlotte dengan jantung berdegup kencang. “Ish, lagian kamu pake ngacungin sikat WC segala! Emang aku mirip feses apa,” sungut Avicenna tak kalah keras. “Yaa, lagian, kamu gak ketuk atau salam gitu. Main masuk aja!” debat Charlotte tak mau kalah. “Udah kali, Mbaakkk... Sampe serak, tapi gak dibuka-buka. Lagian aku juga pegang kunci sendiri, ‘kan? Terus, kenapa kamu kaget kalo aku tiba-tiba masuk sendiri?”Charlotte menggaruk pelipis yang tidak gatal menggunakan jari telunjuk. “Kaget, lhaa... Sebelum masuk kamar mandi sendirian, eh pas mau keluar ada suara ribut-ribut di kamar.” “Ooo, pantes, aku gedor-gedor gak dibuka. Pasti lagi semedi, ya?” tebak Avicenna yang hanya ditanggapi kekehan oleh Charlotte. “Ntar dilanjut ngobrolnya, aku kebelet.”Avicenna segera berlalu ke kamar mandi. Sementara Charlotte menunaikan salat Dzuhur. “Char, udah makan siang
“Jadi pengen tinggal di sini lagi, ya?” terka Avicenna lirih. Charlotte hanya membisu. “Cari ustadz kader, Char. Biar bisa tinggal di Ma’had,” celetuknya kembali tanpa disaring.Charlotte tergelak mendengar kelakar Avicenna. “Kalo ada, sih, mau-mau aja. Sayangnya, gak ada yang mau kayaknya sama aku. Mereka pasti milih-milih, harus yang perfect lahir dan batin. Soalnya jadi istri kader itu gak mudah,” sahut Charlotte tanpa mengalihkan pandang dari taman.Avicenna mengerutkan dahi. “Kok, jadi serius gini obrolan kita,” ucapnya bingung. “Eh, sebentar... Jadi, kalo dikasih kesempatan, kamu mau jadi madamat di Ma’had?” tanyanya.Charlotte tertawa cukup kencang. Ia meletakkan tusukan bambu bekas pentol ke dalam plastik terpisah. “Kamu tadi bercanda, ‘kan? Jadi aku ngimbangin,” balas Charlotte sekenanya. “Ihh, aku serius, Char. Kamu mau apa gak? Eh, tapi... Sayang karier kamu di sana.” “Masalah terbesarnya, ada yang mau apa, gak? Ada yang bisa nerima kondi
Charlotte menatap nanar sekitar. Ternyata, begitu cepat setiap peristiwa dalam kehidupan terjadi. Begitu mudah setiap keadaan di muka bumi berganti. Kemarin malam, ruangan tempatnya berpijak ini riuh oleh senyum manis Dea beserta celotehan anak-anaknya dalam sesi makan malam penuh kehangatan. Namun sekarang, tampak muram dengan luka dan duka yang kelam.Sepasang iris hazelnya beralih ke titik pusat perkumpulan. Di tengah-tengah sana, tiga insan diam membisu dibalik kain putih yang menutupi seluruh tubuh polos mereka masing-masing. Tepat di samping tiga sosok tak bernyawa itu, sepasang ayah dan putri menatap kosong ke arah ketiganya. Terlihat bibir sang Ayah bergumam melantunkan doa tanpa suara dan ekspresi.Seolah diberi komando, setiap wajah yang hadir di ruangan ini memasang wajah sendu yang membuat malam kian suram. Tak terkecuali Charlotte dan Avicenna. Keduanya yang terbiasa penuh canda, kini hanya terpaku dengan wajah pilu. Di sudut ruangan, seorang ibu lanjut usia pasrah bersan