Charlotte menatap nanar sekitar. Ternyata, begitu cepat setiap peristiwa dalam kehidupan terjadi. Begitu mudah setiap keadaan di muka bumi berganti. Kemarin malam, ruangan tempatnya berpijak ini riuh oleh senyum manis Dea beserta celotehan anak-anaknya dalam sesi makan malam penuh kehangatan. Namun sekarang, tampak muram dengan luka dan duka yang kelam.Sepasang iris hazelnya beralih ke titik pusat perkumpulan. Di tengah-tengah sana, tiga insan diam membisu dibalik kain putih yang menutupi seluruh tubuh polos mereka masing-masing. Tepat di samping tiga sosok tak bernyawa itu, sepasang ayah dan putri menatap kosong ke arah ketiganya. Terlihat bibir sang Ayah bergumam melantunkan doa tanpa suara dan ekspresi.Seolah diberi komando, setiap wajah yang hadir di ruangan ini memasang wajah sendu yang membuat malam kian suram. Tak terkecuali Charlotte dan Avicenna. Keduanya yang terbiasa penuh canda, kini hanya terpaku dengan wajah pilu. Di sudut ruangan, seorang ibu lanjut usia pasrah bersan
Dalam kamar bernuansa putih, Charlotte merapikan baskom air hangat, handuk, dan pakaian kotor. Ia baru saja selesai menyeka sekaligus menyalin busana Kinara atas permintaan Nenek dari gadis yang masih terpejam itu. Sementara, Avicenna membantu membereskan sisa-sisa pemulasaran bersama tiga orang pekerja rumah tangga Ma’had.Sebelum beranjak keluar, Charlotte memandangi seraut wajah ayu itu. Kendati dalam kondisi terlelap, gurat-gurat kesedihan itu tercetak jelas di wajah gadis yang bahkan belum lulus Sekolah Menengah Atas ini. Sepasang kelopak matanya bengkak dan memerah, bibirnya pucat, jejak-jejak air mata itu masih kentara meski dibasuh berkali-kali.Sungguh, pemandangan itu membuat hatinya disayat rasa sakit, nyeri, hingga pilu yang ditawarkan begitu indah oleh sosok cantik di atas tempat tidur itu. Tak sanggup menahan segala emosi dan isak yang mulai berurung dalam dadanya, Charlotte memutuskan untuk pergi. “Udah selesai?” tanya Avicenna yang kebetulan lewat di depan
“Tadi Ustadzah Avicenna bilang mau pergi kemana, Nak?” Simbah bertanya lalu menyesap wedhang rempah yang dibuat Charlotte.Charlotte menerbitkan senyuman tipisnya. “Tadi Senna izin ke depan, mau jemput temen, ada yang mau ngelayat kesini,” jawab Charlotte menerangkan.Setelah diguyur hujan dan diselimuti mendung semalaman, langit Kabupaten Ngawi tampak berangsur cerah pagi ini. Waktu telah bergerak melewati pukul delapan, matahari sudah menunjukkan eksistensinya. Charlotte dan Simbah duduk mengobrol di teras seraya mencari kehangatan dari sang Surya. “Ustadzah rencananya mau berapa hari di sini?” “Rencananya, tiga hari lagi saya mau ikut Senna ke Bandung.” “Pulang kampung ceritanya, Ustadzah?” tanya Simbah seraya terkekeh kecil.Charlotte ikut tersenyum. “Yaa, gitu ceritanya, Bu.” Ia menyeruput air jahe yang nyaris dingin itu.Untuk beberapa saat, hening menjeda kehangatan dua perempuan beda usia itu. Dari ekor mata, Charlotte dapat meli
“So, hot mama, gimana cerita aslinya, belum sebulan nikah, tapi anaknya udah segede itu?” tunjuk Avicenna menggunakan dagu ke arah depan. Di sana, sepasang muda-mudi tengah memilih lauk di meja prasmanan warung makan khusus yang disediakan Ma’had untuk tamu. ‘Iya, Mella gak cerita-cerita. Apa aku yang ketinggalan berita?” protes Charlotte.Mella yang diberondong beragam pertanyaan dari para sahabatnya hanya terbahak. “Cukup panjang ceritanya, tapi aku singkat aja, deh. Intinya, kami juga nikah dadakan. Cuma akad tertutup aja, ntar kalo resepsi aku undang-undang. Aku juga bingung, awalnya gak ada pembahasan serius soal pernikahan. Eh, tau-tau malah ijab kabul,” jelasnya keheranan sendiri. “Tapi serius, ganteng banget anak kamu! Modelan brondong macho,” celetuk Avicenna. “Husss.” Mella menggeplak pergelangan tangan Avicenna pelan. “Sadar umur, Mbaakkk. Itu anak aku, dan aku sebagai emaknya galak banget, nih!” ancamnya sambil melotot lucu.
“Ok, Ustadz Azizi udah, almarhum Ustadz Wafiq juga udah. Berarti tinggal ke rumah Ustadz Fajri,” gumam Mella menyebut daftar kunjungan wajibnya di Ma’had kali ini. “Kapan kamu mau ke rumah Ustadz Fajri?” tanya Charlotte tiba-tiba. Dalam posisi bersimpuh, ia melipat alat salat. Perempuan jelita itu baru saja menunaikan ibadah wajib Ashar. Dari posisi duduknya di atas lantai, Charlotte dapat melihat Mella seperti tengah berpikir.Mella mendeham kecil. “Kalo abis Magrib, sopan gak, ya? Soalnya ponakanku mau kesini abis Ashar sore ini,” ucapnya penuh tanda tanya dan bimbang. “Menurut kamu, gimana Char?”Charlotte tampak menimbang-nimbang sejenak. “Kayaknya, gak apa-apa, sih. Tapi mungkin gak bisa lama-lama. Cukup setor muka aja. Lagian Ustadz Fajri hari ini pergi,” jelasnya membalas. “Pergi kemana?” Avicenna yang baru keluar dari kamar mandi tiba-tiba menyela. “Hm, itu... Aku belum cerita, ya ke kalian... Sen, kamu inget Ustadz Fajri pergi t
“Ustadz Fajri belum pulang. Ratih balik ke Kediri tadi siang. Anaknya besok sekolah pagi, jadi harus cepet-cepet pulang ke Lumajang,” jelas Simbah menerangkan keadaan.Tiga perempuan itu sontak terbelalak. “Jadi Ibu sama Nara cuma berdua?” tanya Avicenna terkejut. Simbah hanya ber-hum lirih sebagai jawaban rasa penasaran tiga perempuan muda itu.Niat awal bertamu sekaligus bertakziah secara singkat akhirnya harus mereka urungkan. Akibat tak sampai hati membiarkan Simbah larut dalam kesedihan serta kesendirian, Charlotte, Avicenna, dan Mella memutuskan untuk menemani sepasang nenek dan cucu tersebut barang sebentar. Setidaknya sampai sosok mantan guru mereka pulang meskipun entah kapan.Malam merangkak kian pekat. Namun Fajri tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Mella yang sudah memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu harus kembali ke wisma. Avicenna turut mengantar ibu dua anak itu. Jadilah Charlotte sendirian menemani Simbah dan Kinara.“Nak, istirahat di kamar Nara, ya?” ta
Charlotte meneguk ludah kelat. Ia bingung harus menjawab apa. “Itu...” ucapnya menggantung. “Atas permintaan ibu mertua saya? “ terka Fajri telak. “Lain kali, kamu harus tolak. Bukan karena gak punya empati atau simpati. Gak baik seorang gadis berlama-lama di rumah laki-laki beristri. Malam-malam pula. Apalagi istrinya baru saja wafat. Takut jadi fitnah. Kamu jelas tahu perkara ini. Jangan selalu menjadi orang yang gak enakan,” jelasnya tajam nan pedas.Sekali lagi, Charlotte hanya mampu diam membisu. Ia menelan salivanya susah-payah. Kendati terbilang keras cenderung sadis, penuturan Fajri memang sebuah fakta yang tepat sasaran. Dalam kata-katanya itu pun, terselip sebuah kepedulian kecil untuk Charlotte. Fajri tak berubah. Laki-laki itu selalu ingat sifat dan sikap people pleaser dan emotional sponge seorang Charlotte.Sadar akan usiran halus dari mantan gurunya tersebut, Charlotte lekas bangkit dari posisi duduknya. “Karena Ustadz udah pulang, kalau begitu saya permisi,
Ceklek...Charlotte membuka pintu kamar Kinara secara perlahan. Di dalam, ia mendapati gadis itu tengah dipijat bagian kepalanya oleh sang Nenek. Ia kemudian menarik kursi belajar Kinara dan meletakkannya persis di samping ranjang untuk menaruh peralatan seka. “Badannya dibersihin dulu, ya? Biar gak lengket,” ucap Charlotte lembut. Tatapan manik hazelnya begitu meneduhkan. “Duduk sini, Nak,” titah Simbah kepada Charlotte. Perempuan renta itu menggeser sedikit tubuhnya hingga ujung tempat tidur. “Duduk saja, biar gak pegel,” ujarnya kembali.Charlotte menurut dan lekas mendaratkan tubuhnya di samping Kinara. “Mbak ijin seka badan kamu, ya?” Ia berkata lirih. Namun ucapannya tidak disambut Kinara yang justru hanya terpaku menatapnya. Karena tak ada sahutan, ia berinisiatif meraih salah satu pergelangan tangan gadis remaja itu. Ia mulai menyeka tubuh Kinara menggunakan handuk kecil yang dibasahi air hangat.Dalam diam, Kinara memerhatikan setiap gestur dan mimik wajah Charlott