Charlotte meneguk ludah kelat. Ia bingung harus menjawab apa. “Itu...” ucapnya menggantung. “Atas permintaan ibu mertua saya? “ terka Fajri telak. “Lain kali, kamu harus tolak. Bukan karena gak punya empati atau simpati. Gak baik seorang gadis berlama-lama di rumah laki-laki beristri. Malam-malam pula. Apalagi istrinya baru saja wafat. Takut jadi fitnah. Kamu jelas tahu perkara ini. Jangan selalu menjadi orang yang gak enakan,” jelasnya tajam nan pedas.Sekali lagi, Charlotte hanya mampu diam membisu. Ia menelan salivanya susah-payah. Kendati terbilang keras cenderung sadis, penuturan Fajri memang sebuah fakta yang tepat sasaran. Dalam kata-katanya itu pun, terselip sebuah kepedulian kecil untuk Charlotte. Fajri tak berubah. Laki-laki itu selalu ingat sifat dan sikap people pleaser dan emotional sponge seorang Charlotte.Sadar akan usiran halus dari mantan gurunya tersebut, Charlotte lekas bangkit dari posisi duduknya. “Karena Ustadz udah pulang, kalau begitu saya permisi,
Ceklek...Charlotte membuka pintu kamar Kinara secara perlahan. Di dalam, ia mendapati gadis itu tengah dipijat bagian kepalanya oleh sang Nenek. Ia kemudian menarik kursi belajar Kinara dan meletakkannya persis di samping ranjang untuk menaruh peralatan seka. “Badannya dibersihin dulu, ya? Biar gak lengket,” ucap Charlotte lembut. Tatapan manik hazelnya begitu meneduhkan. “Duduk sini, Nak,” titah Simbah kepada Charlotte. Perempuan renta itu menggeser sedikit tubuhnya hingga ujung tempat tidur. “Duduk saja, biar gak pegel,” ujarnya kembali.Charlotte menurut dan lekas mendaratkan tubuhnya di samping Kinara. “Mbak ijin seka badan kamu, ya?” Ia berkata lirih. Namun ucapannya tidak disambut Kinara yang justru hanya terpaku menatapnya. Karena tak ada sahutan, ia berinisiatif meraih salah satu pergelangan tangan gadis remaja itu. Ia mulai menyeka tubuh Kinara menggunakan handuk kecil yang dibasahi air hangat.Dalam diam, Kinara memerhatikan setiap gestur dan mimik wajah Charlott
“Ustadz lapar?” cicitnya bergumam. Lirih sekali, seperti tengah berbisik.Fajri mencoba menilik erat perempuan muda yang juga tengah memandangnya. Detik selanjutnya, laki-laki itu mengangguk lunglai. Tanpa aksara, Charlotte bergerak gesit ke setiap sudut dapur mempersiapkan makan malam.Setiap detail pergerakan Charlotte di area dapur tersebut tak satupun terlewat dari mata elang Fajri. Terduduk di salah satu sudut ruangan, bibir laki-laki itu melengkung ke atas tanpa sadar. Ada setitik perasaan menggelora dalam hatinya yang terbias nyata di garis-garis wajah tegasnya. “Lho, kamu masak, Nduk?” Suara renta menginterupsi aktivitas Charlotte yang sedang mengarau nasi panas di dalam bakul. “Wanginya sampai ke depan, enak sekali.”Charlotte sontak menoleh dan mendapati Simbah bersama Kinara bersisian. “Ehm, iya, Bu,” cicitnya tergeragap. “Ibu sama Kinara ada apa? ‘Kok keluar kamar,” tanyanya penasaran. Ia buru-buru melepas centong dan kipas bambu lalu menghampiri sepasang nenek
“Titip anak-anak sama bojo, ya?” pesan seorang pria berkacamata kepada para penghuni mobil. “Mbak Khalisa yang nurut sama Ateu-ateu, ya,” ucapnya lagi kepada bocah perempuan yang duduk di kursi belakang dan menjadi bulan-bulanan kegemasan Charlotte dan Avicenna. “Iya, Abi,” jawab Khalisa dengan suara imutnya. “Sip, Mas. Kalem, banyak baby sitter, tuh,” seloroh Mella. “Mbak Khalisa udah masuk mobil?” tanya seorang perempuan yang baru saja menghampiri mobil. Dalam gendongan, bayi berkerudung merah jambu sedang tertidur pulas.Mella yang berada di luar kendaraan roda empat itu lekas meraih sang Bayi perlahan agar ibunya tak kerepotan. “Udah di dalem, bareng Senna sama Charlotte di kursi belakang,” tukasnya. “Khalisa di sini Umi,” sahut Khalisa gemas untuk menenangkan ibunya. “Santai, Naya, kita siap jadi baby sitter,” tukas Charlotte ikut menimpali. “Sekalian belajar momong anak,” seru Avicenna tak kalah heboh.
“Emang anjay banget itu si Madun,” ujar Mella tak kalah kesal. “Huss, bahasanya itu, lhooo... Gimana kalo kedengeran anak-anak?!” sewot Naya.Avicenna dan Mella hanya menanggapi pelototan tajam Naya dengan senyum cengengesan. Keseruan keempatnya terus bergulir hingga berpuluh-puluh menit kemudian. Obrolan para perempuan dewasa itu menjadi ajang reuni dan nostalgia dadakan. Meski riuh nan menyenangkan, namun sayang Charlotte tidak dapat mengikuti sepenuhnya arus pembicaraan.Perempuan jelita bermanik hazel itu hanya menanggapi alakadarnya. Entah, di titik terdalam palung hatinya, ia merasa kosong dan hampa. Ada rasa cemas dan gundah yang mendera. Jiwanya seperti tertinggal di suatu tempat yang bahkan ia sendiri tak ketahui dimana.******************** “Char, are you okay?” tanya Avicena tiba-tiba. Posisi tubuhnya berbaring menyamping ke kanan. Mencoba meneliti kondisi gadis yang merebah telentang persis di sampingnya. “Hum,” jawab Charlot
“Bun, Mas, liat kesana, yuk!” Zahra bersemangat mengajak ibu dan kakaknya berkeliling mencari jajan angkringan di sekitar Universitas Gadjah Mada. Gadis itu memang mengajak rombongan ke perguruan tinggi impiannya tersebut untuk sekedar melihat gerbang kampus.Bumi beranjak semakin temaram. Lampu-lampu PLJ, ruko, toko, rumah, hingga gerobak kaki lima di sekitar lingkungan kampus UGM mulai menyala menerangi keriuhan malam. Semarak para mahasiswa saling berjejal keluar dari persembunyian untuk berburu pemuas pencernaan. “Jadi kangen ngampus, ya,” gumam Avicenna memecah kesunyian di dalam mobil. “Heum, seru,” timpal Naya lirih. Tangannya sibuk menepuk-nepuk halus tubuh Aisyah. “Kita jadi makan di warung lesehan sebelah sana, ‘kan?” tanya Charlotte memastikan. “Jadi,” sahut Naya cepat. “Sorry, Char, kita gak jadi makan gudeg hari ini.” “It’s ok. Khalisa sama Zahra lagi gak mau. Daripada mogok makan,” balas Charlotte.A
“Ustadz Fajri, syukran katsiran, antum udah jadi speaker simposium hari ini.” Seorang bapak lanjut usia berujar tulus di belakang panggung meeting room. Ia mengulas senyum ramah.Fajri menyunggingkan senyum simpul. “Harusnya saya yang berterimakasih sama Profesor Laksono yang sudah memberi saya kepercayaan besar seperti ini,” balasnya segan. “Antum wajib ngisi pertemuan kayak gini, Ustadz. Antum itu salah satu alumni terbaik sekaligus inspiratif yang dipunya UGM. Oh, panggil saya ‘bapak’ saja, nggih,” tukas Laksono. “Aamiin. Tapi Bapak berlebihan. Masih banyak alumni yang lebih mumpuni dari saya.”Raut wajah Laksono melunak. “Betul, tapi gak ada yang sat-set, berintegritas, berkredibel, dan selalu siap kayak antum. Saya turut berduka cita atas kehilangan yang baru saja antum alami.”Mimik Fajri beralih sendu seketika. Lengkung bulan sabit yang indah itu lenyap dari wajah tampannya. “Maturnuwun Pak Laksono. Mohon doanya untuk almarhumah istri dan alm
Tanpa disadari setiap orang, Avicenna menatap Charlotte dengan sorot menyelidik. “Perasaan makanan kamu belum datang, ‘kok muka kamu udah merah banget gitu, Char? Kamu kepedesan makan apaan sebelum masuk kesini?” Avicenna memberondong dengan pertanyaan investigatif.Sial! Rona di wajah Charlotte belum memudar apalagi menghilang. Bagaimana bisa lenyap? Jantungnya masih terasa berdetak tak beraturan di dalam rongga dadanya. Ugh, kejadian di tenda angkringan tadi begitu terpatri di dalam sanubarinya. Charlotte benar-benar merasa telah mengalami gangguan kejiwaan. Mungkinkah ia memiliki perasaan gila terhadap gurunya itu? “Gara-gara di sini panas kali, Sen,” jawab Charlotte gelagapan dan alakadarnya. “Tipe kulit kayak kamu cocoknya emang di negara empat musim kali,” ujar Mella.Pembicaraan ihwal rona wajah Charlotte yang memerah malu-malu terhenti oleh kedatangan seorang pegawai warung makan. Perempuan berbusana serba hitam itu mengantarkan pesanan terakhir milik C