“Ustadz Fajri, syukran katsiran, antum udah jadi speaker simposium hari ini.” Seorang bapak lanjut usia berujar tulus di belakang panggung meeting room. Ia mengulas senyum ramah.Fajri menyunggingkan senyum simpul. “Harusnya saya yang berterimakasih sama Profesor Laksono yang sudah memberi saya kepercayaan besar seperti ini,” balasnya segan. “Antum wajib ngisi pertemuan kayak gini, Ustadz. Antum itu salah satu alumni terbaik sekaligus inspiratif yang dipunya UGM. Oh, panggil saya ‘bapak’ saja, nggih,” tukas Laksono. “Aamiin. Tapi Bapak berlebihan. Masih banyak alumni yang lebih mumpuni dari saya.”Raut wajah Laksono melunak. “Betul, tapi gak ada yang sat-set, berintegritas, berkredibel, dan selalu siap kayak antum. Saya turut berduka cita atas kehilangan yang baru saja antum alami.”Mimik Fajri beralih sendu seketika. Lengkung bulan sabit yang indah itu lenyap dari wajah tampannya. “Maturnuwun Pak Laksono. Mohon doanya untuk almarhumah istri dan alm
Tanpa disadari setiap orang, Avicenna menatap Charlotte dengan sorot menyelidik. “Perasaan makanan kamu belum datang, ‘kok muka kamu udah merah banget gitu, Char? Kamu kepedesan makan apaan sebelum masuk kesini?” Avicenna memberondong dengan pertanyaan investigatif.Sial! Rona di wajah Charlotte belum memudar apalagi menghilang. Bagaimana bisa lenyap? Jantungnya masih terasa berdetak tak beraturan di dalam rongga dadanya. Ugh, kejadian di tenda angkringan tadi begitu terpatri di dalam sanubarinya. Charlotte benar-benar merasa telah mengalami gangguan kejiwaan. Mungkinkah ia memiliki perasaan gila terhadap gurunya itu? “Gara-gara di sini panas kali, Sen,” jawab Charlotte gelagapan dan alakadarnya. “Tipe kulit kayak kamu cocoknya emang di negara empat musim kali,” ujar Mella.Pembicaraan ihwal rona wajah Charlotte yang memerah malu-malu terhenti oleh kedatangan seorang pegawai warung makan. Perempuan berbusana serba hitam itu mengantarkan pesanan terakhir milik C
“Wah, ada yang udah cantik sama wangi banget, nih!” celetuk Avicenna yang baru saja duduk di samping Charlotte. Ia bahkan menyenggol pelan pergelangan tangan sahabatnya itu. “Wah, ada yang udah cantik sama wangi juga, nih!” kelakar Charlotte membalikkan perkataan Avicenna. “Mana mandinya lama banget lagi,” tambahnya semakin jahil. “Antri banget Mbak’e kamar mandinya. Bapenta lagi rame ternyata. Kemarin mah gak sadar selama nginep di wisma,” ujar Avicenna sembari melepas hijab. Ia lalu mengusak rambut basahnya menggunakan handuk. “Tapi seru, ya Char nginep di Bapenta umum gini...”Tak mengindahkan ucapan sang Sahabat, Charlotte kembali menancapkan steker hair dryer ke sumber listrik. “Ibu-ibu, maaf kalau berisik,” izinnya sebelum menyalakan benda tabung itu. “Balik, Sen,” titah Charlotte agar Avicenna memunggunginya. Avicenna hanya menurut. Perempuan beriris hazel itu terlebih dahulu menyemprotkan hair tonic ke kulit kepala da
Ayunan langkah kaki dan alunan denyut jantungnya berirama bersama tangisan pilu seorang bayi. Hati lembut Charlotte tergerak untuk mencari sumber suara. Ia meneliti keadaan sekitar, berusaha menangkap jeritan kesedihan yang menyayat hati tersebut. Pencarian Charlotte terpusat ke kawasan rumah tinggal asatidz. Tepatnya di salah satu rumah yang tak asing dalam memori.Charlotte mencoba berjalan mengikis jarak. Dentaman di dalam sana semakin intens berpacu bersama suara-suara sesak. Ruang antara dirinya dan jeritan sang bayi kian padat pepak. Kemudian, pemandangan di depan sana membuat haru dan kejut itu sukses menyeruak. “Ibu...” pekik Charlotte tertahan.Sosok renta itu kontan menoleh mendapat sebuah seruan dari suara yang telah begitu familier di rungunya beberapa hari ini. Ia mengulas senyum hangat. “Nak Charlotte,” ucapnya lirih.Charlotte melangkah mendekat. “Ibu, ini...” Kata-katanya menggantung di udara demi melihat sesosok mungil yang masih merah. Tubuh rentan itu me
D♭ Major - B Major - G♯ Minor - A♭ Major - F MinorMusik instrumental ‘Music of the Night’ tiba-tiba menyeret kesadaran Charlotte dari dunia mimpi ke dunia nyata. Mahakarya komposer Andrew Llyod Webber untuk teater musikal ‘The Phantom of the Opera’ itu tak hanya memenuhi kedua gendang telinganya. Namun, bunyi menggelegar yang berasal dari speaker ponsel juga menggema di seluruh penjuru ruang.Charlotte tersentak tatkala alam sadarnya kembali seutuhnya. Ia buru-buru bangkit dari tidur dan merogoh saku celana. Perempuan bangir itu lekas mengusap layar gawai ke atas guna meredam suara nyaring itu. Simfoni megah perpaduan biola, piano, trombone, tuba, dan cello tersebut membuat bayi yang sedang tertidur lelap di sampingnya terjaga kaget.Hafal di luar kepala pengaturan suara benda pipihnya, Charlotte gegas menempelkan ponsel ke telinga kiri. Belum sempat mengeluarkan bunyi barang satu not pun, terdengar pekikan bernada khawatir dari seberang sana. Charlotte gelagapan menjauh
Charlotte melengkungkan bibir merah jambunya demi melihat keajaiban Tuhan yang sedari tadi menyusu dengan rakus. Kepala berbalut hijab polos beige itu terus menunduk mengamati wajah mungil nan damai dalam dekapan. Ia khawatir bayi yang tengah ‘makan malam’ itu tersedak akibat menyedot cairan putih dari dalam dot dengan gerakan cepat dan kuat. “Masya Allah, Adek good looking sekali,” gumam Charlotte bersemangat. Tangan kanannya setia memegangi botol susu berukuran S dengan kapasitas 60 mililiter tersebut. ‘Emang mirip Ustadz banget! Fotocopy-an. Gak heran cantik, bapaknya aja tampan,’ batinnya.Deg!Perempuan beriris hazel jernih itu tertegun. Ia terkejut sekaligus malu dengan pernyataan yang terlintas dalam benaknya sendiri. Untung hanya antara dirinya dan Tuhan yang tahu. Bila ada makhluk hidup lain yang mendengar, karuan saja ia akan membenamkan wajah ke inti bumi. Ah, tapi Charlotte benar, bukan? Mantan gurunya itu memang tampan khas pria Nusantara?Charlotte lekas meng
Charlotte meneguk ludahnya kelat. Ia menghela napas lelah. “Iya, Ustadz. Ada apa?” tanyanya.Fajri mengulas senyum tipis. “Antum sudah salat? Kalau belum, salat di sini aja, sekarang. Waktunya sudah mepet, sebentar lagi sudah mau masuk waktu Isya,” jelas Fajri panjang lebar.Perempuan dengan lesung pipi itu terbelalak. Sikap laki-laki kepala empat di depannya justru membuat dahi Charlotte mengernyit bingung. Pasalnya, Fajri adalah priadi yang amat sangat irit bicara. Ia hanya akan menjadi sosok cerewet manakala menerangkan materi pelajaran di kelas. “Saya...” sahut Charlotte terpotong begitu saja. “Mbak Char salat di kamark... Eh, Ayah udah pulang.” Kinara tiba-tiba muncul di ruang tamu dan memotong perkataan Charlotte. Gadis itu langsung menghampiri sang Ayah dan menyalaminya takzim. “Wah, Adek udah bobo lagi. Padahal mau ngajak main,” bisiknya. “Iya, Adek udah bobo. Mbak Nara ajak Ustadzah Charlotte salat di kamar Mbak. Habis itu kita makan malam
Lantas, kemanakah Luke yang hobi menghilang tanpa kabar itu? Apa mungkin yang dikatakan teman-teman Charlotte soal Luke selama ini berpotensi benar? “Mbak! Mbak Char!” sentak Kinara dengan intonasi suara yang tetap rendah mengalun. Ia mengayun-ayun telapak tangan kanan tepat di depan wajah Charlotte.Charlotte terjengkit kaget. Ia gelagapan. “Ya?” serunya terkejut. “Mbak gak apa-apa?” tanya Kinara dengan wajah khawatir. Charlotte menggeleng pelan. Tak segera meluruh, tangan kanan Kinara justru semakin terjulur ke depan. “Rambut Mbak bagus banget. Halus, lembut, bergelombang, ini warnanya asli?” tanyanya lagi. Random sekali!Charlotte mengernyit bingung. Ia memerhatikan gelagat Kinara yang sedang memainkan surai panjang yang tersulur di depan dada. Gadis itu seolah mengalihkan kecanggungan yang tercipta tanpa sengaja. Sepertinya, putri sulung Fajri dan mendiang Dea itu tersadar bila percakapannya terlampau jauh menyentuh ranah pribadi. “Golden brown. Warna asli