Charlotte melengkungkan bibir merah jambunya demi melihat keajaiban Tuhan yang sedari tadi menyusu dengan rakus. Kepala berbalut hijab polos beige itu terus menunduk mengamati wajah mungil nan damai dalam dekapan. Ia khawatir bayi yang tengah ‘makan malam’ itu tersedak akibat menyedot cairan putih dari dalam dot dengan gerakan cepat dan kuat. “Masya Allah, Adek good looking sekali,” gumam Charlotte bersemangat. Tangan kanannya setia memegangi botol susu berukuran S dengan kapasitas 60 mililiter tersebut. ‘Emang mirip Ustadz banget! Fotocopy-an. Gak heran cantik, bapaknya aja tampan,’ batinnya.Deg!Perempuan beriris hazel jernih itu tertegun. Ia terkejut sekaligus malu dengan pernyataan yang terlintas dalam benaknya sendiri. Untung hanya antara dirinya dan Tuhan yang tahu. Bila ada makhluk hidup lain yang mendengar, karuan saja ia akan membenamkan wajah ke inti bumi. Ah, tapi Charlotte benar, bukan? Mantan gurunya itu memang tampan khas pria Nusantara?Charlotte lekas meng
Charlotte meneguk ludahnya kelat. Ia menghela napas lelah. “Iya, Ustadz. Ada apa?” tanyanya.Fajri mengulas senyum tipis. “Antum sudah salat? Kalau belum, salat di sini aja, sekarang. Waktunya sudah mepet, sebentar lagi sudah mau masuk waktu Isya,” jelas Fajri panjang lebar.Perempuan dengan lesung pipi itu terbelalak. Sikap laki-laki kepala empat di depannya justru membuat dahi Charlotte mengernyit bingung. Pasalnya, Fajri adalah priadi yang amat sangat irit bicara. Ia hanya akan menjadi sosok cerewet manakala menerangkan materi pelajaran di kelas. “Saya...” sahut Charlotte terpotong begitu saja. “Mbak Char salat di kamark... Eh, Ayah udah pulang.” Kinara tiba-tiba muncul di ruang tamu dan memotong perkataan Charlotte. Gadis itu langsung menghampiri sang Ayah dan menyalaminya takzim. “Wah, Adek udah bobo lagi. Padahal mau ngajak main,” bisiknya. “Iya, Adek udah bobo. Mbak Nara ajak Ustadzah Charlotte salat di kamar Mbak. Habis itu kita makan malam
Lantas, kemanakah Luke yang hobi menghilang tanpa kabar itu? Apa mungkin yang dikatakan teman-teman Charlotte soal Luke selama ini berpotensi benar? “Mbak! Mbak Char!” sentak Kinara dengan intonasi suara yang tetap rendah mengalun. Ia mengayun-ayun telapak tangan kanan tepat di depan wajah Charlotte.Charlotte terjengkit kaget. Ia gelagapan. “Ya?” serunya terkejut. “Mbak gak apa-apa?” tanya Kinara dengan wajah khawatir. Charlotte menggeleng pelan. Tak segera meluruh, tangan kanan Kinara justru semakin terjulur ke depan. “Rambut Mbak bagus banget. Halus, lembut, bergelombang, ini warnanya asli?” tanyanya lagi. Random sekali!Charlotte mengernyit bingung. Ia memerhatikan gelagat Kinara yang sedang memainkan surai panjang yang tersulur di depan dada. Gadis itu seolah mengalihkan kecanggungan yang tercipta tanpa sengaja. Sepertinya, putri sulung Fajri dan mendiang Dea itu tersadar bila percakapannya terlampau jauh menyentuh ranah pribadi. “Golden brown. Warna asli
Di ambang dinding ruang makan dan keluarga, Fajri berdiri dengan gagahnya. “Kok, sudah bangun?” tanya Simbah heran.Fajri tersenyum gusar. “Tiba-tiba bangun, terus langsung nangis, Bu.” “Putune Simbah sing ayu dhewek kenapa, toh,” ujar Simbah seraya bangkit dari duduk.Sebelum tubuh renta itu terangkat, Charlotte buru-buru berdiri. “Biar saya yang lihat, Bu.” Charlotte menahan punggung tangan keriput ibu mertua Fajri yang masih bertumpu di atas meja.Dengan hati-hati, Charlotte menyentuh puncak kepala dan tubuh bagian belakang adik bungsu Kinara. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. “Oh, ada yang popol ternyata,” ucapnya lembut.Simbah dan Kinara terkikik. “Oalah, Ayah sudah lama gak punya bayi. Jadi lupa cara momongnya,” ujar Simbah yang ditanggapi tawa kecil Kinara. Sementara Charlotte tak berani mengangkat wajahnya barang seinci pun. Tatapannya terus tertuju pada sosok mungil tersebut. “Gendong Simbah, yu, Nduk. Salin di kamar. Biar Ayahmu maem
CeklekPintu kamar tiba-tiba kembali terbuka tatkala Charlotte tengah memakaikan sang Bayi sleeper jumpsuit berwarna hijau olive yang begitu cantik. “Pakai baju ini gak apa-apa, kan Bu?” Charlotte bertanya tanpa mengalihkan fokus perhatiannya dari sosok mungil di atas ranjang.Posisinya memang membelakangi lembaran kayu tebal tersebut. Tak berapa lama, ia dapat merasakan kehadiran sosok yang baru saja masuk itu di punggungnya. Charlotte bergeming. “Ekhem.” Seseorang yang sedang berdiri di belakang Charlotte berdeham cukup keras.Perempuan itu tersentak kaget dengan urat-urat mendadak tegang. Detik dimana ia menoleh, tubuh kaku Charlotte sontak berjengkit. Lalu terhuyung ke belakang dan nyaris limbung ke atas peraduan. Beruntung sosok itu lekas menarik pergelangan tangan Charlotte yang terhalang kain. “Hati-hati,” ujarnya khawatir. “Ya Allah, untung gak jatuh nimpa bayi.”Charlotte buru-buru menegakkan tubuh dan maju selangkah ke depan. Tatkala tersadar, ia leka
“Ululu, haus, ya? Pelan-pelan, Sayang,” ujar Charlotte lirih mengajak si bayi mengobrol.Kinara terkekeh pelan. “Adek gembul banget,” ucapnya sembari memainkan jemari adiknya.“Haduh, kenapa malah pada ngumpul di sini?” Suara Simbah menginterupsi miliu kehangatan kamar Fajri. “Ayo, duduk di ruang tamu. Kasihan Ustadzah Charlotte momong sambil berdiri begitu. Mbah sudah buat minuman segar.” Simbah berlalu terlebih dahulu.“Ayo, Mbak!” ajak Kinara riang. Charlotte mau tak mau mengekori langkah gadis itu.Di ruang tamu, Charlotte dan Kinara mendapati semangkuk besar Es Buto Ijo di atas meja. Simbah dengan cekatan menyalinnya ke dalam mangkuk yang lebih kecil. Kinara mempersilakan Charlotte duduk lebih dulu. Gadis itu kemudian menjatuhkan diri tepat di samping Kinara.“Mbah Uti suka bener, deh! Aku emang lagi pengen yang seger-seger,” jelas Kinara.Simbah menggelang perlahan. “Cuacanya lagi gerah.” Simbah meletakkan semangkuk es ke atas meja tepat di depan Charlotte. Sementara Kinara suda
“Char! Char! Hellooo,” seru Avicenna memanggil Charlotte. Namun, sosok yang disebutkan tidak bergeming sama sekali. Ia terpaku dalam duduknya dengan dua alis menyatu. “Charlotte Eleanor Ruby Heinberg!” Avicenna menepuk sebelah bahu Charlotte.Charlotte tersentak. Rasanya seperti ada petir baru saja menyambar. “Gosh!” pekiknya terkejut. “Ya Allah, Char, dipanggilin dari tadi, gak nyaut-nyaut. Kamu kenapa subuh-subuh udah ngelamun?” Avicenna menggerakkan ibu jari dan jari telunjuknya membentuk sebuah capit di udara. Ia lalu mengurai tautan alis Charlotte yang tidak henti-hentinya melekat sedari tadi. “Gak apa-apa,” balas Charlotte ambigu. Perempuan bermanik hazel itu kembali memasukkan barang-barang ke dalam koper. Sementara khayalnya masih mengawang tinggi. “Saya pamit, Bu, Nara. Maturnuwun udah diterima dan dijamu dengan baik.” Charlotte tersenyum tulus lalu menyalami Simbah dan Kinara. Tiga perempuan lintas generasi itu saling berpeluka
Kinara menggeleng pelan. “Ini, dari Mbah Uti buat Mbak Char sama Ustadzah Avicenna.” Gadis itu menyerahkan bungkusan yang sedari tadi digenggamnya erat. “Sarapan sama sedikit bekel.”Charlotte menerima tas kain berwarna merah itu dengan perasaan rikuh yang teramat sangat. “Duh, kita jadi ngerepotin,” ujar Avicenna tak kalah sungkan.Kinara tersenyum lebar. “Gak apa-apa Ustadzah. Mbah Uti juga seneng, kok,” tukasnya. “Tunggu!” Avicenna memekik tajam. “Kamu panggil Charlotte ‘Mbak’, kok aku masih dipangil Ustadzah?” Perempuan separuh Sunda itu protes tak terima.Charlotte dan Kinara terkikik geli. “Nara, kamu panggil Ustadzah Avicenna pakai ‘Ateu Senna’ atau ‘Ateu Gemoy’ aja, kayak keponakan-keponakan dia,” seloroh Charlotte sengaja menggoda. “Kalau Khalisa sama Aisyah pantes. Kalau Nara kegedean buat jadi keponakanku,” ketus Avicenna. Ia merebut bungkusan yang dibawa Kinara dari tangan Charlotte. “Buka, ya?” “Eh, malah lupa. Padahal ada m
“Ruby seneng, bisa balik ke rumah ini, ke kamar Ruby dulu. Makasih Uwak,” sahutnya dengan suara bergetar. Ada debaran gila ketika akhirnya ia dapat menyebut nama keramat itu lagi.Lilis menaik-turunkan kepala dan mengulas senyum haru. “Uwak yang harus bilang makasih ke Neng. Neng Ruby udah mau pulang lagi ke sini, gak lupa sama Uwak, sama Eyang. Padahal, Neng udah sukses di luar negeri. Tapi, gak malu punya keluarga di Pangalengan.” Kini, sebelah tangannya menangkup pipi sementara tangan lain menggenggam tangan sang Keponakan.Astaga! Charlotte tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Bagaimana pun, Indonesia merupakan identitasnya, separuh bagian dari keutuhan dirinya. Indonesia adalah kampung halamannya. Ia sempat sengaja menampik itu semua karena perasaan malu yang tak berdasar. Ya, malu karena tindakan cerobohnya di masa lalu. Padahal, di sini semuanya baik-baik saja.Tanpa sadar, setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Charlotte. “Kenapa harus malu? Padahal Ruby yang udah
“Char, kamu gak apa-apa... kalau aku tinggal sendiri? Kalau kamu belum siap, ikut pulang lagi, yuk! Bilang aja ke Uwak kamu kita ada acara Ma’had,” ujar Avicenna memastikan.Charlotte tersenyum manis untuk meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajah dan perkataan Avicenna. “Kamu tenang aja, aku bakalan baik-baik di sini,” jawabnya tenang.Avicenna menatap Charlotte intens. Lalu, perhatiannya beralih ke dalam toko di mana paman sahabatnya tengah serius meladeni pembeli. “Kalau ada apa-apa, cepet kabari aku, ya?” pintanya. “Pasti!” Charlotte mengangguk mantap. “Tenang aja, kamu ninggalin aku di rumah keluarga sendiri. Bukan di kandang harimau!” kelakar perempuan bermanik hazel tersebut. “Iya, sih. Tapi... aku tetep khawatir,” aku Avicenna jujur pada akhirnya. “Everything’s gonna be ok. Kamu cepetan pulang. Mau ke rumah Ibu, kan? Berangkat sana, takut kemaleman. Bahaya!” ujar Charlotte dengan nada risau yang teramat kentara.Avicenna hendak m
“Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke
“Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers
“Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”
“Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu
Trang Tek PrangTrang Tek PrangTrang Tek PrangSuara gaduh seperti permukaan besi yang dipukul-pukul konstan perlahan memanggil kesadaran Charlotte yang tengah dibuai mimpi. Perempuan bersurai golden brown itu mengerjap beberapa kali. Untuk sepersekian detik, dahinya mengernyit kebingungan menatap keremangan sekitar. Dari arah luar, keriuhan yang berhasil membangunkannya kian jelas terdengar oleh rungu. “Astaga, aku lupa, aku di rumah Senna,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah nyawanya terkumpul, Charlotte beringsut turun dari pembaringan. Tujuan langkah pertamanya di pagi buta ini adalah kamar mandi untuk sekedar buang air kecil, cuci muka, dan gosok gigi. Perempuan berhidung bangir itu lekas keluar dari kamar yang ditidurinya semalam.Baru saja membuka pintu kamar, aroma lezat dari bumbu yang digoreng membelai manja indera penciuman Charlotte. Dari ambang pintu, perempuan jelita itu dapat menangkap siluet punggung seseorang yang tengah serius menekuni sesuatu di depan
Kinara menggeleng pelan. “Ini, dari Mbah Uti buat Mbak Char sama Ustadzah Avicenna.” Gadis itu menyerahkan bungkusan yang sedari tadi digenggamnya erat. “Sarapan sama sedikit bekel.”Charlotte menerima tas kain berwarna merah itu dengan perasaan rikuh yang teramat sangat. “Duh, kita jadi ngerepotin,” ujar Avicenna tak kalah sungkan.Kinara tersenyum lebar. “Gak apa-apa Ustadzah. Mbah Uti juga seneng, kok,” tukasnya. “Tunggu!” Avicenna memekik tajam. “Kamu panggil Charlotte ‘Mbak’, kok aku masih dipangil Ustadzah?” Perempuan separuh Sunda itu protes tak terima.Charlotte dan Kinara terkikik geli. “Nara, kamu panggil Ustadzah Avicenna pakai ‘Ateu Senna’ atau ‘Ateu Gemoy’ aja, kayak keponakan-keponakan dia,” seloroh Charlotte sengaja menggoda. “Kalau Khalisa sama Aisyah pantes. Kalau Nara kegedean buat jadi keponakanku,” ketus Avicenna. Ia merebut bungkusan yang dibawa Kinara dari tangan Charlotte. “Buka, ya?” “Eh, malah lupa. Padahal ada m
“Char! Char! Hellooo,” seru Avicenna memanggil Charlotte. Namun, sosok yang disebutkan tidak bergeming sama sekali. Ia terpaku dalam duduknya dengan dua alis menyatu. “Charlotte Eleanor Ruby Heinberg!” Avicenna menepuk sebelah bahu Charlotte.Charlotte tersentak. Rasanya seperti ada petir baru saja menyambar. “Gosh!” pekiknya terkejut. “Ya Allah, Char, dipanggilin dari tadi, gak nyaut-nyaut. Kamu kenapa subuh-subuh udah ngelamun?” Avicenna menggerakkan ibu jari dan jari telunjuknya membentuk sebuah capit di udara. Ia lalu mengurai tautan alis Charlotte yang tidak henti-hentinya melekat sedari tadi. “Gak apa-apa,” balas Charlotte ambigu. Perempuan bermanik hazel itu kembali memasukkan barang-barang ke dalam koper. Sementara khayalnya masih mengawang tinggi. “Saya pamit, Bu, Nara. Maturnuwun udah diterima dan dijamu dengan baik.” Charlotte tersenyum tulus lalu menyalami Simbah dan Kinara. Tiga perempuan lintas generasi itu saling berpeluka