“Ululu, haus, ya? Pelan-pelan, Sayang,” ujar Charlotte lirih mengajak si bayi mengobrol.Kinara terkekeh pelan. “Adek gembul banget,” ucapnya sembari memainkan jemari adiknya.“Haduh, kenapa malah pada ngumpul di sini?” Suara Simbah menginterupsi miliu kehangatan kamar Fajri. “Ayo, duduk di ruang tamu. Kasihan Ustadzah Charlotte momong sambil berdiri begitu. Mbah sudah buat minuman segar.” Simbah berlalu terlebih dahulu.“Ayo, Mbak!” ajak Kinara riang. Charlotte mau tak mau mengekori langkah gadis itu.Di ruang tamu, Charlotte dan Kinara mendapati semangkuk besar Es Buto Ijo di atas meja. Simbah dengan cekatan menyalinnya ke dalam mangkuk yang lebih kecil. Kinara mempersilakan Charlotte duduk lebih dulu. Gadis itu kemudian menjatuhkan diri tepat di samping Kinara.“Mbah Uti suka bener, deh! Aku emang lagi pengen yang seger-seger,” jelas Kinara.Simbah menggelang perlahan. “Cuacanya lagi gerah.” Simbah meletakkan semangkuk es ke atas meja tepat di depan Charlotte. Sementara Kinara suda
“Char! Char! Hellooo,” seru Avicenna memanggil Charlotte. Namun, sosok yang disebutkan tidak bergeming sama sekali. Ia terpaku dalam duduknya dengan dua alis menyatu. “Charlotte Eleanor Ruby Heinberg!” Avicenna menepuk sebelah bahu Charlotte.Charlotte tersentak. Rasanya seperti ada petir baru saja menyambar. “Gosh!” pekiknya terkejut. “Ya Allah, Char, dipanggilin dari tadi, gak nyaut-nyaut. Kamu kenapa subuh-subuh udah ngelamun?” Avicenna menggerakkan ibu jari dan jari telunjuknya membentuk sebuah capit di udara. Ia lalu mengurai tautan alis Charlotte yang tidak henti-hentinya melekat sedari tadi. “Gak apa-apa,” balas Charlotte ambigu. Perempuan bermanik hazel itu kembali memasukkan barang-barang ke dalam koper. Sementara khayalnya masih mengawang tinggi. “Saya pamit, Bu, Nara. Maturnuwun udah diterima dan dijamu dengan baik.” Charlotte tersenyum tulus lalu menyalami Simbah dan Kinara. Tiga perempuan lintas generasi itu saling berpeluka
Kinara menggeleng pelan. “Ini, dari Mbah Uti buat Mbak Char sama Ustadzah Avicenna.” Gadis itu menyerahkan bungkusan yang sedari tadi digenggamnya erat. “Sarapan sama sedikit bekel.”Charlotte menerima tas kain berwarna merah itu dengan perasaan rikuh yang teramat sangat. “Duh, kita jadi ngerepotin,” ujar Avicenna tak kalah sungkan.Kinara tersenyum lebar. “Gak apa-apa Ustadzah. Mbah Uti juga seneng, kok,” tukasnya. “Tunggu!” Avicenna memekik tajam. “Kamu panggil Charlotte ‘Mbak’, kok aku masih dipangil Ustadzah?” Perempuan separuh Sunda itu protes tak terima.Charlotte dan Kinara terkikik geli. “Nara, kamu panggil Ustadzah Avicenna pakai ‘Ateu Senna’ atau ‘Ateu Gemoy’ aja, kayak keponakan-keponakan dia,” seloroh Charlotte sengaja menggoda. “Kalau Khalisa sama Aisyah pantes. Kalau Nara kegedean buat jadi keponakanku,” ketus Avicenna. Ia merebut bungkusan yang dibawa Kinara dari tangan Charlotte. “Buka, ya?” “Eh, malah lupa. Padahal ada m
Trang Tek PrangTrang Tek PrangTrang Tek PrangSuara gaduh seperti permukaan besi yang dipukul-pukul konstan perlahan memanggil kesadaran Charlotte yang tengah dibuai mimpi. Perempuan bersurai golden brown itu mengerjap beberapa kali. Untuk sepersekian detik, dahinya mengernyit kebingungan menatap keremangan sekitar. Dari arah luar, keriuhan yang berhasil membangunkannya kian jelas terdengar oleh rungu. “Astaga, aku lupa, aku di rumah Senna,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah nyawanya terkumpul, Charlotte beringsut turun dari pembaringan. Tujuan langkah pertamanya di pagi buta ini adalah kamar mandi untuk sekedar buang air kecil, cuci muka, dan gosok gigi. Perempuan berhidung bangir itu lekas keluar dari kamar yang ditidurinya semalam.Baru saja membuka pintu kamar, aroma lezat dari bumbu yang digoreng membelai manja indera penciuman Charlotte. Dari ambang pintu, perempuan jelita itu dapat menangkap siluet punggung seseorang yang tengah serius menekuni sesuatu di depan
“Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu
“Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”
“Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers
“Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke