Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana.
“Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.
Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang.
“Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.
Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”
Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi.
“Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan.
“Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjalanan menuju kesana. Boleh tau dimana ruang rawat istri Ustadz?” tanya Fajri sekali lagi.
Charlotte gegas memberi tahu letak ruang rawat Dea pada Fajri. Perempuan itu buru-buru memutuskan sambungan telepon setelah dirasa tak ada lagi percakapan di antara mereka.
********************
Di luar, pesona lembayung mulai menghiasi langit sore. Hari beranjak petang, namun Fajri tak kunjung datang. Mungkin perjalanannya dari Ponorogo menemui sedikit kendala. Jarum infus yang menancap di punggung tangan kanan Dea sudah dilepas beberapa menit lalu. Sembari menunggu Fajri, Charlotte memutuskan untuk menyuapi perempuan hamil itu terlebih dulu.
Entah karena faktor lapar atau ancaman opname dari dokter, Dea menerima setiap sendok makanan yang disodorkan Charlotte dengan lahap. Perempuan berparas Eropa itu tentu senang dibuatnya. Meski sesekali Dea harus menahan rasa mual dan ingin muntah. Charlotte sigap memegangi kantong plastik hitam untuk menampung cairan kental nan pahit tersebut.
“Biar Ibu aja, Nak. Jijik,” ucap Dea seraya berusaha meraih lembaran tissue dari tangan Charlotte. Tampak sekali mimik tak enak hati terpancar dari wajah manisnya.
“Gak apa-apa Ustadzah. Namanya juga lagi sakit,” tukas Charlotte cepat. Dengan telaten ia mengelap bagian bibir maupun dahi Dea yang banjir keringat dingin.
Dea memerhatikan aktivitas Charlotte yang tengah merawat dirinya dengan sorot tak terbaca. Terbesit rasa khawatir di hati mendapati perempuan muda ini kembali ke Tanah Air. Tapi di sisi lain, ia tersentuh dengan kelemah-lembutan Charlotte. Bahkan sejak pertama kali bertemu.
“Mau dihabiskan makannya Ustadzah? Tinggal sedikit lagi,” tanya Charlotte lembut sambil memperlihatkan sebuah piring keramik putih ke arah Dea.
Dea gelagapan. “Gak, makasih. Perut Ibu udah gak sanggup nampung lagi,” balasnya gugup.
Charlotte mengangguk. “Kalo gitu, antum minum obat dulu, ya.” Dengan teliti, ia membuka setiap bungkus obat milik Dea yang baru saja ditebusnya di bagian farmasi rumah sakit. Charlotte lalu mengangsurkan enam butir obat berlainan warna dan bentuk tersebut kepada Dea.
Tok tok tok
Tiba-tiba suara ketukan di pintu menyapa sepasang rungu dua perempuan lintas usia itu. “Masuk,” titah Charlotte singkat. Tanpa mengalihkan perhatian, ia membantu Dea meminum air mineral dari botol yang diberi sedotan untuk memudahkan ibu hamil itu menenggak obat.
“Dik, kamu gak apa-apa?” Laki-laki bertubuh jangkung merangsek masuk lalu menuju brankar pasien dengan terburu-buru. Meski gerak-geriknya dibuat setenang mungkin, kepanikan jelas tergambar di wajahnya. Refleks, ia merengkuh tubuh sang istri ke dalam dekapannya.
Dea terperanjat. Ia berusaha melepas pelukan Fajri dengan kedua manik yang gelisah menatap Charlotte. “Mas...” Dea menegur suaminya dengan suara lirih seraya melepaskan diri.
Fajri tersadar dan lekas merenggangkan kedua lengan. “Masih ada yang sakit?” tanyanya lembut. Laki-laki itu juga mengecek setiap detail tubuh sang istri. Dea hanya mampu menggeleng.
Sementara Charlotte yang terjebak di situasi canggung ini segera meletakkan botol air mineral ke atas nakas di samping brankar. Sesaat, ia memandangi pasangan suami-istri yang tengah melepas rindu dan risau tersebut. Ia mengulas senyum tipis tatkala netranya menangkap sorot penuh cinta dari manik legam Fajri pada istrinya sekaligus wajah Dea yang memerah sebab menahan malu.
Ia berdeham kecil, tapi mampu menarik atensi Dea maupun Fajri. “Afwan Ustadzah, Ustadz, saya nunggu di luar kalo gitu. Mari...” pamit Charlotte seraya mengayun langkah ke arah pintu.
Sebelum menutup pintu, indera pendengaran Charlotte tak sengaja menangkap suara Dea yang tengah memuntahkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Ingin sekali ia masuk kembali dan membantu. Tapi hal itu urung ia lakukan setelah memerhatikan interaksi guru dan istrinya tersebut. Mereka sepertinya sedang membicarakan hal penting. Perempuan keturunan Indonesia itu memilih duduk menunggu di deretan bangku panjang tepat di seberang ruang rawat Dea.
********************
Kepergian Charlotte dengan langkah kikuk saat keluar dari ruang rawat justru memantik rasa gemas Fajri. Laki-laki berusia empat puluh tiga tahun itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum seraya dua pasang matanya tak berkedip sedikit pun menyorot pergerakan Charlotte.
Gelagat tak biasa Fajri tentu tertangkap netra sekaligus rasa Dea sebagai seorang istri. “Mas...” desisnya lirih, namun suaminya tak bergeming sama sekali. Kontan saja hatinya terberangus panas dan nyeri meski ini bukanlah kejadian pertama kali. Seolah mengalikan kesakitannya, tiba-tiba saja organ pencernaan Dea bergejolak seperti ada sesuatu mendesak ingin keluar dari sana.
Mendengar suara muntahan konstan sang istri, Fajri akhirnya tersadar dari keterpakuannya. Ia buru-buru meraih sembarang kantong plastik di atas nakas. Dea yang sudah tak tahan gegas merebutnya dari tangan Fajri. Laki-laki itu refleks memijat tengkuk Dea dengan lembut. Fajri juga mengelus-elus punggung kemudian mengelap mulut Dea menggunakan tissue.
“Masih mual?” tanya Fajri cemas. Tangan kanannya mengusap kening Dea yang berkeringat. Sementara istrinya tersebut hanya menggelengkan kepala sebagai bentuk jawaban.
Fajri menghela napas perlahan. “Kamu opname aja, ya? Mas khawatir ada apa-apa kalo di rumah,” bujuk laki-laki asli Riau itu. Kekhawatiran benar-benar melanda dirinya pada kehamilan sang istri kali ini. Bagaimana tidak, Dea mengandung di usia tepat kepala empat.
Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya. “Mas udah janji ngebolehin aku pulang ke Kediri buat acara nikahan ponakanku.” Dea kukuh dengan pendiriannya tak ingin dirawat.
Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
Lagi-lagi, Dea mengulum senyum. “Gini, Nak, Kinara mau ikut tes IELTS. Katanya pengen lanjut kuliah ke Eropa. Tapi belum apa-apa udah loyo gini,” terang Dea melirik sang putri. “Ustadzah Charlotte pinter banget bahasa Inggrisnya. Di Ma’had, belum ada yang ngalahin skor beliau di segala jenis tes bahasa Inggris sampe sekarang. Ayah Fajri aja kalah. Mumpung di sini, Mbak Nara minta tolong diajarin sama Ustadzah Charlotte,” lanjut Dea.Tampak sekali Kinara sedang menimbang sesuatu. Detik berikutnya, ia mengangguk “Ok, kapan Ustadzah bisa ngajarin saya?” tanyanya menatap Charlotte lurus-lurus.Charlotte menaikkan kedua alisnya tak percaya. Ini adalah kali pertama Kinara berbicara padanya. “Sekarang juga boleh,” sahut Charlotte mantap. “Deal,” balas Kinara tak kalah antusias. “Ya, udah, Mbak Nara boleh belajar sama Ustadzah Charlotte. Tapi sebentar aja. Kasian Ustadzah kecapean ngurus Ibu seharian di rumah sakit.” Dea berucap seraya bangkit dari duduknya
“Oh, ya, aku ngubungin kamu dari tadi, mau ngasih tau sesuatu. Kamu mau sekalian aku pesenin tiket kereta ke Bandung, gak?” tanya Avicenna.Sesaat, Charlotte diam membisu. Kendati telah mengumbar janji, nyatanya ia masih saja meragu.Ia belum siap menghadapi segala sesuatu yang ada di kota bergelar Paris Van Java tersebut. Dan sejujurnya, ‘siap’ itu mungkin tak akan pernah terjadi. Bukan rasa takut yang menghantuinya. Melainkan rasa malu yang teramat sangat. Kemana wajahnya akan ia surukkan di sana?Avicenna berdeham kecil di seberang telepon. “Char? Kamu denger, ‘kan? Gak ketiduran?”Charlotte terperanjat. Ia meneguk ludahnya kelat. “Ehm, iya, Sen... Keluargamu di Solo apa kabar? Sehat-sehat semua, ‘kan?” tanya sutradara film ‘Hope & Miracle’ itu terbata-bata.Terdengar helaan napas berat dari Avicenna. “Please, Char, work with me... You can’t dodge this situation just like that. It’s neither a game, nor finger snapping. You ought to face it! Menghindari sesuatu yang bahk
“Oh, mau berangkat sekarang, Mbak. Kalo gitu, hati-hati, yaa. Semoga selamat sampai tujuan. Fii amanillah,” sahut Charlotte kaku tapi matanya bergerak liar memindai sekitar. “Mbak cuma pergi sama Zidane dan Zayn. Naik bis dari depan Ma’had. Ustadz gak bisa ikut karena nguji kelas enam. Nara sibuk ujian, udah berangkat tadi pagi,” ucap Dea gamblang seolah mengerti kebingungan gadis yang terlihat manis dalam balutan mukena putih itu.Sekali lagi, dua manik Charlotte membola mendengar penuturan Dea. “Mbak mau saya anter ke Kediri? Kebetulan saya gak ada kegiatan, Senna belum balik dari Solo,” tawarnya tulus.Dea spontan menggeleng. “Gak apa-apa, Mbak udah biasa,” tuturnya getir. “Justru, selain pamitan, Mbak mau nitip Nara sama kamu, Char? Boleh?” Dea memohon penuh harap. “Jaga dan bimbing dia selama Mbak gak ada. Anggap Nara adik atau anak kamu sekalian.”Deg!Jantung Charlotte berdetak amat keras di dalam. Kenapa Dea tak henti-henti memintanya menjaga serta memb
Aaaaaaaaaa... “Astaga! Senna! Ngagetin aja! Kirain apaan,” pekik Charlotte dengan jantung berdegup kencang. “Ish, lagian kamu pake ngacungin sikat WC segala! Emang aku mirip feses apa,” sungut Avicenna tak kalah keras. “Yaa, lagian, kamu gak ketuk atau salam gitu. Main masuk aja!” debat Charlotte tak mau kalah. “Udah kali, Mbaakkk... Sampe serak, tapi gak dibuka-buka. Lagian aku juga pegang kunci sendiri, ‘kan? Terus, kenapa kamu kaget kalo aku tiba-tiba masuk sendiri?”Charlotte menggaruk pelipis yang tidak gatal menggunakan jari telunjuk. “Kaget, lhaa... Sebelum masuk kamar mandi sendirian, eh pas mau keluar ada suara ribut-ribut di kamar.” “Ooo, pantes, aku gedor-gedor gak dibuka. Pasti lagi semedi, ya?” tebak Avicenna yang hanya ditanggapi kekehan oleh Charlotte. “Ntar dilanjut ngobrolnya, aku kebelet.”Avicenna segera berlalu ke kamar mandi. Sementara Charlotte menunaikan salat Dzuhur. “Char, udah makan siang
“Jadi pengen tinggal di sini lagi, ya?” terka Avicenna lirih. Charlotte hanya membisu. “Cari ustadz kader, Char. Biar bisa tinggal di Ma’had,” celetuknya kembali tanpa disaring.Charlotte tergelak mendengar kelakar Avicenna. “Kalo ada, sih, mau-mau aja. Sayangnya, gak ada yang mau kayaknya sama aku. Mereka pasti milih-milih, harus yang perfect lahir dan batin. Soalnya jadi istri kader itu gak mudah,” sahut Charlotte tanpa mengalihkan pandang dari taman.Avicenna mengerutkan dahi. “Kok, jadi serius gini obrolan kita,” ucapnya bingung. “Eh, sebentar... Jadi, kalo dikasih kesempatan, kamu mau jadi madamat di Ma’had?” tanyanya.Charlotte tertawa cukup kencang. Ia meletakkan tusukan bambu bekas pentol ke dalam plastik terpisah. “Kamu tadi bercanda, ‘kan? Jadi aku ngimbangin,” balas Charlotte sekenanya. “Ihh, aku serius, Char. Kamu mau apa gak? Eh, tapi... Sayang karier kamu di sana.” “Masalah terbesarnya, ada yang mau apa, gak? Ada yang bisa nerima kondi