“Astaga, Ustadzah Dea!” Charlotte memekik tatkala melihat sesosok tubuh yang tergeletak itu. “Pak, Bu, mohon maaf, bisa bantu saya bawa beliau ke RS terdekat?”
“Itu ada Kang Bentor lagi bawa bentornya ke sini, Mbak. Bawa ke RSUD, deket ‘kok!”
Charlotte mengangguk, lalu beralih ke dua sahabatnya. “Mbak Naya sama Senna balik duluan ke Ma’had, ya? Kasian itu anak-anak kecapean. Aku anter Ustadzah Dea ke RS. Ojolnya udah dibayar... Oh, tolong ke rumah Ustadz Fajri, kabarin istrinya masuk RSUD,” ucapnya.
********************
“Mbak, mau ke pendaftaran atau IGD?” tanya sopir bentor tatkala mereka memasuki pelataran rumah sakit pemerintah kabupaten itu.
“IGD, Pakde,” jawab Charlotte singkat.
Beruntungnya, terdapat beberapa perawat melintas di depan gedung saat bentor tiba di teras Instalasi Gawat Darurat. Mereka sigap menolong dengan mengambil brankar lalu memindahkan tubuh Dea ke atasnya. Sebelum memasuki IGD, perempuan itu mengangsurkan selembar uang ke sopir bentor tanpa melihat nominal atau bertanya soal tarif.
“Mbak, kembaliannya!” teriak sang sopir yang sayangnya tak digubris Charlotte.
Di dalam, ia mendapati Dea di bilik dua belas IGD tengah ditangani seorang dokter jaga. Laki-laki berbalut snelli putih itu memeriksa organ vital Dea dengan seksama. Ia kemudian berbalik menghadap Charlotte. “Keluarga pasien?” tanyanya lirih
Charlotte tergeragap. Ia bingung harus menjawab apa, akhirnya hanya mengangguk pelan.
Dokter itu memindai perempuan di depannya dengan kening berkerut dalam. “Pasien mengalami kelelahan akut. Apalagi dalam kondisi hamil besar. Saya yakin sudah masuk trimester akhir, ‘kan?” Ia bertanya yang lagi-lagi hanya dijawab anggukan kecil Charlotte.
“Baik, pasien harus diinfus dulu. Jikalau setelah tindakan tidak ada perubahan, pasien harus menjalani opname beberapa hari. Mau dirujuk sekalian ke Obgyn?”
Setelah menimbang, Charlotte menyetujui semua saran sang tenaga kesehatan. Ia juga melakukan pendaftaran untuk pemeriksaan kandungan.
“Mbak... keluarga pasien?” tanya petugas bagian administrasi.
“Iya, Mas,” jawab Charlotte terpaksa berbohong.
“Pasien udah pernah ke sini sebelumnya?”
Charlotte membisu. Mana ia tahu. “Saya kurang tau, Mas. Saya keluarga jauh.”
“Tolong sebutkan nama sekaligus alamatnya, biar saya cari di database dulu.”
Barang tentu, Charlotte hanya menyebut nama depan dan alamat lengkap Ma’had.
“Bu Dea, Ma’had Darussalam pasien lama di sini, Mbak. Kebetulan terakhir kali, beliau melakukan kontrol rutin di poli kandungan bersama Dokter Ayu Wardhani. Dokter bersangkutan juga sedang ada jadwal praktik hari ini,” jelas laki-laki berusia 30-an itu.Lagi-lagi Charlotte hanya mampu mengangguk perlahan. Ia benar-benar buta dan tuli soal riwayat kesehatan sekaligus kandungan dari istri mantan gurunya itu.
“Maaf, Mbak, ada kartu jaminan kesehatan?” Kali ini, pertanyaan sang petugas dijawab gelengan kepala Charlotte. “Karena tidak ada kartu tersebut, kalo mau ada tindakan lanjutan, paling mandiri. Selama ini, pasien juga tidak menyertakan jaminan atau asuransi kesehatan apapun,” terangnya lagi hati-hati.
“Mandiri aja, Mas,” sahut Charlotte cepat tak ingin memperpanjang urusan.
Dalam benaknya, rumah sakit selalu berurusan dengan nyawa. Keselamatan Dea prioritasnya kini. Ia menyodorkan sebuah kartu hitam berhias logo bank kenamaan Inggris dengan aksen emas di pinggirannya. Petugas itu sontak terbelalak. Tidak ada unsur pamer atas tindakannya. Hanya saja, cuma kartu itu yang bisa Charlotte pakai di pelbagai negara tanpa syarat berbelit.
********************
Entah Standard Operating Procedure rumah sakit yang mumpuni atau efek kartu hitam Charlotte, Dea mendapat pelayanan cepat dan terbaik. Ibu hamil itu dipindahkan dari bilik IGD ke sebuah kamar khusus di samping ruang praktik sang dokter kandungan.
Dea belum juga sadar tatkala Charlotte memasuki ruang rawat. Perempuan muda itu menaruh plastik berisi makanan dan minuman yang dibelinya di kantin ke atas nakas samping ranjang pasien. Ia membuka jus alpukat lalu duduk di kursi sebelah kanan brankar.
Waktu sudah melewati jam makan siang. Tetapi Charlotte belum mendapat kabar dari Avicenna dan Naya. Belum sempat membuka aplikasi pesan, chat beruntun masuk ke ponselnya.
[Avicenna Zelmira Atlanna:
Sorry, Char, baru ngabarin. Aku udah ke rumah Ustadz Fajri. Tapi kata ART-nya, beliau lagi ngajar di kampus putra. Baru balik ntar sore.
Jadi, aku titip pesen ke ART-nya.
Beliau juga ngasih nomer Ustadz Fajri. Aku share ke kamu. Aku juga udah chat beliau soal istrinya, cuma belum dibaca sampe sekarang
Add contact: Ustadz Bana Fajriansyah Alfarisi]
Charlotte gamang untuk menghubungi Fajri. Di satu sisi, ia tak ingin mantan gurunya itu panik apalagi ia tengah sibuk mengajar mahasiswa. Di sisi lain, ia tak tega melihat kondisi Dea yang pastinya membutuhkan kehadiran keluarga. Terutama sosok sang suami. Belum sempat menekan icon dial di layar, telinga tajamnya menangkap lenguhan dari arah brankar.
Charlotte memperhatikan ibu hamil di depannya yang mengerjapkan mata berulang kali. “Ustadzah, badannya ada yang gak nyaman?” tanyanya hati-hati pada Dea yang tampak linglung.
Dea mengernyit bingung. “Perasaan, saya lagi belanja di pasar. Kok...” ucapnya menggantung.
“Ustadzah emang belanja di pasar tadi pagi. Tapi pingsan deket pintu keluar pasar. Kebetulan saya lagi di pasar yang sama. Kata dokter, antum kelelahan dan diindikasikan opname,” jelas Charlotte.
“Aduh, saya gak mau opname. Besok saya mau ke rumah Bulek, anaknya nikah. Saya gak mau ketinggalan acara penting keluarga,” cecar Dea.
Charlotte tak berkutik. Ia tak bisa berbuat apa-apa. “Kita liat perkembangan kondisi antum dulu. Kalo bagus, bisa pulang. Kalo gak, harus opname. Kita juga nunggu Ustadz Fajri datang, ya Ustadzah? Biar beliau yang menentukan baiknya gimana.” Charlotte berusaha membujuk Dea.
Dea hanya diam membisu. Charlotte kemudian menawarkan air minum yang langsung disambut dengan baik oleh Dea. Perempuan jelang usia kepala empat itu tampak sangat kehausan setelah pingsan selama berjam-jam. Ia menghabiskan setengah botol air mineral sekaligus.
“Ustadzah mau makan sesuatu?” tawar Charlotte. Ibu hamil itu menggeleng lemah.
“Maaf, Ibu ngerepotin kamu, Nak,” ucap Dea lirih.
“Gak, Ustadzah. Kewajiban sesama manusia saling menolong,” ujar Charlotte. “Ustadzah harus makan, biar bisa minum obat. Biar bisa pulang, gak opname,” bujuknya lagi.
Kali ini, Dea menurut. Ia mau memakan roti isi daging asap yang disuapkan Charlotte sedikit demi sedikit. Perempuan hamil itu lalu tertidur lagi setelah meminum obat dan vitamin kehamilan. Selagi menunggu Dea tertidur sekaligus cairan infus habis, Charlotte memeriksa pekerjaan yang menumpuk masuk ke alamat surat elektronik pribadi maupun bisnis.
Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana.
“Hallo, Assalamu’alaikum...”
Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana. “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang. “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi. “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan. “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjal
Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
Lagi-lagi, Dea mengulum senyum. “Gini, Nak, Kinara mau ikut tes IELTS. Katanya pengen lanjut kuliah ke Eropa. Tapi belum apa-apa udah loyo gini,” terang Dea melirik sang putri. “Ustadzah Charlotte pinter banget bahasa Inggrisnya. Di Ma’had, belum ada yang ngalahin skor beliau di segala jenis tes bahasa Inggris sampe sekarang. Ayah Fajri aja kalah. Mumpung di sini, Mbak Nara minta tolong diajarin sama Ustadzah Charlotte,” lanjut Dea.Tampak sekali Kinara sedang menimbang sesuatu. Detik berikutnya, ia mengangguk “Ok, kapan Ustadzah bisa ngajarin saya?” tanyanya menatap Charlotte lurus-lurus.Charlotte menaikkan kedua alisnya tak percaya. Ini adalah kali pertama Kinara berbicara padanya. “Sekarang juga boleh,” sahut Charlotte mantap. “Deal,” balas Kinara tak kalah antusias. “Ya, udah, Mbak Nara boleh belajar sama Ustadzah Charlotte. Tapi sebentar aja. Kasian Ustadzah kecapean ngurus Ibu seharian di rumah sakit.” Dea berucap seraya bangkit dari duduknya
“Oh, ya, aku ngubungin kamu dari tadi, mau ngasih tau sesuatu. Kamu mau sekalian aku pesenin tiket kereta ke Bandung, gak?” tanya Avicenna.Sesaat, Charlotte diam membisu. Kendati telah mengumbar janji, nyatanya ia masih saja meragu.Ia belum siap menghadapi segala sesuatu yang ada di kota bergelar Paris Van Java tersebut. Dan sejujurnya, ‘siap’ itu mungkin tak akan pernah terjadi. Bukan rasa takut yang menghantuinya. Melainkan rasa malu yang teramat sangat. Kemana wajahnya akan ia surukkan di sana?Avicenna berdeham kecil di seberang telepon. “Char? Kamu denger, ‘kan? Gak ketiduran?”Charlotte terperanjat. Ia meneguk ludahnya kelat. “Ehm, iya, Sen... Keluargamu di Solo apa kabar? Sehat-sehat semua, ‘kan?” tanya sutradara film ‘Hope & Miracle’ itu terbata-bata.Terdengar helaan napas berat dari Avicenna. “Please, Char, work with me... You can’t dodge this situation just like that. It’s neither a game, nor finger snapping. You ought to face it! Menghindari sesuatu yang bahk
“Oh, mau berangkat sekarang, Mbak. Kalo gitu, hati-hati, yaa. Semoga selamat sampai tujuan. Fii amanillah,” sahut Charlotte kaku tapi matanya bergerak liar memindai sekitar. “Mbak cuma pergi sama Zidane dan Zayn. Naik bis dari depan Ma’had. Ustadz gak bisa ikut karena nguji kelas enam. Nara sibuk ujian, udah berangkat tadi pagi,” ucap Dea gamblang seolah mengerti kebingungan gadis yang terlihat manis dalam balutan mukena putih itu.Sekali lagi, dua manik Charlotte membola mendengar penuturan Dea. “Mbak mau saya anter ke Kediri? Kebetulan saya gak ada kegiatan, Senna belum balik dari Solo,” tawarnya tulus.Dea spontan menggeleng. “Gak apa-apa, Mbak udah biasa,” tuturnya getir. “Justru, selain pamitan, Mbak mau nitip Nara sama kamu, Char? Boleh?” Dea memohon penuh harap. “Jaga dan bimbing dia selama Mbak gak ada. Anggap Nara adik atau anak kamu sekalian.”Deg!Jantung Charlotte berdetak amat keras di dalam. Kenapa Dea tak henti-henti memintanya menjaga serta memb
Aaaaaaaaaa... “Astaga! Senna! Ngagetin aja! Kirain apaan,” pekik Charlotte dengan jantung berdegup kencang. “Ish, lagian kamu pake ngacungin sikat WC segala! Emang aku mirip feses apa,” sungut Avicenna tak kalah keras. “Yaa, lagian, kamu gak ketuk atau salam gitu. Main masuk aja!” debat Charlotte tak mau kalah. “Udah kali, Mbaakkk... Sampe serak, tapi gak dibuka-buka. Lagian aku juga pegang kunci sendiri, ‘kan? Terus, kenapa kamu kaget kalo aku tiba-tiba masuk sendiri?”Charlotte menggaruk pelipis yang tidak gatal menggunakan jari telunjuk. “Kaget, lhaa... Sebelum masuk kamar mandi sendirian, eh pas mau keluar ada suara ribut-ribut di kamar.” “Ooo, pantes, aku gedor-gedor gak dibuka. Pasti lagi semedi, ya?” tebak Avicenna yang hanya ditanggapi kekehan oleh Charlotte. “Ntar dilanjut ngobrolnya, aku kebelet.”Avicenna segera berlalu ke kamar mandi. Sementara Charlotte menunaikan salat Dzuhur. “Char, udah makan siang