“Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.” “Masa, sih?” “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!” “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!” “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ada Ustadz Fajri juga. Tapi percuma cantik, pinter, kalo berani gadai agama buat dunia fana. Padahal, banyak alumni sini bisa sukses tanpa perlu lepas kerudung. Dianya aja bego, buta dunia...”
Cukup sudah! Sepasang indera pendengar sekaligus hati Charlotte mendidih mendengar percakapan para asisten rumah tangga yang sedang menggosipkan dirinya itu. Meski sindiran mereka beralasan, ia tetap saja tidak terima. Napasnya memburu dengan tangan terkepal.
Ia ingin melangkah ke sebelah, menangkap basah mereka. Tapi cekalan tangan halus mencegahnya. Charlotte menoleh ke kanan dan mendapati Avicenna tersenyum lembut. Sahabatnya itu juga mengelus-elus pergelangan tangannya berulang kali.
“Gak usah didengerin. Mereka gak tau apa-apa. Cuma kamu yang tau, paham, dan ngerasain kepelikan yang kamu alami sendiri. Gak usah sibuk ngeladenin orang-orang negatif kayak mereka. Masih ada banyak hal yang lebih penting di hidup kamu. Masih banyak orang yang sayang sekaligus dukung kamu,” ucap Avicenna dengan nada lembut nan menenangkan.
Charlotte mengangguk mendengar kata-kata Avicenna. Ia menghela napas perlahan. Rasa dingin dari tangan basah sang sahabat cukup mampu meredam amarah yang tengah membumbung tinggi. Keduanya lekas menyelesaikan kegiatan mencuci itu. Charlotte tak ingin berdiam diri di sini lebih lama lagi.
Avicenna yang peka dengan perubahan suasana hati Charlotte sontak pamit undur diri. Setelah berbincang beberapa patah kata bersama Nurul, Avicenna segera menarik Charlotte dari sana.
********************
“Are you alright?” tanya Avicenna hati-hati. Ia memiringkan tubuh ke kiri agar dapat melihat wajah Charlotte yang menekuk sejak pulang dari rumah Wafiq.
Charlotte tak berkutik sedikit pun. Ia tetap setia di posisi telentangnya, menahan rinai air mata yang siap melesak dari sangkarnya hingga sepasang kelopak itu memanas. “Yeah, I’m good.” Ia menjawab tenang dan datar sekali, seolah tidak ada rasa maupun emosi dalam intonasinya.
Terdengar helaan napas berat Avicenna. “Char, jangan dimasukin ke hati kata-kata mereka tadi, ya?” pintanya lirih. Charlotte tak bergeming seinci pun. Di tengah pencahayaan temaram kamar, Avicenna melihat sahabatnya memejamkan mata rapat-rapat. Tapi ia tahu, Charlotte belum terlelap sama sekali. “Besok, pagi-pagi, ke pasar, yuk! Cari jajan,” ajaknya.
Rupanya, kalimat terakhir Avicenna mampu memantik atensi Charlotte. Perempuan itu sontak menyamping, menghadap ke ranjang di sebelah kanannya. Senyum di bibir tipisnya mengembang indah. “Pasar yang deket alun-alun kantor kecamatan?” tanya Charlotte antusias.
“Hm,” sahut Avicenna singkat.
“Ih, mauuu! Pengen beli jajan pasar yang ada di sana, Sen. Getuk langganan kita.”
Avicenna terkikik geli. “Iya, besok kita beli cenil, lupis, nagasari, bolu kukus, pukis, lumpia telor, sarang burung, semua yang kamu mau, deh!”
“Iya, kita beli semua macemnya. Aku kangen jajan pasar,” tukas Charlotte semangat.
“Iya, iya. Sekarang tidur, biar besok gak kesiangan pergi ke pasarnya,” titah Avicenna.
********************
“Guys, aku titip Aisyah bentar.” Naya berkata dengan wajah resah. “Khalisa pengen buang air kecil,” ucapnya seraya menggamit sang putri sulung yang tampak gelisah.
Charlotte dan Avicenna yang keasyikan memilih jajanan tradisional di pasar kontan menoleh ke tempat Naya berdiri. “Kamu mau bawa dia kemana?” tanya Charlotte celingukan mencari keberadaan toilet umum.
Sementara Avicenna menimang-nimang Aisyah yang digendongnya sejak dari wisma. Bayi sembilan bulan itu mulai gusar karena kegerahan. Ia sesekali merengek kecil dan minta diturunkan dari gendongan. Avicenna selalu sigap menepuk-nepuk punggung dan bokongnya.
“Itu, di musala sebelah sana,” tukas Naya menunjuk ke arah belakang mereka berdiri.
Charlotte mengangguk. “Nanti kita nyusul, ini bentar lagi selesai. Chat aja kalo ada apa-apa,” ujarnya. Naya dan sang putri segera beranjak meninggalkan Charlotte, Avicenna, dan Aisyah.
“Char, list yang kamu mau, udah kebeli semua?” tanya Avicenna pelan. Dalam gendongan jarik, sepasang manik mungil Aisyah menatap sayu dan kelopaknya mulai menyipit.
“Hum,” jawab Charlotte singkat. Ia mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menunjukkan betapa banyak belanjaan mereka di pasar pagi ini. Selain nostalgia kuliner khas Jawa Timur, perempuan itu juga membeli rempah kering guna dibawa pulang ke London.
Avicenna menggelengkan kepala melihat tas-tas belanja warna-warni yang digenggam sepasang tangan Charlotte. Banyak sekali! “Ya, udah, kita susul Mbak Naya sama Khalisa, yuk!”
“Lho, belanjanya udah selesai?” heran Naya melihat kedua temannya menyusul ke musala. Kedua tangannya cekatan membantu Khalisa memasang kaos kaki dan sepatu.
Avicenna terkekeh jahil. “Udah, Mbak Nay. Liat, sepasar dia borong semua,” ujarnya melirik Charlotte yang kesulitan membawa tas belanjaan dan shoulder bag bersamaan.
Charlotte mencebik. “Ish, kayak kamu gak belanja banyak. Ini hampir setengahnya punya kamu!” ketus perempuan keturunan Eropa-Indonesia itu. Meski jengkel, ia tetap tertawa kecil.
Naya tak habis pikir, waktu sepuluh tahun tidak merubah keduanya sama sekali. Di matanya, Charlotte dan Avicenna tetaplah duo tengil yang hobi ngemil. “Gak ada yang mau dibeli lagi, ‘kan? Kalo gak ada, pulang, yuk! Bapaknya anak-anak udah nungguin dari tadi.”
“Ayo, aku udah pesen ojol. Mobilnya parkir di depan pasar,” balas Charlotte.
Lima perempuan beda generasi itu berjalan beriringan menuju pintu keluar. Naya membawa beberapa kantung belanjaan dari tangan Charlotte sambil menggandeng telapak mungil Khalisa. Sementara Avicenna membawa tas kresek yang ringan. Namun, langkah mereka terhenti saat melihat kerumunan tepat di samping pintu keluar-masuk pasar. Kelimanya mendekat.
“Ngapunten, Bapak, Ibuk, ini ada apa?” tanya Naya menggunakan bahasa Jawa Inggil.
“Iki, Mbak, ada ibu-ibu pingsan. Sendirian lagi,” ujar salah satu dari mereka.
Charlotte, Avicenna, dan Naya membelalak saat tiga pasang netra mereka tertumbuk di titik pusat keramaian yang menampakkan seraut wajah yang cukup familier. Astaga!
“Astaga, Ustadzah Dea!” Charlotte memekik tatkala melihat sesosok tubuh yang tergeletak itu. “Pak, Bu, mohon maaf, bisa bantu saya bawa beliau ke RS terdekat?” “Itu ada Kang Bentor lagi bawa bentornya ke sini, Mbak. Bawa ke RSUD, deket ‘kok!”Charlotte mengangguk, lalu beralih ke dua sahabatnya. “Mbak Naya sama Senna balik duluan ke Ma’had, ya? Kasian itu anak-anak kecapean. Aku anter Ustadzah Dea ke RS. Ojolnya udah dibayar... Oh, tolong ke rumah Ustadz Fajri, kabarin istrinya masuk RSUD,” ucapnya.******************** “Mbak, mau ke pendaftaran atau IGD?” tanya sopir bentor tatkala mereka memasuki pelataran rumah sakit pemerintah kabupaten itu. “IGD, Pakde,” jawab Charlotte singkat.Beruntungnya, terdapat beberapa perawat melintas di depan gedung saat bentor tiba di teras Instalasi Gawat Darurat. Mereka sigap menolong dengan mengambil brankar lalu memindahkan tubuh Dea ke atasnya. Sebelum memasuki IGD, perempuan itu mengangsurkan selemb
Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana. “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang. “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi. “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan. “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjal
Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
Lagi-lagi, Dea mengulum senyum. “Gini, Nak, Kinara mau ikut tes IELTS. Katanya pengen lanjut kuliah ke Eropa. Tapi belum apa-apa udah loyo gini,” terang Dea melirik sang putri. “Ustadzah Charlotte pinter banget bahasa Inggrisnya. Di Ma’had, belum ada yang ngalahin skor beliau di segala jenis tes bahasa Inggris sampe sekarang. Ayah Fajri aja kalah. Mumpung di sini, Mbak Nara minta tolong diajarin sama Ustadzah Charlotte,” lanjut Dea.Tampak sekali Kinara sedang menimbang sesuatu. Detik berikutnya, ia mengangguk “Ok, kapan Ustadzah bisa ngajarin saya?” tanyanya menatap Charlotte lurus-lurus.Charlotte menaikkan kedua alisnya tak percaya. Ini adalah kali pertama Kinara berbicara padanya. “Sekarang juga boleh,” sahut Charlotte mantap. “Deal,” balas Kinara tak kalah antusias. “Ya, udah, Mbak Nara boleh belajar sama Ustadzah Charlotte. Tapi sebentar aja. Kasian Ustadzah kecapean ngurus Ibu seharian di rumah sakit.” Dea berucap seraya bangkit dari duduknya
“Oh, ya, aku ngubungin kamu dari tadi, mau ngasih tau sesuatu. Kamu mau sekalian aku pesenin tiket kereta ke Bandung, gak?” tanya Avicenna.Sesaat, Charlotte diam membisu. Kendati telah mengumbar janji, nyatanya ia masih saja meragu.Ia belum siap menghadapi segala sesuatu yang ada di kota bergelar Paris Van Java tersebut. Dan sejujurnya, ‘siap’ itu mungkin tak akan pernah terjadi. Bukan rasa takut yang menghantuinya. Melainkan rasa malu yang teramat sangat. Kemana wajahnya akan ia surukkan di sana?Avicenna berdeham kecil di seberang telepon. “Char? Kamu denger, ‘kan? Gak ketiduran?”Charlotte terperanjat. Ia meneguk ludahnya kelat. “Ehm, iya, Sen... Keluargamu di Solo apa kabar? Sehat-sehat semua, ‘kan?” tanya sutradara film ‘Hope & Miracle’ itu terbata-bata.Terdengar helaan napas berat dari Avicenna. “Please, Char, work with me... You can’t dodge this situation just like that. It’s neither a game, nor finger snapping. You ought to face it! Menghindari sesuatu yang bahk
“Oh, mau berangkat sekarang, Mbak. Kalo gitu, hati-hati, yaa. Semoga selamat sampai tujuan. Fii amanillah,” sahut Charlotte kaku tapi matanya bergerak liar memindai sekitar. “Mbak cuma pergi sama Zidane dan Zayn. Naik bis dari depan Ma’had. Ustadz gak bisa ikut karena nguji kelas enam. Nara sibuk ujian, udah berangkat tadi pagi,” ucap Dea gamblang seolah mengerti kebingungan gadis yang terlihat manis dalam balutan mukena putih itu.Sekali lagi, dua manik Charlotte membola mendengar penuturan Dea. “Mbak mau saya anter ke Kediri? Kebetulan saya gak ada kegiatan, Senna belum balik dari Solo,” tawarnya tulus.Dea spontan menggeleng. “Gak apa-apa, Mbak udah biasa,” tuturnya getir. “Justru, selain pamitan, Mbak mau nitip Nara sama kamu, Char? Boleh?” Dea memohon penuh harap. “Jaga dan bimbing dia selama Mbak gak ada. Anggap Nara adik atau anak kamu sekalian.”Deg!Jantung Charlotte berdetak amat keras di dalam. Kenapa Dea tak henti-henti memintanya menjaga serta memb