Share

Bab 3

“Rame banget,” lirih Charlotte.

            “Jasa almarhum buat Ma’had sama dunia pendidikan banyak. Otomatis kenalannya juga banyak,” sahut Avicenna yang diamini anggukan oleh Charlotte.

Selepas ibadah Ashar, dua perempuan lajang itu mendatangi rumah mendiang Wafiq. Laki-laki yang mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun itu merupakan wali kelas Charlotte di tahun terakhir pendidikannya di ma’had yang terletak di pelosok Provinsi Jawa Timur ini.

            “Masuk, yuk!” ajak Avicenna menggamit lengan kanan Charlotte.

Sejenak, Charlotte bergeming. Tubuhnya terpaku di tempatnya berdiri. Ia melirik rumah sederhana di depannya sekilas. Rasa ragu, segan, hingga takut itu tiba-tiba menggelayuti hatinya. Melihat orang-orang berkerumun di pelataran rumah membuat nyalinya ciut. Para pelayat itu adalah sosok besar nan penting negeri ini, terutama di kalangan Ma’had.

            “Nak, ‘kok gak masuk?” Seorang perempuan jelang usia 40-an menghampiri. Charlotte tersentak. Dari penampilannya, perempuan itu dipastikan istri salah satu ustadz kader di sini. Tunggu! Charlotte merasa tak asing dengan wajah lembut di hadapannya.

            “Ada Ustadzah Dea!” seru Avicenna. “Ustadzah sehat?” tanyanya akrab. Ia meraih tangan kanan perempuan berhijab hitam itu untuk disalami. Charlotte melakukan hal serupa.

            “Anak-anak kelasnya almarhum Ustadz Wafiq?” tebak perempuan tersebut.

            “Iya, Ustadzah. Pas kelas enam, mungkin antum gak kenal.  Ana Avicenna, ini Charlotte. Dia juga anak kelasnya Ustadz Fajri, 5D 2015,” jelasnya. “Char, inget wali kelas kamu pas kelas 5, gak? Ustadz Fajri? Ini istrinya, Ustadzah Dea, inget?” tanya Avicenna. Charlotte membisu.

            “Charlotte?” gumam Dea berpikir. “Oh, anak Ustadz Fajri yang bule sendiri. Apa kabar, Nak? Kamu kayaknya gak pernah main kesini. Padahal anak-anak angkatan 2015 sering, lho! Tapi Ibu gak pernah liat kamu,” ucapnya lalu memeluk dua gadis di depannya bergantian.

            “Iya, Ustadzah,” sahut Charlotte. Ia merasa canggung sekali.

            “Yuk, masuk! Pasti Ustadzah Nurul udah nungguin anak-anak kelas Ustadz Wafiq,” ajak Dea. Namun baru selangkah, ia meringis kesakitan yang membuat Charlotte dan Avicenna dilanda khawatir. “Gak apa-apa. Ada yang nendang dalem perut. Kesenengan ketemu ustadzah cantik,” ujarnya menenangkan. Tangan kanannya mengelus-elus perut lembut.

Dua perempuan lajang itu membelalak. Sejak tadi mereka terkecoh oleh gamis dan hijab longgar Dea yang sukses menyamarkan perut buncitnya. Telapak kanan Charlotte terulur. “Boleh?” tanyanya pelan yang diangguki Dea. Benar saja, ia merasakan pergerakan saat telapak tangannya menempel di permukaan perut yang tertutupi kain. “Berapa bulan Ustadzah?”

Dea tersenyum hangat. “Tinggal menghitung hari. Kalo ngikutin HPL, sekitar dua minggu lagi,” jawabnya dengan binar indah yang tercetak jelas di wajah ayunya.

Dua perempuan muda di samping kanan dan kiri Dea mengangguk paham. Mereka kemudian melanjutkan langkah secara perlahan hingga tubuh ketiganya memasuki kediaman Wafiq.

Di dalam, Nurul tengah menyambut tamu sembari berdiri. Perempuan paruh baya itu tampak pucat dan lesu sekali. Gurat kesedihan tampak jelas di wajah ayu nan keibuannya. Charlotte dan Avicenna lekas menghampiri. Sementara Dea beranjak ke dapur membantu ART memasak.

            “Ustadzah,” sapa Avicenna perlahan. Ia dan Charlotte meletakkan buah tangan di meja.

            “Lho, Senna, belum balik ke Bandung, Nak?” tanya Nurul lemah. Ibu berjilbab hitam itu memeluk Avicenna erat dan hangat. Sosoknya sebagai seorang istri ustadz kader memang sangat totalitas. Ia selalu menempatkan diri menjadi ‘ibu’ bagi anak-anak kelas sang suami.

            “Belum, ana ambil cuti seminggu. Masih kangen Ma’had,” jawab Avicenna tatkala pelukan mereka terurai. “Ustadzah inget sama Charlotte, gak?” Ia melirik Charlotte.

Atensi Nurul beralih ke perempuan muda di samping kiri Avicenna. Dahinya mengernyit, berusaha mengais memori inti otaknya. “Ya Allah, Charlotte!” pekiknya. “Kamu kemana aja, Nak? Kita hilang kontak bertahun-tahun. Ustadz sama Ustadzah ngubungin kamu setelah kejadian itu, kami khawatir.” Nurul mencecar dan memeluk Charlotte tak kalah erat.

Charlotte tergemap. Benarkah mantan wali kelas dan istrinya itu begitu mengkhawatirkannya selama ini? Yang ia tahu, isi pesan terakhir mereka, delapan tahun lalu, tidak mencela ataupun menghujat keputusannya. Mereka tetap memberikan cinta dan dukungan sebagai ‘orang tua’.

Perempuan keturunan Eropa itu memutuskan jalinan silaturahmi mereka karena sungkan. Ia takut citra almamater yang sudah terlampau baik ternoda akibat tindakan memalukannya. “HP sama nomer ana hilang Ustadzah. Terus gak sempet backup data,” kelit Charlotte beralibi.

Nurul mengulas senyum hangat dan mengelus pipi Charlotte lembut. “Kita duduk, yuk! Ustadzah pengen ngobrol banyak sama kalian,” ajaknya. Di antara rasa haru dan rindu, tiga perempuan lintas generasi itu membicarakan banyak hal. Tiga anak Wafiq dan Nurul ikut bergabung.

            “Nanti abis jamaah Maghrib di mesjid bapenta, kalian kesini lagi, ya? Kita makan malem sama-sama,” ajak Nurul penuh harap. Charlotte dan Avicenna tentu menyanggupi ajakannya.

********************

Hanna, putri bungsu Wafiq dan Nurul tiba-tiba membanting sendok yang sedang digenggamnya. “Wah, Ustadzah Avicenna sama Ustadzah Charlotte keren banget! Aku juga mau kayak gitu.” Remaja yang baru saja lulus dari pondok pesantren tahfidz setara Sekolah Menengah Atas itu memandang dua perempuan matang di depannya penuh kekaguman.

Charlotte dan Avicenna hanya mampu mengulas senyum canggung. Sementara Nurul tertawa kecil. “Adek kalo mau hebat kayak Ustadzah, harus rajin belajar, banyakin doa dan usaha. Kuliah setinggi-tingginya, kayak Ustadzah Charlotte sama Ustadzah Avicenna, sebelum usia dua lima udah lulus program doktoral,” ujar Nurul menyemangati anak perempuan satu-satunya itu.

Charlotte segera bangkit saat anak-anak Nurul membereskan meja makan. “Biar ana yang beresin Ustadzah.” Perempuan itu lekas meraih peralatan makan kotor dari tangan Nurul.

Nurul mengibaskan telapak kanannya. “Gak usah, masa tamu yang beres-beres,” sergahnya.

Charlotte maupun Avicenna tak menggubris kata-kata istri mendiang wali kelasnya itu. Mereka langsung berlalu ke dapur untuk mencuci piring. Keduanya mendapati beberapa asisten rumah tangga tengah memasak suguhan esok hari di dapur kotor, tepat di sebelah dapur bersih.

Meski sudah berlalu sepuluh tahun lalu, tata letak dapur rumah dinas Wafiq tidak banyak berubah. Yang paling mencolok adalah lemari pendingin dan dispenser tampak lebih modern dari sebelumnya. Dulu, Charlotte, Avicenna, beserta anak kelas lain hampir setiap minggu masuk kesini. Nurul sangat senang mengajak mereka memasak dan makan bersama-sama.

Tanpa suara, mereka berdua berbagi tugas dengan kompak seolah sudah terbiasa. Charlotte menyabuni perabotan kotor bekas makan malam. Sementara Avicenna membilas dan menatanya. Keduanya saling melempar senyum penuh arti, larut dalam perasaan nostalgia dari aktivitas ini.

Namun, tiba-tiba...

            “Oalah, serius Mbak Pur, tamu yang lagi makan di dalem sama Ibuk itu alumni yang viral karena lepas kerudung bertahun-tahun lalu? Pasti yang mukanya bule banget, ya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status