Share

Bab 3

Author: Aqeera Danish
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Rame banget,” lirih Charlotte.

            “Jasa almarhum buat Ma’had sama dunia pendidikan banyak. Otomatis kenalannya juga banyak,” sahut Avicenna yang diamini anggukan oleh Charlotte.

Selepas ibadah Ashar, dua perempuan lajang itu mendatangi rumah mendiang Wafiq. Laki-laki yang mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun itu merupakan wali kelas Charlotte di tahun terakhir pendidikannya di ma’had yang terletak di pelosok Provinsi Jawa Timur ini.

            “Masuk, yuk!” ajak Avicenna menggamit lengan kanan Charlotte.

Sejenak, Charlotte bergeming. Tubuhnya terpaku di tempatnya berdiri. Ia melirik rumah sederhana di depannya sekilas. Rasa ragu, segan, hingga takut itu tiba-tiba menggelayuti hatinya. Melihat orang-orang berkerumun di pelataran rumah membuat nyalinya ciut. Para pelayat itu adalah sosok besar nan penting negeri ini, terutama di kalangan Ma’had.

            “Nak, ‘kok gak masuk?” Seorang perempuan jelang usia 40-an menghampiri. Charlotte tersentak. Dari penampilannya, perempuan itu dipastikan istri salah satu ustadz kader di sini. Tunggu! Charlotte merasa tak asing dengan wajah lembut di hadapannya.

            “Ada Ustadzah Dea!” seru Avicenna. “Ustadzah sehat?” tanyanya akrab. Ia meraih tangan kanan perempuan berhijab hitam itu untuk disalami. Charlotte melakukan hal serupa.

            “Anak-anak kelasnya almarhum Ustadz Wafiq?” tebak perempuan tersebut.

            “Iya, Ustadzah. Pas kelas enam, mungkin antum gak kenal.  Ana Avicenna, ini Charlotte. Dia juga anak kelasnya Ustadz Fajri, 5D 2015,” jelasnya. “Char, inget wali kelas kamu pas kelas 5, gak? Ustadz Fajri? Ini istrinya, Ustadzah Dea, inget?” tanya Avicenna. Charlotte membisu.

            “Charlotte?” gumam Dea berpikir. “Oh, anak Ustadz Fajri yang bule sendiri. Apa kabar, Nak? Kamu kayaknya gak pernah main kesini. Padahal anak-anak angkatan 2015 sering, lho! Tapi Ibu gak pernah liat kamu,” ucapnya lalu memeluk dua gadis di depannya bergantian.

            “Iya, Ustadzah,” sahut Charlotte. Ia merasa canggung sekali.

            “Yuk, masuk! Pasti Ustadzah Nurul udah nungguin anak-anak kelas Ustadz Wafiq,” ajak Dea. Namun baru selangkah, ia meringis kesakitan yang membuat Charlotte dan Avicenna dilanda khawatir. “Gak apa-apa. Ada yang nendang dalem perut. Kesenengan ketemu ustadzah cantik,” ujarnya menenangkan. Tangan kanannya mengelus-elus perut lembut.

Dua perempuan lajang itu membelalak. Sejak tadi mereka terkecoh oleh gamis dan hijab longgar Dea yang sukses menyamarkan perut buncitnya. Telapak kanan Charlotte terulur. “Boleh?” tanyanya pelan yang diangguki Dea. Benar saja, ia merasakan pergerakan saat telapak tangannya menempel di permukaan perut yang tertutupi kain. “Berapa bulan Ustadzah?”

Dea tersenyum hangat. “Tinggal menghitung hari. Kalo ngikutin HPL, sekitar dua minggu lagi,” jawabnya dengan binar indah yang tercetak jelas di wajah ayunya.

Dua perempuan muda di samping kanan dan kiri Dea mengangguk paham. Mereka kemudian melanjutkan langkah secara perlahan hingga tubuh ketiganya memasuki kediaman Wafiq.

Di dalam, Nurul tengah menyambut tamu sembari berdiri. Perempuan paruh baya itu tampak pucat dan lesu sekali. Gurat kesedihan tampak jelas di wajah ayu nan keibuannya. Charlotte dan Avicenna lekas menghampiri. Sementara Dea beranjak ke dapur membantu ART memasak.

            “Ustadzah,” sapa Avicenna perlahan. Ia dan Charlotte meletakkan buah tangan di meja.

            “Lho, Senna, belum balik ke Bandung, Nak?” tanya Nurul lemah. Ibu berjilbab hitam itu memeluk Avicenna erat dan hangat. Sosoknya sebagai seorang istri ustadz kader memang sangat totalitas. Ia selalu menempatkan diri menjadi ‘ibu’ bagi anak-anak kelas sang suami.

            “Belum, ana ambil cuti seminggu. Masih kangen Ma’had,” jawab Avicenna tatkala pelukan mereka terurai. “Ustadzah inget sama Charlotte, gak?” Ia melirik Charlotte.

Atensi Nurul beralih ke perempuan muda di samping kiri Avicenna. Dahinya mengernyit, berusaha mengais memori inti otaknya. “Ya Allah, Charlotte!” pekiknya. “Kamu kemana aja, Nak? Kita hilang kontak bertahun-tahun. Ustadz sama Ustadzah ngubungin kamu setelah kejadian itu, kami khawatir.” Nurul mencecar dan memeluk Charlotte tak kalah erat.

Charlotte tergemap. Benarkah mantan wali kelas dan istrinya itu begitu mengkhawatirkannya selama ini? Yang ia tahu, isi pesan terakhir mereka, delapan tahun lalu, tidak mencela ataupun menghujat keputusannya. Mereka tetap memberikan cinta dan dukungan sebagai ‘orang tua’.

Perempuan keturunan Eropa itu memutuskan jalinan silaturahmi mereka karena sungkan. Ia takut citra almamater yang sudah terlampau baik ternoda akibat tindakan memalukannya. “HP sama nomer ana hilang Ustadzah. Terus gak sempet backup data,” kelit Charlotte beralibi.

Nurul mengulas senyum hangat dan mengelus pipi Charlotte lembut. “Kita duduk, yuk! Ustadzah pengen ngobrol banyak sama kalian,” ajaknya. Di antara rasa haru dan rindu, tiga perempuan lintas generasi itu membicarakan banyak hal. Tiga anak Wafiq dan Nurul ikut bergabung.

            “Nanti abis jamaah Maghrib di mesjid bapenta, kalian kesini lagi, ya? Kita makan malem sama-sama,” ajak Nurul penuh harap. Charlotte dan Avicenna tentu menyanggupi ajakannya.

********************

Hanna, putri bungsu Wafiq dan Nurul tiba-tiba membanting sendok yang sedang digenggamnya. “Wah, Ustadzah Avicenna sama Ustadzah Charlotte keren banget! Aku juga mau kayak gitu.” Remaja yang baru saja lulus dari pondok pesantren tahfidz setara Sekolah Menengah Atas itu memandang dua perempuan matang di depannya penuh kekaguman.

Charlotte dan Avicenna hanya mampu mengulas senyum canggung. Sementara Nurul tertawa kecil. “Adek kalo mau hebat kayak Ustadzah, harus rajin belajar, banyakin doa dan usaha. Kuliah setinggi-tingginya, kayak Ustadzah Charlotte sama Ustadzah Avicenna, sebelum usia dua lima udah lulus program doktoral,” ujar Nurul menyemangati anak perempuan satu-satunya itu.

Charlotte segera bangkit saat anak-anak Nurul membereskan meja makan. “Biar ana yang beresin Ustadzah.” Perempuan itu lekas meraih peralatan makan kotor dari tangan Nurul.

Nurul mengibaskan telapak kanannya. “Gak usah, masa tamu yang beres-beres,” sergahnya.

Charlotte maupun Avicenna tak menggubris kata-kata istri mendiang wali kelasnya itu. Mereka langsung berlalu ke dapur untuk mencuci piring. Keduanya mendapati beberapa asisten rumah tangga tengah memasak suguhan esok hari di dapur kotor, tepat di sebelah dapur bersih.

Meski sudah berlalu sepuluh tahun lalu, tata letak dapur rumah dinas Wafiq tidak banyak berubah. Yang paling mencolok adalah lemari pendingin dan dispenser tampak lebih modern dari sebelumnya. Dulu, Charlotte, Avicenna, beserta anak kelas lain hampir setiap minggu masuk kesini. Nurul sangat senang mengajak mereka memasak dan makan bersama-sama.

Tanpa suara, mereka berdua berbagi tugas dengan kompak seolah sudah terbiasa. Charlotte menyabuni perabotan kotor bekas makan malam. Sementara Avicenna membilas dan menatanya. Keduanya saling melempar senyum penuh arti, larut dalam perasaan nostalgia dari aktivitas ini.

Namun, tiba-tiba...

            “Oalah, serius Mbak Pur, tamu yang lagi makan di dalem sama Ibuk itu alumni yang viral karena lepas kerudung bertahun-tahun lalu? Pasti yang mukanya bule banget, ya?”

Related chapters

  • Suami Titipan   Bab 4

    “Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.” “Masa, sih?” “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!” “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!” “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ad

  • Suami Titipan   Bab 5

    “Astaga, Ustadzah Dea!” Charlotte memekik tatkala melihat sesosok tubuh yang tergeletak itu. “Pak, Bu, mohon maaf, bisa bantu saya bawa beliau ke RS terdekat?” “Itu ada Kang Bentor lagi bawa bentornya ke sini, Mbak. Bawa ke RSUD, deket ‘kok!”Charlotte mengangguk, lalu beralih ke dua sahabatnya. “Mbak Naya sama Senna balik duluan ke Ma’had, ya? Kasian itu anak-anak kecapean. Aku anter Ustadzah Dea ke RS. Ojolnya udah dibayar... Oh, tolong ke rumah Ustadz Fajri, kabarin istrinya masuk RSUD,” ucapnya.******************** “Mbak, mau ke pendaftaran atau IGD?” tanya sopir bentor tatkala mereka memasuki pelataran rumah sakit pemerintah kabupaten itu. “IGD, Pakde,” jawab Charlotte singkat.Beruntungnya, terdapat beberapa perawat melintas di depan gedung saat bentor tiba di teras Instalasi Gawat Darurat. Mereka sigap menolong dengan mengambil brankar lalu memindahkan tubuh Dea ke atasnya. Sebelum memasuki IGD, perempuan itu mengangsurkan selemb

  • Suami Titipan   Bab 6

    Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana. “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang. “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi. “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan. “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjal

  • Suami Titipan   Bab 7

    Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl

  • Suami Titipan   Bab 8

    ********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem

  • Suami Titipan   Bab 8

    ********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem

  • Suami Titipan   Bab 9

    Lagi-lagi, Dea mengulum senyum. “Gini, Nak, Kinara mau ikut tes IELTS. Katanya pengen lanjut kuliah ke Eropa. Tapi belum apa-apa udah loyo gini,” terang Dea melirik sang putri. “Ustadzah Charlotte pinter banget bahasa Inggrisnya. Di Ma’had, belum ada yang ngalahin skor beliau di segala jenis tes bahasa Inggris sampe sekarang. Ayah Fajri aja kalah. Mumpung di sini, Mbak Nara minta tolong diajarin sama Ustadzah Charlotte,” lanjut Dea.Tampak sekali Kinara sedang menimbang sesuatu. Detik berikutnya, ia mengangguk “Ok, kapan Ustadzah bisa ngajarin saya?” tanyanya menatap Charlotte lurus-lurus.Charlotte menaikkan kedua alisnya tak percaya. Ini adalah kali pertama Kinara berbicara padanya. “Sekarang juga boleh,” sahut Charlotte mantap. “Deal,” balas Kinara tak kalah antusias. “Ya, udah, Mbak Nara boleh belajar sama Ustadzah Charlotte. Tapi sebentar aja. Kasian Ustadzah kecapean ngurus Ibu seharian di rumah sakit.” Dea berucap seraya bangkit dari duduknya

  • Suami Titipan   Bab 10

    “Oh, ya, aku ngubungin kamu dari tadi, mau ngasih tau sesuatu. Kamu mau sekalian aku pesenin tiket kereta ke Bandung, gak?” tanya Avicenna.Sesaat, Charlotte diam membisu. Kendati telah mengumbar janji, nyatanya ia masih saja meragu.Ia belum siap menghadapi segala sesuatu yang ada di kota bergelar Paris Van Java tersebut. Dan sejujurnya, ‘siap’ itu mungkin tak akan pernah terjadi. Bukan rasa takut yang menghantuinya. Melainkan rasa malu yang teramat sangat. Kemana wajahnya akan ia surukkan di sana?Avicenna berdeham kecil di seberang telepon. “Char? Kamu denger, ‘kan? Gak ketiduran?”Charlotte terperanjat. Ia meneguk ludahnya kelat. “Ehm, iya, Sen... Keluargamu di Solo apa kabar? Sehat-sehat semua, ‘kan?” tanya sutradara film ‘Hope & Miracle’ itu terbata-bata.Terdengar helaan napas berat dari Avicenna. “Please, Char, work with me... You can’t dodge this situation just like that. It’s neither a game, nor finger snapping. You ought to face it! Menghindari sesuatu yang bahk

Latest chapter

  • Suami Titipan   Bab 45

    “Ruby seneng, bisa balik ke rumah ini, ke kamar Ruby dulu. Makasih Uwak,” sahutnya dengan suara bergetar. Ada debaran gila ketika akhirnya ia dapat menyebut nama keramat itu lagi.Lilis menaik-turunkan kepala dan mengulas senyum haru. “Uwak yang harus bilang makasih ke Neng. Neng Ruby udah mau pulang lagi ke sini, gak lupa sama Uwak, sama Eyang. Padahal, Neng udah sukses di luar negeri. Tapi, gak malu punya keluarga di Pangalengan.” Kini, sebelah tangannya menangkup pipi sementara tangan lain menggenggam tangan sang Keponakan.Astaga! Charlotte tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Bagaimana pun, Indonesia merupakan identitasnya, separuh bagian dari keutuhan dirinya. Indonesia adalah kampung halamannya. Ia sempat sengaja menampik itu semua karena perasaan malu yang tak berdasar. Ya, malu karena tindakan cerobohnya di masa lalu. Padahal, di sini semuanya baik-baik saja.Tanpa sadar, setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Charlotte. “Kenapa harus malu? Padahal Ruby yang udah

  • Suami Titipan   Bab 44

    “Char, kamu gak apa-apa... kalau aku tinggal sendiri? Kalau kamu belum siap, ikut pulang lagi, yuk! Bilang aja ke Uwak kamu kita ada acara Ma’had,” ujar Avicenna memastikan.Charlotte tersenyum manis untuk meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajah dan perkataan Avicenna. “Kamu tenang aja, aku bakalan baik-baik di sini,” jawabnya tenang.Avicenna menatap Charlotte intens. Lalu, perhatiannya beralih ke dalam toko di mana paman sahabatnya tengah serius meladeni pembeli. “Kalau ada apa-apa, cepet kabari aku, ya?” pintanya. “Pasti!” Charlotte mengangguk mantap. “Tenang aja, kamu ninggalin aku di rumah keluarga sendiri. Bukan di kandang harimau!” kelakar perempuan bermanik hazel tersebut. “Iya, sih. Tapi... aku tetep khawatir,” aku Avicenna jujur pada akhirnya. “Everything’s gonna be ok. Kamu cepetan pulang. Mau ke rumah Ibu, kan? Berangkat sana, takut kemaleman. Bahaya!” ujar Charlotte dengan nada risau yang teramat kentara.Avicenna hendak m

  • Suami Titipan   Bab 43

    “Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke

  • Suami Titipan   Bab 42

    “Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers

  • Suami Titipan   Bab 41

    “Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”

  • Suami Titipan   Bab 40

    “Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu

  • Suami Titipan   Bab 39

    Trang Tek PrangTrang Tek PrangTrang Tek PrangSuara gaduh seperti permukaan besi yang dipukul-pukul konstan perlahan memanggil kesadaran Charlotte yang tengah dibuai mimpi. Perempuan bersurai golden brown itu mengerjap beberapa kali. Untuk sepersekian detik, dahinya mengernyit kebingungan menatap keremangan sekitar. Dari arah luar, keriuhan yang berhasil membangunkannya kian jelas terdengar oleh rungu. “Astaga, aku lupa, aku di rumah Senna,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah nyawanya terkumpul, Charlotte beringsut turun dari pembaringan. Tujuan langkah pertamanya di pagi buta ini adalah kamar mandi untuk sekedar buang air kecil, cuci muka, dan gosok gigi. Perempuan berhidung bangir itu lekas keluar dari kamar yang ditidurinya semalam.Baru saja membuka pintu kamar, aroma lezat dari bumbu yang digoreng membelai manja indera penciuman Charlotte. Dari ambang pintu, perempuan jelita itu dapat menangkap siluet punggung seseorang yang tengah serius menekuni sesuatu di depan

  • Suami Titipan   Bab 38

    Kinara menggeleng pelan. “Ini, dari Mbah Uti buat Mbak Char sama Ustadzah Avicenna.” Gadis itu menyerahkan bungkusan yang sedari tadi digenggamnya erat. “Sarapan sama sedikit bekel.”Charlotte menerima tas kain berwarna merah itu dengan perasaan rikuh yang teramat sangat. “Duh, kita jadi ngerepotin,” ujar Avicenna tak kalah sungkan.Kinara tersenyum lebar. “Gak apa-apa Ustadzah. Mbah Uti juga seneng, kok,” tukasnya. “Tunggu!” Avicenna memekik tajam. “Kamu panggil Charlotte ‘Mbak’, kok aku masih dipangil Ustadzah?” Perempuan separuh Sunda itu protes tak terima.Charlotte dan Kinara terkikik geli. “Nara, kamu panggil Ustadzah Avicenna pakai ‘Ateu Senna’ atau ‘Ateu Gemoy’ aja, kayak keponakan-keponakan dia,” seloroh Charlotte sengaja menggoda. “Kalau Khalisa sama Aisyah pantes. Kalau Nara kegedean buat jadi keponakanku,” ketus Avicenna. Ia merebut bungkusan yang dibawa Kinara dari tangan Charlotte. “Buka, ya?” “Eh, malah lupa. Padahal ada m

  • Suami Titipan   Bab 37

    “Char! Char! Hellooo,” seru Avicenna memanggil Charlotte. Namun, sosok yang disebutkan tidak bergeming sama sekali. Ia terpaku dalam duduknya dengan dua alis menyatu. “Charlotte Eleanor Ruby Heinberg!” Avicenna menepuk sebelah bahu Charlotte.Charlotte tersentak. Rasanya seperti ada petir baru saja menyambar. “Gosh!” pekiknya terkejut. “Ya Allah, Char, dipanggilin dari tadi, gak nyaut-nyaut. Kamu kenapa subuh-subuh udah ngelamun?” Avicenna menggerakkan ibu jari dan jari telunjuknya membentuk sebuah capit di udara. Ia lalu mengurai tautan alis Charlotte yang tidak henti-hentinya melekat sedari tadi. “Gak apa-apa,” balas Charlotte ambigu. Perempuan bermanik hazel itu kembali memasukkan barang-barang ke dalam koper. Sementara khayalnya masih mengawang tinggi. “Saya pamit, Bu, Nara. Maturnuwun udah diterima dan dijamu dengan baik.” Charlotte tersenyum tulus lalu menyalami Simbah dan Kinara. Tiga perempuan lintas generasi itu saling berpeluka

DMCA.com Protection Status