Charlotte terpaku melihat pemandangan di luar. Tempat ini tak banyak berubah sejak ia meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Setelah dua jam perjalanan dari Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, perempuan itu akhirnya dapat kembali menikmati kawasan hutan jati yang melekat rapi dalam memori episodiknya.
Tumbuhan kayu-kayuan itu masih ranggas meski musim mulai memasuki masa penghujan. Charlotte membebatkan selendang di kepalanya kian rapat. Hanya dalam hitungan menit, ia akan menginjakkan kaki lagi di ‘rumah kedua’-nya kala menetap di Indonesia dulu.
“Miss, Ma’had Darussalam,” ucap sopir taksi seraya memutar tubuhnya ke belakang.
Charlotte tersentak dari lamunan. Ia kemudian mengulas senyum ramah. “Maaf, Pak, saya ngelamun. Ini kenapa kita gak masuk sampe parkiran dalem?”
“Lho, Miss bule bisa bahasa Indonesia?” pekik sang sopir kaget melihat perempuan berwajah khas Eropa kental namun lancar berbahasa Indonesia.
Charlotte tertawa kecil. “Saya juga bisa ngomong bahasa Sunda sama Jawa, Pak.”
Belum sempat sopir paruh baya itu membalas, kaca di samping kemudinya diketuk dari luar. Saat diturunkan, Charlotte melihat dua gadis remaja berseragam coklat. Salah satu dari mereka menghampiri kaca penumpang belakang.
“Pardon us Miss, We’re in grieve now. Salah satu guru senior kami baru saja wafat. Jadi, tidak sembarang tamu diperbolehkan masuk. Hanya keluarga, kerabat, dan beberapa alumni,” terangnya sopan menggunakan bahasa Inggris aksen American yang fasih sekali.
Charlotte tersenyum kecut. Ia buru-buru mencabut sebuah kartu usang yang tak pernah keluar dari dompetnya. “Ana khirrijah. Saya alumni,” ucapnya menyodorkan kartu tersebut.
Remaja putri yang Charlotte taksir merupakan santriwati senior itu terbelalak menerima Kartu Tanda Santri. ‘Charlotte Eleanor Ruby Heinnberg’. begitulah nama yang tertera. Nomor stambuknya pun masih puluhan ribu saat di masa kini telah mencapai ratusan ribu.
Di antara keterkejutan, suara perempuan menginterupsi. “Ustadzah Charlotte kenapa belum masuk? Afwan Ukhti, beliau anak kelasnya almarhum Ustadz Wafiq, sama kayak ana,” ujar perempuan berkerudung dan berbusana serba putih tersebut.
“Afwan Ustadzah Avicenna, ana gak tau,” balas santriwati itu kikuk.
Perempuan sebaya Charlotte itu mencebik. “Ish, padahal salah satu alumni putri inspiratif! Beliau ini penulis skrip sama sutradara film kenamaan Hollywood,” serunya menggebu-gebu.
“Udah, Senna, gak apa-apa. Aku mau turun di sini aja. Wismanya gak jauh, ‘kan?” Charlotte menyela. Ia lekas memindai QR Code yang tertempel di tengah dashboard mobil guna membayar tarif taksi.
“Hum,” jawab Avicenna. “Pak, maaf, bagasi,” ucap perempuan yang biasa disapa Senna itu. Ia gegas membuka pintu bagasi belakang dan mengeluarkan koper Charlotte.
“Siniin, Sen, berat banget itu koper.” Tangan kanan Charlotte terulur untuk meraih kopernya namun langsung ditepis Avicenna yang langsung menggeret tas beroda itu pergi.
“Hayuk, Char, terik banget ini!” seru Avicenna yang diekori Charlotte dengan pasrah. “Gimana kabar kamu?” Avicenna berhenti sejenak. Ia membetulkan lilitan selendang Charlotte yang sedikit terbuka di bagian depan, mempetontonkan leher dan dada yang putih bersih.
Selendang yang dikenakan Charlotte rupanya tersibak embusan angin yang berasal dari laju kendaraan roda dua. Motor yang dikendarai seorang laki-laki dari arah perumahan guru itu melaju kencang menuju gerbang keluar-masuk Ma’had. Sang pengemudi tampak buru-buru.
Charlotte terdiam. “Ish, kamu gak berubah. Selalu paling peka dan perhatian,” ucapnya.
“Lain kali, pake peniti atau jarum pentul.” Atensi Avicenna kemudian beralih ke arah pemotor yang tengah berusaha melintasi kepadatan jalan ke lajur seberang. “Padahal udah jelas, di lingkungan Ma’had gak boleh ngegas kendaraan kenceng-kenceng,” gumamnya.
“Keliatan lagi buru-buru banget bapak-nya,” tukas Charlotte ikut berkomentar.
Avicenna manggut-manggut. “Keliatannya mah, ustadz sini,” sahutnya yang diamini anggukan oleh Charlotte. “Eh, tapi, gagah banget kayaknya. Ituuu... Keliatan dari punggung sama bahunya. Bidang syekallliiihhh! seru Avicenna yang tentu mendapat delikan Charlotte.
“Hush! Mamnu’! Gimana kalau suami orang,” sungut Charlotte. Avicenna terkikik geli.
Mereka berdua kemudian melanjutkan langkah. “Ma’had beda banget, ya...” lirih Charlotte.
“Yup! Aku aja pangling setiap kali kesini. Padahal pernah cuma selang dua bulan, tapi udah banyak perubahan,” balas Avicenna.
Avicenna berbalik sebelum meniti undakan tangga di depan sebuah kamar wisma. “Maaf, tadi aku terpaksa bilang gitu ke santriwati. Aku tau kamu gak suka diekspos berlebihan. Biar mereka termotivasi aja, sih,” jelasnya.
Charlotte tersenyum. “Aku ngerti, ‘kok! Makasih udah selalu ada buat aku selama ini. Makasih kamu selalu dukung aku, meski aku ngecewain, tapi kamu masih bilang bangga,” ucapnya bergetar. “Tapi... apa orang-orang di sini juga bakalan ngerasain hal yang sama kayak kamu?”
Avicenna mengelus bahu Charlotte lembut. “Of course they will, Char. You’re such a gem!” tukasnya menyemangati. “Udah, yuk, masuk. Malah mellow di sini,” kekehnya lagi.
Perempuan yang sebenarnya berusia setahun lebih muda dari Charlotte itu memasukkan dan memutar anak kunci di lubang kunci. Seketika, pintu bernomor sebelas itu terkuak dan menampilkan ruangan serba putih yang diisi sepasang single bed dan lemari kayu dua pintu.
Avicenna meletakkan luggage dan carry-on baggage Charlotte yang menyatu di samping lemari. Sementara sang empunya memasuki kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangan.
“Char, kamu mau makan siang atau istirahat dulu?” tanya Avicenna tatkala Charlotte keluar dari bilik mandi. Perempuan mungil itu duduk di stool chair meja rias. “Ustadzah Nurul chat kalo beliau baru ada di rumah nanti sore,” lanjutnya seraya menggoyang ponsel di tangan.
Charlotte mendekat. Ia duduk di pinggiran salah satu ranjang, berhadapan langung dengan Avicenna. “Kamu sempet liat jenazah almarhum?” tanyanya lirih. Ia mengikat surai sepunggungnya menggunakan karet rambut hitam yang tersemat di pergelangan tangan.
Avicenna menggeleng. “Aku dateng pas salat jenazah. Yang ngikutin prosesi pemulasaran dari awal mah Mbak Naya ‘tuh. Dia juga yang bantu aku mesen kamar wisma ini,” terangnya lugas.
Charlotte mengangguk. “Aku mau makan siang dulu, deh. Kamu udah makan?”
Avicenna menggeleng. “Aku nungguin kamu. Kita makan di DLP Bapenta aja. Kebetulan menu hari ini favorit kita, terong kecap sama tumis sayur pakis,” ujar perempuan itu bersemangat.
Mata Charlotte berbinar. “Wah, aku kangen masakan itu. Bentar, aku ganti pake gamis dulu.”
Tangan kanan Avicenna mengibas. “Ish, gak usah. Pakaian kamu udah sopan, ‘kok. Tinggal pake kerudung. Aku pake rok karena baru masuk ke dalem, abis main ke taman belakang,” jelasnya. Ia meneliti penampilan Charlotte yang mengenakan loose pant hitam dan dress lilac motif bunga.
“Ok. Tapi ajarin pake kerudungnya, ya!” seru Charlotte seraya bangkit mendekati koper.
“Siap!” sahut Avicenna tengil dan bersemangat. Charlotte hanya terkikik geli melihatnya.
“Rame banget,” lirih Charlotte. “Jasa almarhum buat Ma’had sama dunia pendidikan banyak. Otomatis kenalannya juga banyak,” sahut Avicenna yang diamini anggukan oleh Charlotte.Selepas ibadah Ashar, dua perempuan lajang itu mendatangi rumah mendiang Wafiq. Laki-laki yang mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun itu merupakan wali kelas Charlotte di tahun terakhir pendidikannya di ma’had yang terletak di pelosok Provinsi Jawa Timur ini. “Masuk, yuk!” ajak Avicenna menggamit lengan kanan Charlotte.Sejenak, Charlotte bergeming. Tubuhnya terpaku di tempatnya berdiri. Ia melirik rumah sederhana di depannya sekilas. Rasa ragu, segan, hingga takut itu tiba-tiba menggelayuti hatinya. Melihat orang-orang berkerumun di pelataran rumah membuat nyalinya ciut. Para pelayat itu adalah sosok besar nan penting negeri ini, terutama di kalangan Ma’had. “Nak, ‘kok gak masuk?” Seorang perempuan jelang usia 40-an menghampiri. Charlotte tersentak. Dari penampilannya,
“Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.” “Masa, sih?” “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!” “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!” “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ad
“Astaga, Ustadzah Dea!” Charlotte memekik tatkala melihat sesosok tubuh yang tergeletak itu. “Pak, Bu, mohon maaf, bisa bantu saya bawa beliau ke RS terdekat?” “Itu ada Kang Bentor lagi bawa bentornya ke sini, Mbak. Bawa ke RSUD, deket ‘kok!”Charlotte mengangguk, lalu beralih ke dua sahabatnya. “Mbak Naya sama Senna balik duluan ke Ma’had, ya? Kasian itu anak-anak kecapean. Aku anter Ustadzah Dea ke RS. Ojolnya udah dibayar... Oh, tolong ke rumah Ustadz Fajri, kabarin istrinya masuk RSUD,” ucapnya.******************** “Mbak, mau ke pendaftaran atau IGD?” tanya sopir bentor tatkala mereka memasuki pelataran rumah sakit pemerintah kabupaten itu. “IGD, Pakde,” jawab Charlotte singkat.Beruntungnya, terdapat beberapa perawat melintas di depan gedung saat bentor tiba di teras Instalasi Gawat Darurat. Mereka sigap menolong dengan mengambil brankar lalu memindahkan tubuh Dea ke atasnya. Sebelum memasuki IGD, perempuan itu mengangsurkan selemb
Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana. “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang. “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi. “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan. “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjal
Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
Lagi-lagi, Dea mengulum senyum. “Gini, Nak, Kinara mau ikut tes IELTS. Katanya pengen lanjut kuliah ke Eropa. Tapi belum apa-apa udah loyo gini,” terang Dea melirik sang putri. “Ustadzah Charlotte pinter banget bahasa Inggrisnya. Di Ma’had, belum ada yang ngalahin skor beliau di segala jenis tes bahasa Inggris sampe sekarang. Ayah Fajri aja kalah. Mumpung di sini, Mbak Nara minta tolong diajarin sama Ustadzah Charlotte,” lanjut Dea.Tampak sekali Kinara sedang menimbang sesuatu. Detik berikutnya, ia mengangguk “Ok, kapan Ustadzah bisa ngajarin saya?” tanyanya menatap Charlotte lurus-lurus.Charlotte menaikkan kedua alisnya tak percaya. Ini adalah kali pertama Kinara berbicara padanya. “Sekarang juga boleh,” sahut Charlotte mantap. “Deal,” balas Kinara tak kalah antusias. “Ya, udah, Mbak Nara boleh belajar sama Ustadzah Charlotte. Tapi sebentar aja. Kasian Ustadzah kecapean ngurus Ibu seharian di rumah sakit.” Dea berucap seraya bangkit dari duduknya