“Haruskah kamu pergi kali ini, Honey?”
Charlotte menghentikan gerakan jemarinya yang tengah menutup zipper clutch bag khusus berisi visa, paspor, dan dokumen penting lain. Perempuan itu mengalihkan perhatian ke arah lantai, ia mendesah perlahan. “Luke, please, kita sudah membahas hal ini sepanjang hari. Keputusanku tidak dapat diganggu gugat, aku harus pergi,” ucapnya lirih dengan intonasi pasti.
Luke mendengus kasar. “Well, aku tahu. Tapi untuk apa kamu pergi? Lagipula, saat kamu sampai ke sana, dia sudah dikebumikan. Kamu tidak akan melihatnya.” Laki-laki berusia 33 tahun itu bangkit meninggalkan koper yang tengah ia bereskan di lantai. Ia melangkah gontai ke arah tempat tidur dimana Charlotte berada dan duduk tepat di samping sang gadis.
“Setidaknya, aku bisa melihat pusaranya, bertemu dengan pihak keluarga. Mengucapkan bela sungkawa dan mendoakannya langsung,” kukuh Charlotte tak ingin goyah.
Luke menggeleng pelan. “Ok, aku hargai ketulusanmu itu. Tetapi, apakah kamu akan disambut baik di sana? It’s been ten years, Darl! Apakah semuanya akan sama seperti dulu? Apalagi setelah semua hal yang kamu lewati selama ini? Apa mereka bisa menerimamu dengan tangan terbuka? Pikirkan semua itu, Lottie!” cecar Luke frustrasi.
“Dan lagi, jika alasanmu hanya ingin melihat pusaranya, kamu bisa melihatnya nanti. Saat kamu pergi ke sana untuk menghadiri reuni akbar satu abad. Itu hanya berjarak enam bulan dari sekarang,” sambung Luke keras kepala. Pemuda jangkung itu lagi-lagi mendesah kasar.
Charlotte menatap dalam sepasang manik biru laut milik Luke. “Listen, aku tidak akan mengulanginya lagi setelah ini. Mendiang dan istrinya adalah orang baik. Mereka memperlakukanku seperti anak sendiri. Mereka mau memahamiku yang berbeda dari anak lain. Bahkan, mereka tetap memberikan cinta dan dukungan saat aku membuat keputusan yang mengecewakan seluruh keluarga dan sahabat di sana,” ucapnya dengan suara bergetar. Sepasang mata dengan pupil hazel yang indah itu mulai mengembun oleh cairan.
Laki-laki berambut pirang itu mengangguk. Ia luluh. Kedua tangannya menyelipkan surai golden brown Charlotte yang tersulur di dua sisi pipi ke balik cuping telinga. Telapak tangan kokoh itu berakhir bertengger di dua bahu sempit sang kekasih. “Forgive me, sweetheart. Aku hanya khawatir padamu,” lirihnya. “Aku... hanya ketakutan,” aku Luke dengan jujur.
“Why?” Kening Charlotte mengernyit bingung mendengar pengakuan pujaan hatinya.
Luke meremas lembut sepasang bahu Charlotte. Ia meneliti manik indahnya intens. “Entah ini hanya perasaanku saja atau memang firasat buruk. Aku takut kamu tidak pulang. Aku takut kamu tidak kembali ke pelukanku setelah melakukan perjalanan ini. Apalagi setelah melihat isi kopermu, ada banyak sekali busana panjang dan penutup kepala di dalamnya,” ucapnya sendu.
Charlotte mengulas senyum hangat. “Hey, kamu bicara apa? Aku pasti kembali secepat mungkin. Anggap saja aku sedang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melakukan syuting seperti biasa. Setelah proses pengambilan gambar selesai, aku pasti pulang. Aku akan secepatnya kembali ke sini bahkan sampai kamu tidak menyadari kepergianku,” ujarnya riang.
Luke menatap seraut wajah cantik di depannya. Mencari kebohongan atau keraguan di sana. Beruntungnya, ia hanya melihat kejujuran dan kesungguhan yang mendamaikan hatinya. Refleks ia merengkuh tubuh sang kekasih dalam dekapan erat. “Promise?” tagihnya menuntut.
Charlotte terkesiap. Bukan kali ini saja Luke memeluknya seperti ini. Tapi tetap saja, gadis itu tidak terbiasa, dan memang membatasi skinship yang berlebihan. Mereka belum terikat janji sakral. Mereka tidak diperbolehkan berduaan apalagi bersentuhan. Itu pikirnya.
Sejauh apapun perempuan 28 tahun itu melangkah, sebanyak apapun melanggar dan tidak menjalankan perintah ataupun ajaran, serumit apapun jalannya yang tersesat, ia masih memegang teguh keyakinan yang dianutnya. Terutama dalam hal berhubungan dengan lawan jenis.
Namun malam ini, Charlotte membalas pelukan Luke. Ia dapat merasakan dekapan itu benar-benar menawarkan kehangatan dan kenyamanan. Laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama tujuh tahun itu hanya sedang menyalurkan sebentuk rasa cinta dan kasih sayang.
“Promise. I’ll be home soon,” desis Charlotte tepat di samping telinga Luke yang tengah melabuhkan kepala di pundak kirinya. Ia mengelus punggung bidang nan kokoh laki-laki itu untuk meredam ketakutan, keresahan, dan segala ketidaknyamanan dalam diri kekasihnya.
Pelukan hangat dalam dinginnya angin awal musim gugur itu bertahan hingga bermenit-menit lamanya. Tubuh Charlotte tiba-tiba tersentak kala sebuah benda kenyal mengecupi batang lehernya. Benda lembut itu bahkan tak segan menyesap kuat-kuat kulit di bagian ceruknya.
Napas perempuan itu memburu gelisah. Sepasang tangannya refleks terulur ke depan, menekan dada berotot Luke, lalu mendorongnya pelan. “Please, jangan seperti ini. Kita sudah sepakat,” ucapnya penuh penekanan. “Sorry, I don’t feel right about this,”
Luke terbisu menatap Charlotte yang menunduk dalam. “Ok, I appreciate it. Jadi, mari kita menikah secepat mungkin,” ajaknya antusias. Ia tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi.
Charlotte membeku. Ia semakin ragu mengangkat wajahnya. Gadis itu akhirnya bangkit dari pembaringan lalu berdiri memunggungi Luke. “Ini sudah larut malam. Maaf, kamu harus pulang. Lagipula, aku ingin istirahat. Jadwal penerbangan pesawatku pagi-pagi sekali,” ucapnya berjongkok seraya membereskan luggage dan carry-on baggage yang masih berserak di lantai.
Laki-laki itu terpaku lalu mendesahkan napasnya pelan. “Baik, aku pulang dulu. Besok, jangan pesan taksi. Aku yang akan mengantarmu ke bandara,” titah Luke sembari melangkah keluar dari kamar Charlotte dengan lunglai. Ia melewati gadisnya begitu saja tanpa ucapan selamat malam.
********************
Pagi-pagi sekali Luke sudah tiba di kediaman Charlotte. Perempuan itu menyempatkan diri membuat garlic toast, salmon panggang, salad, dan espresso untuk sarapan mereka berdua. Obrolan semalam yang berakhir tidak baik rupanya bertahan hingga pagi hari.
Tetapi. rasa cinta Luke untuk Charlotte terlampau besar daripada rasa kesalnya. Ia tidak bisa membiarkan gadisnya kesulitan menyetir atau menaiki taksi komersil, hingga membawa koper besar sendirian. Setidaknya saat sang kekasih masih di sini. Masih ada dalam jangkauannya.
“Tunggu aku pulang,” ujar Charlotte saat Luke menurunkannya di drop point.
Laki-laki di belakang kemudi itu hanya mengangguk sekilas dengan tatapan lurus ke depan. Sebelum kebisuan ini, Luke selalu menunggui jadwal keberangkatan Charlotte meski hanya tinggal sepersekian detik. Laki-laki itu selalu menanti moda transportasi yang dinaiki kekasihnya pergi. Tapi kali ini tidak. Ia lekas memacu kuda besinya keluar dari teras bandara.
Seiring deru mesin pesawat yang lepas landas meninggalkan Heathrow International Airport, pikiran Charlotte mengawang jauh ke atas sana. Penampakan kota London yang dihiasi pencakar langit, istana, dan gedung-gedung megah lainnya kian kabur bersamaan dengan perasaannya yang lebur. Sudah tepatkah langkahnya kali ini? Pantaskah ia ‘pulang’ setelah sekian lama?
Charlotte terpaku melihat pemandangan di luar. Tempat ini tak banyak berubah sejak ia meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Setelah dua jam perjalanan dari Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, perempuan itu akhirnya dapat kembali menikmati kawasan hutan jati yang melekat rapi dalam memori episodiknya.Tumbuhan kayu-kayuan itu masih ranggas meski musim mulai memasuki masa penghujan. Charlotte membebatkan selendang di kepalanya kian rapat. Hanya dalam hitungan menit, ia akan menginjakkan kaki lagi di ‘rumah kedua’-nya kala menetap di Indonesia dulu. “Miss, Ma’had Darussalam,” ucap sopir taksi seraya memutar tubuhnya ke belakang.Charlotte tersentak dari lamunan. Ia kemudian mengulas senyum ramah. “Maaf, Pak, saya ngelamun. Ini kenapa kita gak masuk sampe parkiran dalem?” “Lho, Miss bule bisa bahasa Indonesia?” pekik sang sopir kaget melihat perempuan berwajah khas Eropa kental namun lancar berbahasa Indonesia.Charlotte tertawa kecil. “Saya juga bisa
“Rame banget,” lirih Charlotte. “Jasa almarhum buat Ma’had sama dunia pendidikan banyak. Otomatis kenalannya juga banyak,” sahut Avicenna yang diamini anggukan oleh Charlotte.Selepas ibadah Ashar, dua perempuan lajang itu mendatangi rumah mendiang Wafiq. Laki-laki yang mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun itu merupakan wali kelas Charlotte di tahun terakhir pendidikannya di ma’had yang terletak di pelosok Provinsi Jawa Timur ini. “Masuk, yuk!” ajak Avicenna menggamit lengan kanan Charlotte.Sejenak, Charlotte bergeming. Tubuhnya terpaku di tempatnya berdiri. Ia melirik rumah sederhana di depannya sekilas. Rasa ragu, segan, hingga takut itu tiba-tiba menggelayuti hatinya. Melihat orang-orang berkerumun di pelataran rumah membuat nyalinya ciut. Para pelayat itu adalah sosok besar nan penting negeri ini, terutama di kalangan Ma’had. “Nak, ‘kok gak masuk?” Seorang perempuan jelang usia 40-an menghampiri. Charlotte tersentak. Dari penampilannya,
“Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.” “Masa, sih?” “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!” “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!” “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ad
“Astaga, Ustadzah Dea!” Charlotte memekik tatkala melihat sesosok tubuh yang tergeletak itu. “Pak, Bu, mohon maaf, bisa bantu saya bawa beliau ke RS terdekat?” “Itu ada Kang Bentor lagi bawa bentornya ke sini, Mbak. Bawa ke RSUD, deket ‘kok!”Charlotte mengangguk, lalu beralih ke dua sahabatnya. “Mbak Naya sama Senna balik duluan ke Ma’had, ya? Kasian itu anak-anak kecapean. Aku anter Ustadzah Dea ke RS. Ojolnya udah dibayar... Oh, tolong ke rumah Ustadz Fajri, kabarin istrinya masuk RSUD,” ucapnya.******************** “Mbak, mau ke pendaftaran atau IGD?” tanya sopir bentor tatkala mereka memasuki pelataran rumah sakit pemerintah kabupaten itu. “IGD, Pakde,” jawab Charlotte singkat.Beruntungnya, terdapat beberapa perawat melintas di depan gedung saat bentor tiba di teras Instalasi Gawat Darurat. Mereka sigap menolong dengan mengambil brankar lalu memindahkan tubuh Dea ke atasnya. Sebelum memasuki IGD, perempuan itu mengangsurkan selemb
Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana. “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang. “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi. “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan. “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjal
Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
“Ruby seneng, bisa balik ke rumah ini, ke kamar Ruby dulu. Makasih Uwak,” sahutnya dengan suara bergetar. Ada debaran gila ketika akhirnya ia dapat menyebut nama keramat itu lagi.Lilis menaik-turunkan kepala dan mengulas senyum haru. “Uwak yang harus bilang makasih ke Neng. Neng Ruby udah mau pulang lagi ke sini, gak lupa sama Uwak, sama Eyang. Padahal, Neng udah sukses di luar negeri. Tapi, gak malu punya keluarga di Pangalengan.” Kini, sebelah tangannya menangkup pipi sementara tangan lain menggenggam tangan sang Keponakan.Astaga! Charlotte tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Bagaimana pun, Indonesia merupakan identitasnya, separuh bagian dari keutuhan dirinya. Indonesia adalah kampung halamannya. Ia sempat sengaja menampik itu semua karena perasaan malu yang tak berdasar. Ya, malu karena tindakan cerobohnya di masa lalu. Padahal, di sini semuanya baik-baik saja.Tanpa sadar, setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Charlotte. “Kenapa harus malu? Padahal Ruby yang udah
“Char, kamu gak apa-apa... kalau aku tinggal sendiri? Kalau kamu belum siap, ikut pulang lagi, yuk! Bilang aja ke Uwak kamu kita ada acara Ma’had,” ujar Avicenna memastikan.Charlotte tersenyum manis untuk meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajah dan perkataan Avicenna. “Kamu tenang aja, aku bakalan baik-baik di sini,” jawabnya tenang.Avicenna menatap Charlotte intens. Lalu, perhatiannya beralih ke dalam toko di mana paman sahabatnya tengah serius meladeni pembeli. “Kalau ada apa-apa, cepet kabari aku, ya?” pintanya. “Pasti!” Charlotte mengangguk mantap. “Tenang aja, kamu ninggalin aku di rumah keluarga sendiri. Bukan di kandang harimau!” kelakar perempuan bermanik hazel tersebut. “Iya, sih. Tapi... aku tetep khawatir,” aku Avicenna jujur pada akhirnya. “Everything’s gonna be ok. Kamu cepetan pulang. Mau ke rumah Ibu, kan? Berangkat sana, takut kemaleman. Bahaya!” ujar Charlotte dengan nada risau yang teramat kentara.Avicenna hendak m
“Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke
“Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers
“Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”
“Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu
Trang Tek PrangTrang Tek PrangTrang Tek PrangSuara gaduh seperti permukaan besi yang dipukul-pukul konstan perlahan memanggil kesadaran Charlotte yang tengah dibuai mimpi. Perempuan bersurai golden brown itu mengerjap beberapa kali. Untuk sepersekian detik, dahinya mengernyit kebingungan menatap keremangan sekitar. Dari arah luar, keriuhan yang berhasil membangunkannya kian jelas terdengar oleh rungu. “Astaga, aku lupa, aku di rumah Senna,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah nyawanya terkumpul, Charlotte beringsut turun dari pembaringan. Tujuan langkah pertamanya di pagi buta ini adalah kamar mandi untuk sekedar buang air kecil, cuci muka, dan gosok gigi. Perempuan berhidung bangir itu lekas keluar dari kamar yang ditidurinya semalam.Baru saja membuka pintu kamar, aroma lezat dari bumbu yang digoreng membelai manja indera penciuman Charlotte. Dari ambang pintu, perempuan jelita itu dapat menangkap siluet punggung seseorang yang tengah serius menekuni sesuatu di depan
Kinara menggeleng pelan. “Ini, dari Mbah Uti buat Mbak Char sama Ustadzah Avicenna.” Gadis itu menyerahkan bungkusan yang sedari tadi digenggamnya erat. “Sarapan sama sedikit bekel.”Charlotte menerima tas kain berwarna merah itu dengan perasaan rikuh yang teramat sangat. “Duh, kita jadi ngerepotin,” ujar Avicenna tak kalah sungkan.Kinara tersenyum lebar. “Gak apa-apa Ustadzah. Mbah Uti juga seneng, kok,” tukasnya. “Tunggu!” Avicenna memekik tajam. “Kamu panggil Charlotte ‘Mbak’, kok aku masih dipangil Ustadzah?” Perempuan separuh Sunda itu protes tak terima.Charlotte dan Kinara terkikik geli. “Nara, kamu panggil Ustadzah Avicenna pakai ‘Ateu Senna’ atau ‘Ateu Gemoy’ aja, kayak keponakan-keponakan dia,” seloroh Charlotte sengaja menggoda. “Kalau Khalisa sama Aisyah pantes. Kalau Nara kegedean buat jadi keponakanku,” ketus Avicenna. Ia merebut bungkusan yang dibawa Kinara dari tangan Charlotte. “Buka, ya?” “Eh, malah lupa. Padahal ada m
“Char! Char! Hellooo,” seru Avicenna memanggil Charlotte. Namun, sosok yang disebutkan tidak bergeming sama sekali. Ia terpaku dalam duduknya dengan dua alis menyatu. “Charlotte Eleanor Ruby Heinberg!” Avicenna menepuk sebelah bahu Charlotte.Charlotte tersentak. Rasanya seperti ada petir baru saja menyambar. “Gosh!” pekiknya terkejut. “Ya Allah, Char, dipanggilin dari tadi, gak nyaut-nyaut. Kamu kenapa subuh-subuh udah ngelamun?” Avicenna menggerakkan ibu jari dan jari telunjuknya membentuk sebuah capit di udara. Ia lalu mengurai tautan alis Charlotte yang tidak henti-hentinya melekat sedari tadi. “Gak apa-apa,” balas Charlotte ambigu. Perempuan bermanik hazel itu kembali memasukkan barang-barang ke dalam koper. Sementara khayalnya masih mengawang tinggi. “Saya pamit, Bu, Nara. Maturnuwun udah diterima dan dijamu dengan baik.” Charlotte tersenyum tulus lalu menyalami Simbah dan Kinara. Tiga perempuan lintas generasi itu saling berpeluka