“Haruskah kamu pergi kali ini, Honey?”
Charlotte menghentikan gerakan jemarinya yang tengah menutup zipper clutch bag khusus berisi visa, paspor, dan dokumen penting lain. Perempuan itu mengalihkan perhatian ke arah lantai, ia mendesah perlahan. “Luke, please, kita sudah membahas hal ini sepanjang hari. Keputusanku tidak dapat diganggu gugat, aku harus pergi,” ucapnya lirih dengan intonasi pasti.
Luke mendengus kasar. “Well, aku tahu. Tapi untuk apa kamu pergi? Lagipula, saat kamu sampai ke sana, dia sudah dikebumikan. Kamu tidak akan melihatnya.” Laki-laki berusia 33 tahun itu bangkit meninggalkan koper yang tengah ia bereskan di lantai. Ia melangkah gontai ke arah tempat tidur dimana Charlotte berada dan duduk tepat di samping sang gadis.
“Setidaknya, aku bisa melihat pusaranya, bertemu dengan pihak keluarga. Mengucapkan bela sungkawa dan mendoakannya langsung,” kukuh Charlotte tak ingin goyah.
Luke menggeleng pelan. “Ok, aku hargai ketulusanmu itu. Tetapi, apakah kamu akan disambut baik di sana? It’s been ten years, Darl! Apakah semuanya akan sama seperti dulu? Apalagi setelah semua hal yang kamu lewati selama ini? Apa mereka bisa menerimamu dengan tangan terbuka? Pikirkan semua itu, Lottie!” cecar Luke frustrasi.
“Dan lagi, jika alasanmu hanya ingin melihat pusaranya, kamu bisa melihatnya nanti. Saat kamu pergi ke sana untuk menghadiri reuni akbar satu abad. Itu hanya berjarak enam bulan dari sekarang,” sambung Luke keras kepala. Pemuda jangkung itu lagi-lagi mendesah kasar.
Charlotte menatap dalam sepasang manik biru laut milik Luke. “Listen, aku tidak akan mengulanginya lagi setelah ini. Mendiang dan istrinya adalah orang baik. Mereka memperlakukanku seperti anak sendiri. Mereka mau memahamiku yang berbeda dari anak lain. Bahkan, mereka tetap memberikan cinta dan dukungan saat aku membuat keputusan yang mengecewakan seluruh keluarga dan sahabat di sana,” ucapnya dengan suara bergetar. Sepasang mata dengan pupil hazel yang indah itu mulai mengembun oleh cairan.
Laki-laki berambut pirang itu mengangguk. Ia luluh. Kedua tangannya menyelipkan surai golden brown Charlotte yang tersulur di dua sisi pipi ke balik cuping telinga. Telapak tangan kokoh itu berakhir bertengger di dua bahu sempit sang kekasih. “Forgive me, sweetheart. Aku hanya khawatir padamu,” lirihnya. “Aku... hanya ketakutan,” aku Luke dengan jujur.
“Why?” Kening Charlotte mengernyit bingung mendengar pengakuan pujaan hatinya.
Luke meremas lembut sepasang bahu Charlotte. Ia meneliti manik indahnya intens. “Entah ini hanya perasaanku saja atau memang firasat buruk. Aku takut kamu tidak pulang. Aku takut kamu tidak kembali ke pelukanku setelah melakukan perjalanan ini. Apalagi setelah melihat isi kopermu, ada banyak sekali busana panjang dan penutup kepala di dalamnya,” ucapnya sendu.
Charlotte mengulas senyum hangat. “Hey, kamu bicara apa? Aku pasti kembali secepat mungkin. Anggap saja aku sedang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melakukan syuting seperti biasa. Setelah proses pengambilan gambar selesai, aku pasti pulang. Aku akan secepatnya kembali ke sini bahkan sampai kamu tidak menyadari kepergianku,” ujarnya riang.
Luke menatap seraut wajah cantik di depannya. Mencari kebohongan atau keraguan di sana. Beruntungnya, ia hanya melihat kejujuran dan kesungguhan yang mendamaikan hatinya. Refleks ia merengkuh tubuh sang kekasih dalam dekapan erat. “Promise?” tagihnya menuntut.
Charlotte terkesiap. Bukan kali ini saja Luke memeluknya seperti ini. Tapi tetap saja, gadis itu tidak terbiasa, dan memang membatasi skinship yang berlebihan. Mereka belum terikat janji sakral. Mereka tidak diperbolehkan berduaan apalagi bersentuhan. Itu pikirnya.
Sejauh apapun perempuan 28 tahun itu melangkah, sebanyak apapun melanggar dan tidak menjalankan perintah ataupun ajaran, serumit apapun jalannya yang tersesat, ia masih memegang teguh keyakinan yang dianutnya. Terutama dalam hal berhubungan dengan lawan jenis.
Namun malam ini, Charlotte membalas pelukan Luke. Ia dapat merasakan dekapan itu benar-benar menawarkan kehangatan dan kenyamanan. Laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama tujuh tahun itu hanya sedang menyalurkan sebentuk rasa cinta dan kasih sayang.
“Promise. I’ll be home soon,” desis Charlotte tepat di samping telinga Luke yang tengah melabuhkan kepala di pundak kirinya. Ia mengelus punggung bidang nan kokoh laki-laki itu untuk meredam ketakutan, keresahan, dan segala ketidaknyamanan dalam diri kekasihnya.
Pelukan hangat dalam dinginnya angin awal musim gugur itu bertahan hingga bermenit-menit lamanya. Tubuh Charlotte tiba-tiba tersentak kala sebuah benda kenyal mengecupi batang lehernya. Benda lembut itu bahkan tak segan menyesap kuat-kuat kulit di bagian ceruknya.
Napas perempuan itu memburu gelisah. Sepasang tangannya refleks terulur ke depan, menekan dada berotot Luke, lalu mendorongnya pelan. “Please, jangan seperti ini. Kita sudah sepakat,” ucapnya penuh penekanan. “Sorry, I don’t feel right about this,”
Luke terbisu menatap Charlotte yang menunduk dalam. “Ok, I appreciate it. Jadi, mari kita menikah secepat mungkin,” ajaknya antusias. Ia tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi.
Charlotte membeku. Ia semakin ragu mengangkat wajahnya. Gadis itu akhirnya bangkit dari pembaringan lalu berdiri memunggungi Luke. “Ini sudah larut malam. Maaf, kamu harus pulang. Lagipula, aku ingin istirahat. Jadwal penerbangan pesawatku pagi-pagi sekali,” ucapnya berjongkok seraya membereskan luggage dan carry-on baggage yang masih berserak di lantai.
Laki-laki itu terpaku lalu mendesahkan napasnya pelan. “Baik, aku pulang dulu. Besok, jangan pesan taksi. Aku yang akan mengantarmu ke bandara,” titah Luke sembari melangkah keluar dari kamar Charlotte dengan lunglai. Ia melewati gadisnya begitu saja tanpa ucapan selamat malam.
********************
Pagi-pagi sekali Luke sudah tiba di kediaman Charlotte. Perempuan itu menyempatkan diri membuat garlic toast, salmon panggang, salad, dan espresso untuk sarapan mereka berdua. Obrolan semalam yang berakhir tidak baik rupanya bertahan hingga pagi hari.
Tetapi. rasa cinta Luke untuk Charlotte terlampau besar daripada rasa kesalnya. Ia tidak bisa membiarkan gadisnya kesulitan menyetir atau menaiki taksi komersil, hingga membawa koper besar sendirian. Setidaknya saat sang kekasih masih di sini. Masih ada dalam jangkauannya.
“Tunggu aku pulang,” ujar Charlotte saat Luke menurunkannya di drop point.
Laki-laki di belakang kemudi itu hanya mengangguk sekilas dengan tatapan lurus ke depan. Sebelum kebisuan ini, Luke selalu menunggui jadwal keberangkatan Charlotte meski hanya tinggal sepersekian detik. Laki-laki itu selalu menanti moda transportasi yang dinaiki kekasihnya pergi. Tapi kali ini tidak. Ia lekas memacu kuda besinya keluar dari teras bandara.
Seiring deru mesin pesawat yang lepas landas meninggalkan Heathrow International Airport, pikiran Charlotte mengawang jauh ke atas sana. Penampakan kota London yang dihiasi pencakar langit, istana, dan gedung-gedung megah lainnya kian kabur bersamaan dengan perasaannya yang lebur. Sudah tepatkah langkahnya kali ini? Pantaskah ia ‘pulang’ setelah sekian lama?
Charlotte terpaku melihat pemandangan di luar. Tempat ini tak banyak berubah sejak ia meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Setelah dua jam perjalanan dari Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, perempuan itu akhirnya dapat kembali menikmati kawasan hutan jati yang melekat rapi dalam memori episodiknya.Tumbuhan kayu-kayuan itu masih ranggas meski musim mulai memasuki masa penghujan. Charlotte membebatkan selendang di kepalanya kian rapat. Hanya dalam hitungan menit, ia akan menginjakkan kaki lagi di ‘rumah kedua’-nya kala menetap di Indonesia dulu. “Miss, Ma’had Darussalam,” ucap sopir taksi seraya memutar tubuhnya ke belakang.Charlotte tersentak dari lamunan. Ia kemudian mengulas senyum ramah. “Maaf, Pak, saya ngelamun. Ini kenapa kita gak masuk sampe parkiran dalem?” “Lho, Miss bule bisa bahasa Indonesia?” pekik sang sopir kaget melihat perempuan berwajah khas Eropa kental namun lancar berbahasa Indonesia.Charlotte tertawa kecil. “Saya juga bisa
“Rame banget,” lirih Charlotte. “Jasa almarhum buat Ma’had sama dunia pendidikan banyak. Otomatis kenalannya juga banyak,” sahut Avicenna yang diamini anggukan oleh Charlotte.Selepas ibadah Ashar, dua perempuan lajang itu mendatangi rumah mendiang Wafiq. Laki-laki yang mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun itu merupakan wali kelas Charlotte di tahun terakhir pendidikannya di ma’had yang terletak di pelosok Provinsi Jawa Timur ini. “Masuk, yuk!” ajak Avicenna menggamit lengan kanan Charlotte.Sejenak, Charlotte bergeming. Tubuhnya terpaku di tempatnya berdiri. Ia melirik rumah sederhana di depannya sekilas. Rasa ragu, segan, hingga takut itu tiba-tiba menggelayuti hatinya. Melihat orang-orang berkerumun di pelataran rumah membuat nyalinya ciut. Para pelayat itu adalah sosok besar nan penting negeri ini, terutama di kalangan Ma’had. “Nak, ‘kok gak masuk?” Seorang perempuan jelang usia 40-an menghampiri. Charlotte tersentak. Dari penampilannya,
“Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.” “Masa, sih?” “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!” “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!” “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ad
“Astaga, Ustadzah Dea!” Charlotte memekik tatkala melihat sesosok tubuh yang tergeletak itu. “Pak, Bu, mohon maaf, bisa bantu saya bawa beliau ke RS terdekat?” “Itu ada Kang Bentor lagi bawa bentornya ke sini, Mbak. Bawa ke RSUD, deket ‘kok!”Charlotte mengangguk, lalu beralih ke dua sahabatnya. “Mbak Naya sama Senna balik duluan ke Ma’had, ya? Kasian itu anak-anak kecapean. Aku anter Ustadzah Dea ke RS. Ojolnya udah dibayar... Oh, tolong ke rumah Ustadz Fajri, kabarin istrinya masuk RSUD,” ucapnya.******************** “Mbak, mau ke pendaftaran atau IGD?” tanya sopir bentor tatkala mereka memasuki pelataran rumah sakit pemerintah kabupaten itu. “IGD, Pakde,” jawab Charlotte singkat.Beruntungnya, terdapat beberapa perawat melintas di depan gedung saat bentor tiba di teras Instalasi Gawat Darurat. Mereka sigap menolong dengan mengambil brankar lalu memindahkan tubuh Dea ke atasnya. Sebelum memasuki IGD, perempuan itu mengangsurkan selemb
Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana. “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang. “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi. “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan. “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjal
Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya.Fajri terdiam sesaat. Meski keduanya telah membina rumah tangga nyaris delapan belas tahun, laki-laki itu tetap tak dapat memahami sang istri, cinta, dan bahkan hatinya sendiri. Pernikahan mereka berjalan tanpa berlandaskan karsa selaras. Terkadang, Fajri pun kebingungan terhadap apa yang membuat ikatan sakralnya bersama Dea langgeng selama belasan tahun. “Ayo kita pulang sekarang. Keburu malem. Kasian anak-anak di rumah,” ajak Fajri.Dea tersenyum semringah mendengar keputusan sang suami. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu hampa mendapati kenyataan Fajri masih saja dingin terhadapnya. Jangankan berusaha membujuk, laki-laki itu bahkan belum mau membuka hati untuknya meski perannya sebagai suami dan ayah terlaksana teramat baik. Dan Dea sangat bersyukur untuk hal tersebut.Fajri sigap membereskan barang-barang lalu menarik wheelchair yang teronggok manis di sudut ruangan. Ia menggendong tubuh Dea hati-hati ala bridal styl
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem
********************Seusai sesi makan malam, Charlotte pastinya membantu Dea dan Kinara membereskan sisa-sisa jamuan mereka. Berbeda dari saat di meja makan tadi, remaja putri berusia jelang delapan belas tahun itu justru enggan melihat Charlotte. Ia seakan menghindari interaksi apapun dengan mantan santriwati ayahnya itu. Mereka melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. “Aduh, Ibu duduk sebentar, ya Nak,” ujar Dea mendudukkan diri di atas kursi plastik. Tangan kirinya terulur ke belakang, menekan pinggang. Sementara tangan kanannya mengelus perut yang menggembung. “Dua minggu lagi kempes, nih. Dedek sehat-sehat, ya,” gumamnya.Charlotte memerhatikan ibu hamil itu dengan seulas senyum. Hatinya menghangat setiap kali melihat rona kebahagiaan dari calon orang tua. Ia bahkan sering mengunjungi rumah sakit atau klinik Ibu dan Anak hanya untuk melihat aura positif ibu hamil ataupun kelahiran. Apakah orang tuanya seperti itu dulu? Lantas, mengapa dirinya belum pernah bertem