Semua Bab Istri Siri Tuan Pewaris: Bab 61 - Bab 70

86 Bab

Bertemu Majikan Baru

Sesuai rencana, Celia menutup toko lebih cepat. Dia mengajak Ranum ke apartemen tempat tinggal keponakannya. Wanita paruh baya itu mengendarai mobil pick up. Tak ada rasa risi atau minder, saat memarkirkan kendaraan tersebut di antara mobil-mobil mewah yang berderet rapi di tempat parkir khusus pengunjung.“Ini sangat kebetulan. Keponakan saya sedang ada di sini,” ucap Celia, seraya mengajak Ranum masuk. Sikapnya teramat luwes, saat menyapa para petugas lobi. Sepertinya, dia sudah dikenal oleh mereka. “Bu Celia sering kemari?” tanya Ranum, setelah berada dalam lift. “Tidak juga. Saya lebih senang menghabiskan waktu di toko. Biasanya jam tujuh atau jam delapan malam baru tutup,” jelas Celia, seraya menekan tombol dengan angka yang merupakan lantai teratas.“Tapi, Anda juga membuka toko pagi-pagi. Apa tidak lelah?” tanya Ranum sopan. Celia tersenyum kecil. “Mau apa lagi? Anak-anak saya sudah besar. Mereka memiliki kesibukan masing-masing."“Lalu, suami Anda?” tanya Ranum lagi.Celia
Baca selengkapnya

Pergi Jauh

“Ba-Bandung?” ulang Ranum terbata.Bastian mengangguk tenang. “Saya membutuhkan juru masak baru untuk dipekerjakan di rumah. Bukan di sini,” jelasnya penuh wibawa. “Oh.” Ranum manggut-manggut. “Artinya saya akan ikut Anda ke Bandung?”“Jika kamu bersedia.”Ranum mengangguk setuju. “Saya membutuhkan pekerjaan. Jadi, tidak masalah akan ditempatkan di mana pun.” “Baiklah.” Bastian mengeluarkan telepon genggam dari saku celana cargo pendek yang dikenakannya. “Silakan lanjutkan.” Pria itu berlalu dari dapur, sambil menjawab panggilan telepon. Sepeninggal Bastian, Ranum mulai mengolah beberapa bahan yang sudah tersedia. Meskipun sedikit kesulitan karena kondisinya yang tengah hamil besar, tetapi dia tetap melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Namun, tiba-tiba ingatan Ranum tertuju pada beberapa waktu yang lalu, saat memasak berdua di apartemen milik Windraya. “Ah ….” Keluhan pendek meluncur dari bibir Ranum. Melakukan aktivitas sedikit saja, tubuhnya langsung merasa lelah. Namun,
Baca selengkapnya

Gertakan Tak Berguna

“Duda?” ulang Ranum.Susi mengangguk. “Saya yang mengasuh Chichi dari semenjak berusia satu tahun sampai sekarang.” Dia sudah selesai menyeduh susu. “Memangnya ke mana istri Pak Bas?” tanya Ranum lagi penasaran. “Setahu saya, istri Pak Bastian meninggal beberapa bulan setelah melahirkan. Sampai sekarang, beliau memutuskan hidup menduda dan fokus merawat Chichi. Saya rasa, Pak Bastian sangat mencintai mendiang istrinya,” tutur Susi terdengar meyakinkan. Wanita muda itu sudah hendak membuka mulut. Akan tetapi, segera diurungkan setelah mendengar suara deheman pelan seseorang. Titin muncul di sana. Dia merupakan ART senior di kediaman Bastian. “Hm, masih pagi. Kalian sudah bergosip,” ujarnya. Dia menatap Ranum yang tersenyum, lalu kembali pada pekerjaan. “Teh Ranum sedang apa?” tanyanya.“Menyiapkan sarapan, Mbak,” jawab Ranum, seraya menoleh sekilas. “Oh. Ya, sudah. Silakan lanjutkan,” ucapnya. Dia berbalik hendak keluar dari dapur. Namun, saat tiba di ambang pintu, wanita paruh bay
Baca selengkapnya

Harapan yang Menipis

“Apa maksudmu, Mas? Kamu mengancamku?”Windraya menanggapi dengan senyum sinis, lalu menggeleng pelan. “Seharusnya kamu tahu diri. Aku punya uang dan kekuasaan. Jika bukan karena kasihan, kamu tidak akan pernah berada di sini. Aku menyesal karena tidak mendengar larangan mama yang tak pernah menyukaimu. Seharusnya, dulu tak perlu bersikap berlebihan sampai menikahi. Cukup kuberikan sejumlah uang dan —”“Kita menjalani rumah tangga selama dua tahun, Mas! Sebelum Ranum hadir dan menjadi orang ketiga di antara kita, kamu tidak pernah bersikap seperti ini. Kamu bahkan selalu bersikap baik, manis ….”“Jangan melibatkan Ranum dalam masalah ini!” sergah Windraya penuh penekanan. “Ini adalah urusan kita berdua. Dengan atau tanpa adanya dia, aku harus menyele
Baca selengkapnya

Kesan Pertama

Windraya masuk ke mobil. Namun, dia tak langsung menyalakan mesin kendaraan dengan tampilan gagah itu. Pengusaha tampan tersebut termenung beberapa saat, memikirkan tempat yang kira-kira dituju oleh Ranum. Akan tetapi, Windraya tidak terlalu mengenal istri keduanya. Dia tak memiliki bayangan sedikit pun  tentang wanita muda itu. “Ranum …,” desah Windraya pelan, seraya menyandarkan kepala. Embusan napas berat mengiringi keresahan putra sulung Nindira tersebut. “Kamu di mana?”Sekali lagi, Windraya mengembuskan napas berat sambil menyalakan mesin mobil. Diiringi tatapan Ainur dan para wanita paruh baya yang tengah berkumpul, SUV hitam itu melaju gagah meninggalkan kawasan pemukiman tempat tinggal Ainur. Siang yang panas, berganti sore dengan cuaca cerah. Sekitar pukul em
Baca selengkapnya

Kenangan yang Menyiksa

“Hai, Ran. Ini nomor siapa?” tanya Juwita semringah, mendengar suara sahabat lamanya. Wanita muda itu terdiam mendengar apa yang Ranum katakan, sambil sesekali mengernyitkan kening. “Ya, ampun,” ucap Juwita, dengan ekspresi tak percaya. Entah apa yang Ranum katakan. Sesaat kemudian, wanita muda itu manggut-manggut. “Baiklah. Kamu yang betah di sana. Nanti kabari aku lagi, ya. Dah.” Juwita mengakhiri perbincangan singkat itu. Dia memasukkan kembali telepon genggam ke dalam tas. Tatapan wanita cantik berpenampilan seksi dengan pakaian serba ketat tersebut tertuju ke depan, pada lalu lintas ibukota yang padat. “Selalu begini setiap sore,” keluh Juwita pelan. “Siapa tadi?” tanya Marcell, pura-pura tak mengenal Ranum. “Teman lama. Kami satu sekolah, satu kelas dan teman sebangku. BFF,” sahut Juwita dengan wajah semringah. Tampak jelas ketulusan dari sorot matanya, saat mengatakan itu. Marcell menggumam pelan, lalu tersenyum kalem. “Pasti senang memiliki teman baik seperti itu,” ujarn
Baca selengkapnya

Tua Keladi

“Kenapa Papa memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’?” tanya Annchi, ketika selesai berenang dengan sang ayah. “Memangnya kenapa?” Bastian balik bertanya. “Aku memanggilnya ‘Teh Ranum’. Sama seperti ‘Teh Susi’. Kenapa Papa tidak memanggilnya ‘teh’?” Annchi duduk di tepian kolam, sambil memainkan kaki dalam air. “Apa itu masalah besar?” Bastian yang duduk di sebelah sang putri, kembali turun ke kolam. “Papa ingin berenang sekali lagi,” ujarnya. “Tapi, aku sudah kedinginan, Pa.”Bastian yang sudah ke tengah, menoleh. “Tetap di tempatmu,” pesannya. 
Baca selengkapnya

Aroma Kerinduan

Windraya menatap Rania beberapa saat. “Di mana mobilmu?” tanyanya.“Aku tidak membawa mobil. Tadinya, aku datang kemari dengan Pak Tjandra. Namun, tiba-tiba dia menerima telepon dari istrinya. Jadi, begitulah.” Rania tertawa renyah. “Aku tidak mau menempatkan diri dalam masalah,” ujar wanita itu lagi. Windraya mengangguk. “Masuklah,” ucapnya, seraya memberi isyarat dengan gerak kepala. Dia membiarkan Rania membuka pintu sendiri. “Apa kamu akan langsung pulang?” tanya Rania, setelah duduk nyaman di jok sebelah Windraya. “Ya. Memangnya kenapa?” Windraya balik bertanya. “Tidak apa-apa. Kupikir kita bisa minum kopi dulu sebentar,” jawab Rania, seraya menyilangkan kaki. Alhasil, rok pendeknya pun makin terangkat. “Aku ingin bicara sesuatu tentang Mayla.”“Aku tidak punya urusan lagi dengannya,” balas Windraya datar, seraya melajukan kendaraan. “Ya, aku tahu itu. Namun, kurasa Mayla sangat tertekan dengan keadaan yang menimpanya saat ini.”Windraya tidak menanggapi. Dia tetap fokus men
Baca selengkapnya

Tiba Waktunya

“Jawa Barat?” ulang Windraya. “Seluas apa wilayah Jawa Barat? Bisakah kamu persempit? Maksudku secara spesifik.” Windraya duduk di tepian tempat tidur, dengan hanya mengenakan handuk. “Um … untuk urusan itu saya … saya belum mendapat informasi spesifik. Namun, akan saya usahakan secepatnya, Pak.”“Bagus. Aku yakin kamu bisa diandalkan. Kabari lagi bila ada perkembangan.”“Baik, Pak. Bagaimana dengan Pak Anwar Kuncoro? Apakah sudah memberikan laporan terbaru?” tanya Marcell. “Belum. Aku sedang menunggu,” sahut Windraya. “Jika dalam minggu ini dia tak menghubungiku, maka aku yang akan menghubunginya terlebih dulu.”
Baca selengkapnya

Kelahiran Sang Bayi

Sementara itu, Bastian baru tiba di rumah beberapa saat setelah Ranum dibawa ke rumah sakit. Dia heran karena suasana terasa lebih sepi dibanding biasanya. Sebelum melakukan apa pun, Bastian lebih dulu masuk ke kamar Annchi. Sang putri masih tidur siang. Bastian tak berani mengganggu. Dia hanya meletakkan oleh-oleh yang dibawa dari luar kota, di meja sebelah tempat tidur. Pria itu beranjak ke pintu. Ketika akan membukanya, Susi muncul dari walk in closet. “Pak,” sapa Susi teramat sopan. Bastian tertegun, lalu menoleh. “Sejak kapan Chichi tidur?” tanyanya. “Sekitar setengah jam yang lalu, Pak,” jawab Susi. “Bi Titin sedang mengantar Teh Ranum ke rumah sakit. Sepertinya, dia akan melahirkan.” “Di rumah sakit mana?” tanya Bastian lagi penasaran. “Saya kurang tahu jadinya dibawa ke mana. Bi Titin belum ada memberi kabar lagi,” jawab Susi. Bastian mengangguk. “Biar saya hubungi,” ucapnya, seraya beranjak keluar kamar. Sambil melangkah menyusuri koridor, dia menghubungi Titin. “Iya,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status