“Ba-Bandung?” ulang Ranum terbata.Bastian mengangguk tenang. “Saya membutuhkan juru masak baru untuk dipekerjakan di rumah. Bukan di sini,” jelasnya penuh wibawa. “Oh.” Ranum manggut-manggut. “Artinya saya akan ikut Anda ke Bandung?”“Jika kamu bersedia.”Ranum mengangguk setuju. “Saya membutuhkan pekerjaan. Jadi, tidak masalah akan ditempatkan di mana pun.” “Baiklah.” Bastian mengeluarkan telepon genggam dari saku celana cargo pendek yang dikenakannya. “Silakan lanjutkan.” Pria itu berlalu dari dapur, sambil menjawab panggilan telepon. Sepeninggal Bastian, Ranum mulai mengolah beberapa bahan yang sudah tersedia. Meskipun sedikit kesulitan karena kondisinya yang tengah hamil besar, tetapi dia tetap melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Namun, tiba-tiba ingatan Ranum tertuju pada beberapa waktu yang lalu, saat memasak berdua di apartemen milik Windraya. “Ah ….” Keluhan pendek meluncur dari bibir Ranum. Melakukan aktivitas sedikit saja, tubuhnya langsung merasa lelah. Namun,
“Duda?” ulang Ranum.Susi mengangguk. “Saya yang mengasuh Chichi dari semenjak berusia satu tahun sampai sekarang.” Dia sudah selesai menyeduh susu. “Memangnya ke mana istri Pak Bas?” tanya Ranum lagi penasaran. “Setahu saya, istri Pak Bastian meninggal beberapa bulan setelah melahirkan. Sampai sekarang, beliau memutuskan hidup menduda dan fokus merawat Chichi. Saya rasa, Pak Bastian sangat mencintai mendiang istrinya,” tutur Susi terdengar meyakinkan. Wanita muda itu sudah hendak membuka mulut. Akan tetapi, segera diurungkan setelah mendengar suara deheman pelan seseorang. Titin muncul di sana. Dia merupakan ART senior di kediaman Bastian. “Hm, masih pagi. Kalian sudah bergosip,” ujarnya. Dia menatap Ranum yang tersenyum, lalu kembali pada pekerjaan. “Teh Ranum sedang apa?” tanyanya.“Menyiapkan sarapan, Mbak,” jawab Ranum, seraya menoleh sekilas. “Oh. Ya, sudah. Silakan lanjutkan,” ucapnya. Dia berbalik hendak keluar dari dapur. Namun, saat tiba di ambang pintu, wanita paruh bay
“Apa maksudmu, Mas? Kamu mengancamku?”Windraya menanggapi dengan senyum sinis, lalu menggeleng pelan. “Seharusnya kamu tahu diri. Aku punya uang dan kekuasaan. Jika bukan karena kasihan, kamu tidak akan pernah berada di sini. Aku menyesal karena tidak mendengar larangan mama yang tak pernah menyukaimu. Seharusnya, dulu tak perlu bersikap berlebihan sampai menikahi. Cukup kuberikan sejumlah uang dan —”“Kita menjalani rumah tangga selama dua tahun, Mas! Sebelum Ranum hadir dan menjadi orang ketiga di antara kita, kamu tidak pernah bersikap seperti ini. Kamu bahkan selalu bersikap baik, manis ….”“Jangan melibatkan Ranum dalam masalah ini!” sergah Windraya penuh penekanan. “Ini adalah urusan kita berdua. Dengan atau tanpa adanya dia, aku harus menyele
Windraya masuk ke mobil. Namun, dia tak langsung menyalakan mesin kendaraan dengan tampilan gagah itu. Pengusaha tampan tersebut termenung beberapa saat, memikirkan tempat yang kira-kira dituju oleh Ranum. Akan tetapi, Windraya tidak terlalu mengenal istri keduanya. Dia tak memiliki bayangan sedikit pun tentang wanita muda itu.“Ranum …,” desah Windraya pelan, seraya menyandarkan kepala. Embusan napas berat mengiringi keresahan putra sulung Nindira tersebut. “Kamu di mana?”Sekali lagi, Windraya mengembuskan napas berat sambil menyalakan mesin mobil. Diiringi tatapan Ainur dan para wanita paruh baya yang tengah berkumpul, SUV hitam itu melaju gagah meninggalkan kawasan pemukiman tempat tinggal Ainur.Siang yang panas, berganti sore dengan cuaca cerah. Sekitar pukul em
“Hai, Ran. Ini nomor siapa?” tanya Juwita semringah, mendengar suara sahabat lamanya. Wanita muda itu terdiam mendengar apa yang Ranum katakan, sambil sesekali mengernyitkan kening. “Ya, ampun,” ucap Juwita, dengan ekspresi tak percaya. Entah apa yang Ranum katakan. Sesaat kemudian, wanita muda itu manggut-manggut. “Baiklah. Kamu yang betah di sana. Nanti kabari aku lagi, ya. Dah.” Juwita mengakhiri perbincangan singkat itu. Dia memasukkan kembali telepon genggam ke dalam tas. Tatapan wanita cantik berpenampilan seksi dengan pakaian serba ketat tersebut tertuju ke depan, pada lalu lintas ibukota yang padat. “Selalu begini setiap sore,” keluh Juwita pelan. “Siapa tadi?” tanya Marcell, pura-pura tak mengenal Ranum. “Teman lama. Kami satu sekolah, satu kelas dan teman sebangku. BFF,” sahut Juwita dengan wajah semringah. Tampak jelas ketulusan dari sorot matanya, saat mengatakan itu. Marcell menggumam pelan, lalu tersenyum kalem. “Pasti senang memiliki teman baik seperti itu,” ujarn
“Kenapa Papa memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’?” tanya Annchi, ketika selesai berenang dengan sang ayah.“Memangnya kenapa?” Bastian balik bertanya.“Aku memanggilnya ‘Teh Ranum’. Sama seperti ‘Teh Susi’. Kenapa Papa tidak memanggilnya ‘teh’?” Annchi duduk di tepian kolam, sambil memainkan kaki dalam air.“Apa itu masalah besar?” Bastian yang duduk di sebelah sang putri, kembali turun ke kolam. “Papa ingin berenang sekali lagi,” ujarnya.“Tapi, aku sudah kedinginan, Pa.”Bastian yang sudah ke tengah, menoleh. “Tetap di tempatmu,” pesannya.
Windraya menatap Rania beberapa saat. “Di mana mobilmu?” tanyanya.“Aku tidak membawa mobil. Tadinya, aku datang kemari dengan Pak Tjandra. Namun, tiba-tiba dia menerima telepon dari istrinya. Jadi, begitulah.” Rania tertawa renyah. “Aku tidak mau menempatkan diri dalam masalah,” ujar wanita itu lagi. Windraya mengangguk. “Masuklah,” ucapnya, seraya memberi isyarat dengan gerak kepala. Dia membiarkan Rania membuka pintu sendiri. “Apa kamu akan langsung pulang?” tanya Rania, setelah duduk nyaman di jok sebelah Windraya. “Ya. Memangnya kenapa?” Windraya balik bertanya. “Tidak apa-apa. Kupikir kita bisa minum kopi dulu sebentar,” jawab Rania, seraya menyilangkan kaki. Alhasil, rok pendeknya pun makin terangkat. “Aku ingin bicara sesuatu tentang Mayla.”“Aku tidak punya urusan lagi dengannya,” balas Windraya datar, seraya melajukan kendaraan. “Ya, aku tahu itu. Namun, kurasa Mayla sangat tertekan dengan keadaan yang menimpanya saat ini.”Windraya tidak menanggapi. Dia tetap fokus men
“Jawa Barat?” ulang Windraya. “Seluas apa wilayah Jawa Barat? Bisakah kamu persempit? Maksudku secara spesifik.” Windraya duduk di tepian tempat tidur, dengan hanya mengenakan handuk.“Um … untuk urusan itu saya … saya belum mendapat informasi spesifik. Namun, akan saya usahakan secepatnya, Pak.”“Bagus. Aku yakin kamu bisa diandalkan. Kabari lagi bila ada perkembangan.”“Baik, Pak. Bagaimana dengan Pak Anwar Kuncoro? Apakah sudah memberikan laporan terbaru?” tanya Marcell.“Belum. Aku sedang menunggu,” sahut Windraya. “Jika dalam minggu ini dia tak menghubungiku, maka aku yang akan menghubunginya terlebih dulu.”
Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. “Kenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,” ujar Windraya tenang. “Saya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,” ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. “Ada apa?” tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. “Kenapa?” tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. “Beliau bukan ibu kandung saya, Pak,” jawab Ranum lirih.“Apa?” Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. “Ibu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,” ucap Ranum di
Ranum menatap sang suami. “Terserah Anda,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. “Tunggu, Ranum!” cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. “Ayolah. Kumohon,” bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. “Saya sudah menjawab tadi,” ucap Ranum dingin. “Bukan itu maksudku,” bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. “Aku harus bagaimana lagi?” tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. “Sayang,” ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. “Aku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.” “Semudah itu?” Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap
Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. “Aku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,” tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.“Banyak hal yang sudah berubah,” ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. “Jangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi
Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. “Makan dulu,” ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa
Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,
“Apa maksudmu berpisah?” Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. “Meskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya —”“Tidak!” tolak Windraya tegas. “Aku tidak akan pernah melakukan itu!”“Saya ingin berpisah, Pak,” desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. “Sudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!”“Saya tidak peduli lagi, Pak,” balas Ranum. “Lebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,” usirnya penuh penekanan.“Tidak tanpamu dan Elok,” tolak Windraya tegas.“Tapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.” “Jangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu —”“Itulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,” sela Ranum. Dia melepaskan ceng
“Apa maksudmu” Windraya menatap aneh sang istri, yang makin menjaga jarak darinya. “Elok adalah putriku juga. Dia tidak akan ada jika bukan karena —”“Seperti yang Anda dengar tadi, Pak,” sela Ranum cukup tegas, meskipun suaranya tidak terlalu nyaring. “Semua sudah tertera dalam dokumen kelahiran Elok. Dia hanya putri saya. Elok tidak memiliki ayah —”“Ranum!” sergah Windraya, tak kuasa menahan amarah. Ekspresi serta tatapannya teramat tajam, menandakan kemarahan yang tak sepenuhnya terlampiaskan. Dia hanya bisa mengepalkan tangan di samping tubuh. “Kendalikan diri Anda, Pak Windraya,” tegur Celia. “Posisi Anda saat ini tidak menguntungkan, meskipun berhak atas diri Elok.”Windraya mengembuskan napas berat, demi menanggulangi perasaan yang bergejolak dan hampir tak terbendung. Namun, pria itu sadar. Apa yang Celia katakan benar adanya. “Saya ingin bicara berdua dengan Ranum?” Windraya menoleh sekilas pada Celia. “Apa Anda bisa menjamin tidak akan —”“Jangan khawatir. Saya suaminya.
Ranum dan Titin saling pandang, seakan bertanya siapa yang Bastian tugaskan untuk menunjukkan arah toilet khusus tamu. Namun, berhubung tangan Titin dipenuhi busa sabun, artinya Ranum lah yang harus mengambil tugas itu. Ranum mengangguk sopan. “Mari, Pak,” ajaknya, seraya mengarahkan Windraya agar mengikuti. “Permisi, Pak Bas,” ucap Windraya, sebelum mengikuti langkah Ranum menuju salah satu koridor tak jauh dari dapur. Windraya berjalan gagah penuh wibawa. Tatapan pria itu tertuju lurus pada wanita di depannya. Windraya masih bingung. Tak tahu harus mengatakan apa pada sang istri. Akhirnya dia meraih pergelangan Ranum, lalu menarik wanita itu hingga berbalik. Windraya bergerak cepat menyandarkan Ranum ke dinding. “Sejauh inikah kamu melarikan diri?” Tatapan sang pemilik Win’s Aerospace System itu teramat tajam. Menghujam langsung ke jantung Ranum. “Kenapa bersikap begini?” “Toilet ada di ujung koridor, Pak,” ucap Ranum. Dia tak menanggapi apa yang Windraya katakan tadi. “Aku ti
Suara roda troli berderit makin mendekat ke meja makan. Arahnya berasal dari bagian belakang Windraya dan Marcell, yang duduk bersebelahan. “Makanan penutup sudah datang,” ucap Bastian, saat suara troli berhenti di dekatnya. Windraya dan Marcell langsung mengarahkan perhatian secara bersamaan. Seketika, keduanya diam terpaku menatap wanita yang tengah menyediakan makanan untuk Bastian. “Terima kasih, Mbak,” ucap Bastian lagi. Wanita yang tak lain adalah Ranum, mengangguk sopan. Dia tersenyum, lalu berpindah ke dekat Windraya yang terus menatapnya. Namun, Ranum tak peduli. Dia menyajikan makanan tanpa menoleh sedikit pun. Begitu pula saat menyajikan makanan untuk Marcell. Setelah itu, Ranum kembali ke dekat troli yang berada tak jauh dari Bastian. “Permisi, Pak,” ucapnya pelan, seraya kembali mengangguk sopan. Dia berbalik mendorong troli itu keluar dari ruang makan. Ranum menguatkan diri melangkah sambil mendorong troli. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak men