“Kenapa Papa memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’?” tanya Annchi, ketika selesai berenang dengan sang ayah.“Memangnya kenapa?” Bastian balik bertanya.“Aku memanggilnya ‘Teh Ranum’. Sama seperti ‘Teh Susi’. Kenapa Papa tidak memanggilnya ‘teh’?” Annchi duduk di tepian kolam, sambil memainkan kaki dalam air.“Apa itu masalah besar?” Bastian yang duduk di sebelah sang putri, kembali turun ke kolam. “Papa ingin berenang sekali lagi,” ujarnya.“Tapi, aku sudah kedinginan, Pa.”Bastian yang sudah ke tengah, menoleh. “Tetap di tempatmu,” pesannya.
Windraya menatap Rania beberapa saat. “Di mana mobilmu?” tanyanya.“Aku tidak membawa mobil. Tadinya, aku datang kemari dengan Pak Tjandra. Namun, tiba-tiba dia menerima telepon dari istrinya. Jadi, begitulah.” Rania tertawa renyah. “Aku tidak mau menempatkan diri dalam masalah,” ujar wanita itu lagi. Windraya mengangguk. “Masuklah,” ucapnya, seraya memberi isyarat dengan gerak kepala. Dia membiarkan Rania membuka pintu sendiri. “Apa kamu akan langsung pulang?” tanya Rania, setelah duduk nyaman di jok sebelah Windraya. “Ya. Memangnya kenapa?” Windraya balik bertanya. “Tidak apa-apa. Kupikir kita bisa minum kopi dulu sebentar,” jawab Rania, seraya menyilangkan kaki. Alhasil, rok pendeknya pun makin terangkat. “Aku ingin bicara sesuatu tentang Mayla.”“Aku tidak punya urusan lagi dengannya,” balas Windraya datar, seraya melajukan kendaraan. “Ya, aku tahu itu. Namun, kurasa Mayla sangat tertekan dengan keadaan yang menimpanya saat ini.”Windraya tidak menanggapi. Dia tetap fokus men
“Jawa Barat?” ulang Windraya. “Seluas apa wilayah Jawa Barat? Bisakah kamu persempit? Maksudku secara spesifik.” Windraya duduk di tepian tempat tidur, dengan hanya mengenakan handuk.“Um … untuk urusan itu saya … saya belum mendapat informasi spesifik. Namun, akan saya usahakan secepatnya, Pak.”“Bagus. Aku yakin kamu bisa diandalkan. Kabari lagi bila ada perkembangan.”“Baik, Pak. Bagaimana dengan Pak Anwar Kuncoro? Apakah sudah memberikan laporan terbaru?” tanya Marcell.“Belum. Aku sedang menunggu,” sahut Windraya. “Jika dalam minggu ini dia tak menghubungiku, maka aku yang akan menghubunginya terlebih dulu.”
Sementara itu, Bastian baru tiba di rumah beberapa saat setelah Ranum dibawa ke rumah sakit. Dia heran karena suasana terasa lebih sepi dibanding biasanya. Sebelum melakukan apa pun, Bastian lebih dulu masuk ke kamar Annchi. Sang putri masih tidur siang. Bastian tak berani mengganggu. Dia hanya meletakkan oleh-oleh yang dibawa dari luar kota, di meja sebelah tempat tidur. Pria itu beranjak ke pintu. Ketika akan membukanya, Susi muncul dari walk in closet. “Pak,” sapa Susi teramat sopan. Bastian tertegun, lalu menoleh. “Sejak kapan Chichi tidur?” tanyanya. “Sekitar setengah jam yang lalu, Pak,” jawab Susi. “Bi Titin sedang mengantar Teh Ranum ke rumah sakit. Sepertinya, dia akan melahirkan.” “Di rumah sakit mana?” tanya Bastian lagi penasaran. “Saya kurang tahu jadinya dibawa ke mana. Bi Titin belum ada memberi kabar lagi,” jawab Susi. Bastian mengangguk. “Biar saya hubungi,” ucapnya, seraya beranjak keluar kamar. Sambil melangkah menyusuri koridor, dia menghubungi Titin. “Iya,
Windraya terus memikirkan perbincangannya dengan Anwar Kuncoro. Dia tak percaya bahwa Ranum sudah tak berada lagi di ibukota. Pria itu tak habis pikir karena sang istri bisa pergi jauh, dalam kondisi hamil besar. “Apa kamu benar-benar ingin menjauh dariku, Ranum?” Windraya menopang, lalu memijat kening yang berdenyut pelan. Keluhan demi keluhan meluncur dari bibir pria tampan tiga puluh delapan tahun itu. **********Helaan napas memburu, mengisi ruangan kamar apartemen bernuansa putih. Di tempat tidur berukuran tidak terlalu besar itu, tampak dua sejoli tengah bergumul mesra dalam adegan panas penuh keringat. Berbagai gaya dan posisi sudah dilakoni hingga akhirnya si pria mengembuskan napas lega, meskipun terengah-engah karena lelah. Sementara si wanita yang tak lain adalah Juwita, tersenyum puas. Dia menarik pria itu hingga mendekat. Keduanya saling berciuman mesra. “Saya benar-benar lelah,” ucap pria yang tak lain adalah Marcell, setelah puas berciuman. Juwita tertawa renyah.
Marcell mengemudikan mobil dengan kecepatan cukup tinggi malam itu. Sepulang dari apartemen Juwita, dia langsung menuju kediaman Keluarga Sasmitha untuk mengabarkan berita besar yang didengarnya tadi.Setelah memarkirkan kendaraan di dekat undakan anak tangga menuju teras, pria dengan penampilan kasual itu melangkah gagah memasuki rumah mewah Windraya.“Apa Pak Win ada di tempat?” tanya Marcell, pada ART yang membukakan pintu untuknya.“Bapak ada di ruang kerja. Saya baru mengantarkan kopi ke sana,” jawab sang ART sopan.Marcell mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju ruang kerja sang atasan. Dia mengetuk pintu terlebih dulu, sebelum membukanya.“Pak,” sapa Marcell, seraya m
“Ta-tapi, Pak ….” Windraya menatap tajam sang petugas keamanan. Sorot mata pria itu penuh intimidasi. Dia benar-benar jengkel karena pria berseragam tersebut sudah membuatnya kehilangan banyak waktu. “Ba-baiklah. Saya pegang kata-kata Anda,” ucap petugas keamanan itu, sesaat kemudian. Dia mempersilakan Windraya masuk bersama mobilnya. “Buang-buang waktu saja!” gerutu Windraya, setelah Marcell melajukan kembali kendaraan milik sang atasan. “Titik pemberhentian Juwita tidak jauh dari sini ….” Marcell tak melanjutkan kalimatnya, saat melihat layar ponsel. Dia menghentikan laju kendaraan di seberang rumah mewah, meskipun tidak terlihat mentereng seperti milik Windraya. Dari dalam mobil, kedua pria itu mengawasi rumah tersebut. “Rumah siapa itu?” tanya Windraya, seperti pada diri sendiri. “Ada kamera pengawas di depan gerbang. Terlalu berbahaya bila kita terlalu lama di sini. Terlebih, tadi Anda sudah berselisih paham dengan petugas keamanan di pos depan,” ujar Marcell mengingatkan.
“Jadi, bayi Teh Ranum tidak punya papa?” tanya Annchi polos. Ternyata, anak itu diam-diam menyimak pembicaraan sang ayah dengan Ranum. “Chi,” tegur Bastian penuh isyarat. “Ingat peraturan nomor tujuh?” “Iya, Papa.” Annchi kembali mengarahkan perhatian pada Elok. “Besok aku ingin bermain dengannya. Boleh kan, Teh?” Ranum yang awalnya murung karena pembahasan tentang ayah Elok, kembali tersenyum. “Tentu saja,” jawab wanita muda itu. Namun, ucapan Ranum tadi membuat Bastian tertarik. Duda tampan itu menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Dia ingin bertanya lebih banyak, tetapi tak tahu harus memulai dari mana. Lagi pula, Bastian membatasi diri dari urusan pribadi yang bukan merupakan ranahnya. Hari demi hari berlalu tanpa terasa. Satu bulan berlalu. Windraya sudah mengantongi identitas pemilik rumah yang menjadi tempat tinggal Ranum saat ini. “Namanya Bastian Halim. Pengusaha asal Bandung berusia tiga puluh tujuh tahun. Dia merupakan pemilik dari perusahaan alat sains dan peraga