Marcell mengemudikan mobil dengan kecepatan cukup tinggi malam itu. Sepulang dari apartemen Juwita, dia langsung menuju kediaman Keluarga Sasmitha untuk mengabarkan berita besar yang didengarnya tadi.Setelah memarkirkan kendaraan di dekat undakan anak tangga menuju teras, pria dengan penampilan kasual itu melangkah gagah memasuki rumah mewah Windraya.“Apa Pak Win ada di tempat?” tanya Marcell, pada ART yang membukakan pintu untuknya.“Bapak ada di ruang kerja. Saya baru mengantarkan kopi ke sana,” jawab sang ART sopan.Marcell mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju ruang kerja sang atasan. Dia mengetuk pintu terlebih dulu, sebelum membukanya.“Pak,” sapa Marcell, seraya m
“Ta-tapi, Pak ….” Windraya menatap tajam sang petugas keamanan. Sorot mata pria itu penuh intimidasi. Dia benar-benar jengkel karena pria berseragam tersebut sudah membuatnya kehilangan banyak waktu. “Ba-baiklah. Saya pegang kata-kata Anda,” ucap petugas keamanan itu, sesaat kemudian. Dia mempersilakan Windraya masuk bersama mobilnya. “Buang-buang waktu saja!” gerutu Windraya, setelah Marcell melajukan kembali kendaraan milik sang atasan. “Titik pemberhentian Juwita tidak jauh dari sini ….” Marcell tak melanjutkan kalimatnya, saat melihat layar ponsel. Dia menghentikan laju kendaraan di seberang rumah mewah, meskipun tidak terlihat mentereng seperti milik Windraya. Dari dalam mobil, kedua pria itu mengawasi rumah tersebut. “Rumah siapa itu?” tanya Windraya, seperti pada diri sendiri. “Ada kamera pengawas di depan gerbang. Terlalu berbahaya bila kita terlalu lama di sini. Terlebih, tadi Anda sudah berselisih paham dengan petugas keamanan di pos depan,” ujar Marcell mengingatkan.
“Jadi, bayi Teh Ranum tidak punya papa?” tanya Annchi polos. Ternyata, anak itu diam-diam menyimak pembicaraan sang ayah dengan Ranum. “Chi,” tegur Bastian penuh isyarat. “Ingat peraturan nomor tujuh?” “Iya, Papa.” Annchi kembali mengarahkan perhatian pada Elok. “Besok aku ingin bermain dengannya. Boleh kan, Teh?” Ranum yang awalnya murung karena pembahasan tentang ayah Elok, kembali tersenyum. “Tentu saja,” jawab wanita muda itu. Namun, ucapan Ranum tadi membuat Bastian tertarik. Duda tampan itu menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Dia ingin bertanya lebih banyak, tetapi tak tahu harus memulai dari mana. Lagi pula, Bastian membatasi diri dari urusan pribadi yang bukan merupakan ranahnya. Hari demi hari berlalu tanpa terasa. Satu bulan berlalu. Windraya sudah mengantongi identitas pemilik rumah yang menjadi tempat tinggal Ranum saat ini. “Namanya Bastian Halim. Pengusaha asal Bandung berusia tiga puluh tujuh tahun. Dia merupakan pemilik dari perusahaan alat sains dan peraga
“Bastian Halim?” ulang Tjandra, seraya mematikan sisa rokok dalam asbak.Windraya mengangguk. Raut wajahnya terlihat sangat serius.“Pemilik PT. Cakrawala Media Elektron. Semoga itu orang yang Anda maksud,” ujar Tjandra lagi.Windraya kembali mengangguk.Tjandra mengembuskan napas pelan. “Sebentar, Nona-nona. Silakan mengobrol dulu. Saya ada sedikit urusan dengan bapak ganteng ini,” ujar pria itu, pada tiga wanita yang sudah disewanya. Setelah itu, dia kembali memfokuskan diri pada Windraya.“Saya pernah bertemu dengan Pak Bastian Halim beberapa kali, dalam event yang diadakan khusus untuk para pengusaha di Bandung. Beliau pria yang ba
Windraya dan Marcell mengikuti langkah Saka menghampiri beberapa pria. Mereka tengah berbincang santai di dekat deretan mobil, yang hari ini akan dibawa ke landasan off road. Saka memperkenalkan Windraya dan Marcell kepada mereka. Rata-rata dari pria yang ada di sana merupakan wiraswasta dan pengusaha. Usia para pria itu tak jauh berbeda dengan Windraya, meskipun ada beberapa yang seumuran Marcell. “Apa semua sudah hadir?” tanya salah seorang pria berkepala plontos. “Belum. Kita harus menunggu pak ….” Saka tak sempat melanjutkan kalimatnya, berhubung ada sebuah jeep merah berhenti di sana. “Nah!” Pria muda itu tampak semringah, menyambut seseorang yang baru turun dari mobil jeep tadi. “Apa kabar, Pak Bas,” sapa Saka dan pria lain di sana. Mereka langsung menyalami pria yang tak lain adalah Bastian Halim. “Mari saya kenalkan pada anggota baru. Keduanya datang langsung dari ibukota.” Saka mengajak Bastian ke hadapan Windraya dan Marcell, yang langsung memasang wajah serius. “Per
Windraya menatap Marcell penuh arti. Tak disangka, dia bisa masuk ke rumah Bastian Halim dengan begitu mudah. Apa yang Tjandra katakan benar adanya. Bastian memang pria yang baik dan ramah. “Kedengarannya sangat bagus. Namun, apakah itu tidak terlalu berlebihan?” Windraya menanggapi. Dia berpura-pura menunjukkan sikap tak enak, meskipun sebenarnya itulah yang diharapkan. “Tentu tidak. Saya mengundang secara pribadi. Suatu kehormatan bisa menjamu seseorang dengan nama besar seperti Anda,” ujar Bastian tulus. “Baiklah. Kalau begitu, saya terima undangan Anda dengan senang hati. Terima kasih sebelumnya.” Bastian menyalami Windraya, kemudian Marcell. Setelah itu, duda satu anak tersebut berpamitan dari hadapan dua pria, yang terus memperhatikan kepergiannya. “Bagaimana, Pak?” Pertanyaan Marcell membuat Windraya seketika tersadar. Sang pemilik Win’s Aerospace System itu menoleh, lalu tersenyum kecil. “Apa aku harus membeli baju baru?” tanyanya bernada candaan. “Anda sudah terlihat t
Suara roda troli berderit makin mendekat ke meja makan. Arahnya berasal dari bagian belakang Windraya dan Marcell, yang duduk bersebelahan. “Makanan penutup sudah datang,” ucap Bastian, saat suara troli berhenti di dekatnya. Windraya dan Marcell langsung mengarahkan perhatian secara bersamaan. Seketika, keduanya diam terpaku menatap wanita yang tengah menyediakan makanan untuk Bastian. “Terima kasih, Mbak,” ucap Bastian lagi. Wanita yang tak lain adalah Ranum, mengangguk sopan. Dia tersenyum, lalu berpindah ke dekat Windraya yang terus menatapnya. Namun, Ranum tak peduli. Dia menyajikan makanan tanpa menoleh sedikit pun. Begitu pula saat menyajikan makanan untuk Marcell. Setelah itu, Ranum kembali ke dekat troli yang berada tak jauh dari Bastian. “Permisi, Pak,” ucapnya pelan, seraya kembali mengangguk sopan. Dia berbalik mendorong troli itu keluar dari ruang makan. Ranum menguatkan diri melangkah sambil mendorong troli. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak men
Ranum dan Titin saling pandang, seakan bertanya siapa yang Bastian tugaskan untuk menunjukkan arah toilet khusus tamu. Namun, berhubung tangan Titin dipenuhi busa sabun, artinya Ranum lah yang harus mengambil tugas itu. Ranum mengangguk sopan. “Mari, Pak,” ajaknya, seraya mengarahkan Windraya agar mengikuti. “Permisi, Pak Bas,” ucap Windraya, sebelum mengikuti langkah Ranum menuju salah satu koridor tak jauh dari dapur. Windraya berjalan gagah penuh wibawa. Tatapan pria itu tertuju lurus pada wanita di depannya. Windraya masih bingung. Tak tahu harus mengatakan apa pada sang istri. Akhirnya dia meraih pergelangan Ranum, lalu menarik wanita itu hingga berbalik. Windraya bergerak cepat menyandarkan Ranum ke dinding. “Sejauh inikah kamu melarikan diri?” Tatapan sang pemilik Win’s Aerospace System itu teramat tajam. Menghujam langsung ke jantung Ranum. “Kenapa bersikap begini?” “Toilet ada di ujung koridor, Pak,” ucap Ranum. Dia tak menanggapi apa yang Windraya katakan tadi. “Aku ti
Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. “Kenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,” ujar Windraya tenang. “Saya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,” ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. “Ada apa?” tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. “Kenapa?” tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. “Beliau bukan ibu kandung saya, Pak,” jawab Ranum lirih.“Apa?” Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. “Ibu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,” ucap Ranum di
Ranum menatap sang suami. “Terserah Anda,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. “Tunggu, Ranum!” cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. “Ayolah. Kumohon,” bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. “Saya sudah menjawab tadi,” ucap Ranum dingin. “Bukan itu maksudku,” bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. “Aku harus bagaimana lagi?” tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. “Sayang,” ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. “Aku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.” “Semudah itu?” Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap
Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. “Aku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,” tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.“Banyak hal yang sudah berubah,” ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. “Jangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi
Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. “Makan dulu,” ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa
Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,
“Apa maksudmu berpisah?” Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. “Meskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya —”“Tidak!” tolak Windraya tegas. “Aku tidak akan pernah melakukan itu!”“Saya ingin berpisah, Pak,” desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. “Sudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!”“Saya tidak peduli lagi, Pak,” balas Ranum. “Lebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,” usirnya penuh penekanan.“Tidak tanpamu dan Elok,” tolak Windraya tegas.“Tapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.” “Jangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu —”“Itulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,” sela Ranum. Dia melepaskan ceng
“Apa maksudmu” Windraya menatap aneh sang istri, yang makin menjaga jarak darinya. “Elok adalah putriku juga. Dia tidak akan ada jika bukan karena —”“Seperti yang Anda dengar tadi, Pak,” sela Ranum cukup tegas, meskipun suaranya tidak terlalu nyaring. “Semua sudah tertera dalam dokumen kelahiran Elok. Dia hanya putri saya. Elok tidak memiliki ayah —”“Ranum!” sergah Windraya, tak kuasa menahan amarah. Ekspresi serta tatapannya teramat tajam, menandakan kemarahan yang tak sepenuhnya terlampiaskan. Dia hanya bisa mengepalkan tangan di samping tubuh. “Kendalikan diri Anda, Pak Windraya,” tegur Celia. “Posisi Anda saat ini tidak menguntungkan, meskipun berhak atas diri Elok.”Windraya mengembuskan napas berat, demi menanggulangi perasaan yang bergejolak dan hampir tak terbendung. Namun, pria itu sadar. Apa yang Celia katakan benar adanya. “Saya ingin bicara berdua dengan Ranum?” Windraya menoleh sekilas pada Celia. “Apa Anda bisa menjamin tidak akan —”“Jangan khawatir. Saya suaminya.
Ranum dan Titin saling pandang, seakan bertanya siapa yang Bastian tugaskan untuk menunjukkan arah toilet khusus tamu. Namun, berhubung tangan Titin dipenuhi busa sabun, artinya Ranum lah yang harus mengambil tugas itu. Ranum mengangguk sopan. “Mari, Pak,” ajaknya, seraya mengarahkan Windraya agar mengikuti. “Permisi, Pak Bas,” ucap Windraya, sebelum mengikuti langkah Ranum menuju salah satu koridor tak jauh dari dapur. Windraya berjalan gagah penuh wibawa. Tatapan pria itu tertuju lurus pada wanita di depannya. Windraya masih bingung. Tak tahu harus mengatakan apa pada sang istri. Akhirnya dia meraih pergelangan Ranum, lalu menarik wanita itu hingga berbalik. Windraya bergerak cepat menyandarkan Ranum ke dinding. “Sejauh inikah kamu melarikan diri?” Tatapan sang pemilik Win’s Aerospace System itu teramat tajam. Menghujam langsung ke jantung Ranum. “Kenapa bersikap begini?” “Toilet ada di ujung koridor, Pak,” ucap Ranum. Dia tak menanggapi apa yang Windraya katakan tadi. “Aku ti
Suara roda troli berderit makin mendekat ke meja makan. Arahnya berasal dari bagian belakang Windraya dan Marcell, yang duduk bersebelahan. “Makanan penutup sudah datang,” ucap Bastian, saat suara troli berhenti di dekatnya. Windraya dan Marcell langsung mengarahkan perhatian secara bersamaan. Seketika, keduanya diam terpaku menatap wanita yang tengah menyediakan makanan untuk Bastian. “Terima kasih, Mbak,” ucap Bastian lagi. Wanita yang tak lain adalah Ranum, mengangguk sopan. Dia tersenyum, lalu berpindah ke dekat Windraya yang terus menatapnya. Namun, Ranum tak peduli. Dia menyajikan makanan tanpa menoleh sedikit pun. Begitu pula saat menyajikan makanan untuk Marcell. Setelah itu, Ranum kembali ke dekat troli yang berada tak jauh dari Bastian. “Permisi, Pak,” ucapnya pelan, seraya kembali mengangguk sopan. Dia berbalik mendorong troli itu keluar dari ruang makan. Ranum menguatkan diri melangkah sambil mendorong troli. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak men