Terima kasih bagi yang sudah mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir. Mohon maaf bila ada kesamaan nama tokoh atau lokasi. Semua yang ada dalam kisah Ranum dan Windraya, murni dari khayalan author semata.
“Tumben kamu telat, Ranum. Memang, kamu dari mana saja, Nak?” Ranum yang baru saja masuk ke kamar sang nyonya, sontak menunduk dan memilin jari. “Maaf, Bu. Tadi, ada telepon dari ibu saya,” jawabnya, menjelaskan. Gadis 22 tahun itu berdebar kencang, mengira dirinya dalam masalah.Sungguh, dia sudah terlalu lelah jika ada masalah lain di kerjaanya. Padahal, telepon ibunya tadi sudah meruntuhkan semangat gadis itu.Namun, ternyata dia salah.Nyonya Nindira yang masih duduk di kursi rodanya itu, justru mengembuskan napas pelan. “Ada apa? Apa ada masalah dengan ibumu?” tanyanya lagi. Ranum yang awalnya menunduk, segera mengangkat wajah. “Saya … saya ingin bicara sesuatu dengan Anda, Bu,” ucapnya ragu.“Tentang apa?” “Ibu saya sedang menghadapi masalah keuangan,” jawab Ranum pelan dan sopan. “Sepulang sekolah, adik saya menabrak seseorang. Korbannya mengalami luka berat, bahkan sampai harus dioperasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban, ibu saya bersedia membiayai seluruh biaya operasi
Ranum terbelalak tak percaya, mendengar ucapan Nindira. Tangannya gemetaran, bahkan hampir menjatuhkan tas tadi. “Maksud Ibu, saya menikah dengan Pak Win? Lalu, bagaimana dengan Bu Mayla?” “Kamu akan menjadi istri kedua Windraya. Kuharap, dari pernikahan ini bisa menghasilkan cucu laki-laki, yang nantinya akan jadi penerus Keluarga Sasmitha,” jelas Nindira lugas. “A-apa? Cu-cucu?” ulang Ranum terbata. “Ya. Cucu laki-laki,” tegas Nindira lagi. “Ta-tapi, Bu ….” Ranum berusaha menolak. Namun, dia sadar sangat membutuhkan uang seratus juta itu. “Cepat pergi dan berikan uang itu pada ibumu. Setelah selesai, segeralah kembali karena aku sudah menyiapkan segala hal untuk prosesi pernikahanmu dengan Windraya,” potong sang nyonya.Ranum sendiri diam terpaku. Begitu juga dengan Windraya, yang tak mengatakan apa pun. Pria itu seperti enggan berkomentar. “Apa lagi yang kamu tunggu, Ranum?” Suara Nindira menyadarkan wanita muda itu.Ranum mengangguk ragu, kemudian membalikkan badan. Dia tak
“Kenapa? Kamu tidak setuju?” Ranum tak segera menjawab. Dia sibuk menetralkan perasaan berkecamuk dalam dada, yang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Entah takdir apa yang digariskan Tuhan, sehingga harus berada dalam situasi pelik seperti saat ini. “Bagaimana bila saya tak kunjung hamil?” tanyanya, setelah terdiam beberapa saat. “Kamu punya waktu selama satu tahun. Jika dalam rentang waktu tersebut tak ada tanda-tanda kehamilan, aku akan melepaskanmu,” jawab Windraya penuh wibawa. Ranum kembali terdiam. Sesekali, wanita muda berambut panjang itu menunduk. Memainkan ujung kebaya yang belum sempat diganti. “Lalu, bagaimana dengan uang seratus juta yang Bu Nindira berikan? Apakah saya harus mengembalikannya?” “Kau bisa mengemblikan setengahnya,” sahut Windraya, dengan nada bicara tidak berubah. Ranum mengembuskan napas pelan sambil terus menunduk, saat mendengar langkah kaki mendekat. Gemuruh dalam dada kian hebat, menyadari Windraya berdiri di hadapannya. Ini adalah kali pertam
Ranum sendiri bagai patung karena bingung harus bagaimana. Diremasnya kain yang ada di dekatnya. "Ahh...." Tanpa sadar, Ranum mendesah.Namun, pertautan manis tadi terus berlangsung, sampai Windraya tiba-tiba mengakhirinya.Pria tampan penuh kharisma itu mengembuskan napas pelan, lalu memalingkan muka. “Aku tidak bisa.”Disambarnya T-Shirt dari ujung tempat tidur dan mengenakannya.“Tidurlah. Aku masih punya pekerjaan.” Setelah berkata demikian, suami Ranum itu berlalu keluar kamar, tanpa menoleh sedetik pun.Di sisi lain, Ranum yang masih duduk bersimpuh di tempat tidur, hanya mengulum bibir.Tak bisa dipercaya, dia baru saja berciuman dengan Windraya.Wanita muda berambut panjang itu menggigit pelan bibir bawahnya. “Ya, Tuhan,” ucap Ranum lirih.Windraya meninggalkannya seorang diri, setelah memberikan sentuhan lembut di bibir, yang merupakan ciuman pertama bagi wanita muda itu.Ada rasa lega di hati Ranum karena Windraya tak menyentuhnya lebih jauh. Namun, bila dirinya dituntut u
“Mayla?” Windraya sontak menjauhkan diri dari Ranum. “Apa yang kalian lakukan?” Mayla melepaskan genggaman dari gagang koper, lalu berjalan mendekat ke hadapan Ranum. “Dasar tidak tahu diri!” Dia mendorong wanita muda itu cukup kencang, hingga mundur dan menabrak lemari etalase berisi deretan kemeja mahal Windraya. “Hentikan.” Windraya segera meraih tangan Mayla, yang bermaksud meraih tubuh Ranum. Dia harus mencegah sang istri melakukan tindakan kasar terhadap istri sirinya. “Pergilah, Ranum,” suruh pria itu penuh wibawa. Ranum yang ketakutan, hanya bisa mengangguk. Dia bergegas meninggalkan kamar mewah itu. Ranum sadar sedang dalam masalah besar. “Apa-apaan kamu, Mas?” protes Mayla tak suka. Dia berusaha melepaskan cengkraman Windraya, dari pergelangan tangannya. “Lepaskan aku! Biar kuberi pelajaran pembantu tak tahu malu itu!” “Tenangkan dirimu dulu. Kita harus bicara.” Windraya berusaha tak terpengaruh dengan sikap Mayla. Sebisa mungkin, dia mengendalikan sang istri, agar tak
“Ma!” Tak biasanya, Windraya meninggikan nada bicara di hadapan Nindira. Namun, situasi yang dihadapinya kali ini berbeda. Sebagai suami yang sangat mencintai pasangan, dia berkewajiban menjaga harga diri sang istri bahkan dari ibunya sekalipun. “Tolong jangan bersikap berlebihan seperti ini!” “Berani sekali kamu bicara dengan nada seperti itu pada Mama,” tegur Nindira, tak suka.“Aku harus bagaimana lagi? Demi bakti serta rasa sayangku terhadap Mama, aku menerima pernikahan dengan Ranum. Akan tetapi, aku tidak akan tinggal diam, jika Mama terus bersikap kasar pada Mayla. Ingat, Ma! Bagaimanapun juga, Mayla adalah istriku. Otomatis, dia sudah menjadi putri di keluarga ini —”“Mama tidak sudi memiliki putri macam dia!” sergah Nindira, menyela ucapan Windraya. “Keputusan Mama sudah bulat dan tidak bisa diganggu siapa pun. Termasuk olehmu, Win! Bila Mayla tidak bisa menerima pernikahan keduamu dengan Ranum, silakan pergi dari rumah ini. Lagi pula, keberadaannya di sini tidak berguna
Windraya segera menggeleng, memberikan bantahan pada ucapan sang istri. "Ini bukan masalah tunduk atau apa pun namanya.""Bila kamu menganggap ini sebagai bakti ... kurasa sudah sangat keterlaluan," protes Mayla lagi, seraya memalingkan muka. Windraya lagi-lagi mengembuskan napas berat dan dalam. Dia harus tetap tenang, agar tidak salah bicara atau bersikap di hadapan Mayla. Sebenarnya, dia tidak suka karena sudah terlalu banyak bicara. Namun, dirinya harus memberikan penjelasan pada wanita itu. "Dengarkan aku, Sayang," ucap Windraya, tenang. "Mama, kamu, dan Widuri. Kalian bertiga merupakan tiga wanita dalam hidupku, yang memiliki tempat tersendiri. Aku memberikan perhatian serta kasih sayang sesuai dengan porsi masing-masing," jelasnya. "Apakah itu berarti kamu lebih menyayangi mama dibanding aku?" tukas Mayla, kembali memasang raut masam. Windraya menggeleng pelan. "Tidak seperti itu," bantahnya."Aku hanya berusaha menjalankan bakti terhadap mama. Beliau sudah berjuang sangat k
Di sisi lain, Windraya baru tiba di rumah tepat jam setengah sembilan malam. Namun, dia mengernyitkan kening mendapati Ranum sudah berdiri di ruang tamu, seakan menyambut kedatangannya. Seperti biasa, wanita muda berkulit sawo matang itu menyembunyikan paras cantiknya dengan menunduk. “Kamu sedang apa di sini?” “Saya menunggu Anda pulang, Pak,” jawab Ranum pelan, tanpa berani menatap langsung suami sirinya. “Bagaimana mama?” “Bu Nindira sudah tidur sejak beberapa saat yang lalu. Itulah kenapa saya menunggu Anda di sini,” jawab Ranum lagi. “Apa Anda sudah makan malam?” tanyanya. “Sudah,” jawab Windraya singkat. Dia melihat sekeliling. Pria itu sudah membaca pesan yang dikirimkan Mayla yang katanya ada urusan kantor. Jadi, tak berharap sang istri datang menyambut kepulangannya. “Aku ingin mandi dulu,” ucap Windraya, seraya berlalu dari hadapan Ranum. “Biar saya siapkan, Pak!” Windraya tertegun. “Boleh,” balasnya. Jujur, dia bahkan tak pernah disiapkan seperti ini oleh is